Lian membaringkan badannya di sofa.
Dia nampak sangat kelelahan sekali. Sesekali Lian menatap layar handphonenya.
Tak ada pesan satupun. Lian membanting handphonenya ke sofa yang satu lagi.
Lian menyalakan tv hanya untuk mencari hiburan. Tapi akhirnya Lian tertidur
dengan sangat pulas di sofa. 2 jam sudah Lian tertidur. Dan selama Lian
tertidur dia lupa tidak mematikan tv.
Lian bangun dari tidurnya. Dia
mengucek-ngucek matanya. Lalu Lian pergi ke dapur untuk mengambil minuman.
"Seret banget nih tenggorokan" Lian
menuangkan air putih dari teko ke dalam gelas.
Lian meminum airnya sampai habis
hingga tak tersisa. Lian menuangkan kembali air putih ke dalam gelasnya, lalu
membawanya ke ruang tengah. Sesekali Lian meminum kembali air yang berada di
dalam gelas tersebut. Lian mengambil remote tv lalu memindahkan chanelnya.
Berulang kali Lian memindahkan chanel tv nya. Tak ada satupun acara tv yang
menarik. Akhirnya Lian mematikan tv. Lian melirik handphonenya, lalu dia
mengecek handphonenya. Ada satu pesan yang dikirim satu jam yang lalu. Lian
membaca pesan tersebut, ternyata pesan itu dari nomor yang tidak ia dikenal.
Besok
gue tunggu di Cafe Fortune jam 4 sore. Jangan sampai telat. Kalau lo nggak tahu
alamat cafenya telepon gue.
Begitulah isi pesan singkat dari No yang tidak
dikenal oleh Lian.
"Siapa sih? Kok nyuruh gue ke Cafe Fortune?
Sorry,
lo siapa ya?...
Lian membalas pesan itu. 20 penit
sudah Lian menunggu jawaban dari nomor yang tidak dikenal itu. Namun tak ada
balasan sama sekali.
"Eh, malah nggak dibalas lagi. Penasaran
nih." akhirnya Lian memutuskan untuk menelpon nomor asing itu.
"Hallo." suara seorang laki-laki yang
mengangkat telepon dari Lian.
"Lo siapa?"
"Lian."
"Iya, gue. Lo siapa?"
"Gue Sapta." ucap lelaki itu.
"Sapta? Lo kok bisa tahu nomor gue sih?"
Lian penasaran.
"Tahulah. Lo kan freelance di kantor gue. Dan
data lo ada di kantor gue. Jadi gue tahu nomor handphone lo."
"Oh, iya juga sih." Lian menggaruk
kepalanya. "Terus lo ngapain ngajakin gue ketemuan di Cafe Fortune?"
"Masalah kerjaan."
"Kerjaan?" Lian kebingungan.
"Lo datang aja dulu besok. Pulang dari kantor
gue langsung ke sana ok. Lo tahu nggak Cafe Fortune di mana? "
"Nggak tahu."
"Lo tuh orang Jakarta apa bukan sih? Masa nggak
tahu Cafe Fortune di mana."
"Yeh, gue kan emang jarang nongkrong."
"Pasti lo nggak punya temenkan? Makanya jarang
nongkrong. "
"So tahu lo."
"Ya udah deh kalau gitu lo tunggu gue aja di
taman yang deket kantor gue. Nanti gue ke situ."
"Tapikan..."
"Jangan sampe telat." Sapta menutup
teleponnya.
"Hallo, hallo. Nggak sopan banget sih langsung
dimatiin gitu aja. Saraf kali nih orang. Kerjaan apaan coba? Gue kan nggak
kerja di kantornya dia. Wah parah nih."
***
Keesokan harinya Lian benar-benar
datang ke taman dekat kantor Sapta. Lian duduk di jok motornya. Suasana di
taman tidak begitu ramai. Hanya terlihat beberapa orang saja yang sedang
menghabiskan waktunya di taman.
"Ngapain gue ke sini ya? Kenapa gue jadi nurut
sama dia? Penting banget gitu?" Lian berbicara sendiri.
15 menit sudah Lian menunggu
kedatangan Sapta. Namun Sapta belum menunjukan batang hidungnya. Lian melihat
sekeliling taman. Dia memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang di
hadapannya. Sesekali Lian membetulkan kaca spion motor miliknya.
"Pasti gue dikerjain deh?" pikiran Lian
sudah negatif.
Tak lama kemudian Sapta keluar dari
dalam kantornya. Dia menghampiri Lian yang sedari tadi sudah menunggunya. Sapta
tersenyum ketika melihat Lian yang sudah berada di taman.
"Dateng juga tuh anak." Sapta menghampiri
Lian. "Woy!!!..." Sapta mengagetkan Lian.
"Gue pikir lo cuma ngerjain gue doang."
Lian menghadapkan badannya ke arah Sapta.
"Ya, enggaklah. Kita langsung berangkat
ya." ajak Sapta. "Gue ngambil dulu motor gue di parkiran. Lo tunggu
di sini ya."
"Ok."
"Tunggu gue." Sapta bergegas mengambil
motor sport miliknya di parkiran. Sapta melakukannya dengan cepat.
"Berangkat sekarang nih?." tanya Lian pada
sapta
"Iyalah."
"Ok deh kalau begitu."
Lian dan Sapta memakai helm mereka
masing-masing. Tak butuh waktu lama mereka langsung meluncur ke Cafe Fortune.
Lian mengikuti motor Sapta dari belakang. Sesekali Sapta melihat kaca spion
motor miliknya. Dia takut kalau Lian akan tertinggal. Sapta mengurangi
kecepatan motornya agar Lian bisa menyusulnya. Kini Lian sudah berada tepat di
samping Sapta.
"Lo di depan aja?" ucap Sapta pada Lian.
"Apa?" Lian tidak mendengar apa yang
dikatakan oleh Sapta karena kebisingan di jalan raya.
"Lo di depan aja?" Sapta mengulangi
ucapannya.
"Gue nggak tahu tempatnya."
"Sebentar lagi sampe, di depan tinggal belok
kiri aja."
"Ok." kini Lian sudah berada di depan
Sapta.
Akhirnya mereka berdua sudah sampai
di depan Cafe Fortune. Lian dan Sapta turun dari motor mereka masing-masing.
setelah turun dari motor Lian malah bengong, seperti memikirkan sesuatu.
"Ayo masuk. Malah bengong lo."
"Iya, ayo."
Saat masuk ke dalam Cafe Fortune
mata Lian melirik ke kanan dan ke kiri. Dia mengamati setiap sudut Cafe
Fortune. Lian sama sekali tidak tahu kalau di Jakarta ada Cafe seasyik ini.
Dinding-dinding Cafe Fortune dihiasi oleh photo2 bangunan jaman dahulu. Kursi dan meja terbuat dari
bahan jati. Sebagian dindingnya terbuat dari kayu jati. Lampu-lampu berwarna
kuning yang tidak terlalu terang menambah kesan teduh di Cafe Fortune.
"Hei, bro. Udah lama nih lo nggak nongkrong di
sini." tiba-tiba seorang laki-laki menyambut kedatangan Sapta.
"Biasalah sibuk di kantor." jawab Sapta.
"Siapa dia?" Lian bertanya-tanya dalam
hatinya.
"Wih, bawa cewek lo ke sini? Cewek baru
lo?" Laki-laki itu bertanya pada Sapta sambil tersenyum.
"Bukan. Dia temen gue." jawab Sapta.
"Gue pikir."
"Nggaklah."
"Kalau gitu gue ke dalam dulu ya." Pria
itu pamit pada Sapta.
"Ayo kita duduk." Sapta mengajak Lian.
Mereka berdua duduk saling berhadapan.
"Tadi siapa? Temen lo ya?" Lian bertanya
penasaran.
"Iya, dia temen gue. Dan dia yang punya cafe
ini."
"Wih, diskon dong makan di sini."
"Kalau buat gue pasti didiskon, kalau buat Lo
bayar 100℅."
"Kan sekarang gue temen lo juga. Seharusnya gue
juga harus didiskon dong."
"Ngarep lo."
"Hahaha..." Lian hanya tertawa.
"Mau pesen apa?" Sapta menyodorkan menu
pada Lian.
"Emh..." Lian berpikir sambil melihat
menu.
"Di sini nggak ada sate kambing." ucap
Sapta.
"Dih, siapa yang mau pesen sate kambing?"
"Ya kali aja."
"Gue mau steak aja deh."
"Minumnya?"
"Orange jus aja."
"Mbak." Sapta memanggil pelayan.
"Silahkan, mau pesan apa?"
"Steak 2 sama orange jus 2 ya." kata Sapta
pada pelayan itu.
"Baik mas. Ada lagi?"
"Itu aja mbak."
"Eh, maksud lo kerjaan apa sih?" Lian
bertanya pada Sapta soal maksudnya kemarin.
Sapta menghela nafasnya. "Jadi gini, lo kan
suka nulis artikel traveling. Gimana kalau lo juga nulis soal makanan."
"makanan?"
"Iya, soal makanan. Kayak food blogger
gitu."
"Emhhh..." Lian terlihat berfikir.
"Gimana, mau nggak?"
"Nulis artikel itu buat kantor lo juga?"
"Iyalah. Masa buat kantor orang lain."
"Ya, siapa tahu aja lo kerja dibeberapa kantor
majalah mungkin."
"Heh, gue bukan robot kali."
"Mungkin lo emang bukan robot. Tapi mungkin
manusia ajaib."
"Ada-ada aja lo." Sapta tersenyum.
"Ok deh gue setuju."
"Beneran setuju?"
"Beneran."
"Yakin?"
"Yakin gue."
"Ok, kita deal ya." Sapta mengulurkan
tangannya pada Lian.
"Deal " Lian menjabat tangan Sapta.
"Nulis artikelnya yang bagus ya."
"Tenang, jam terbang gue udah banyak."
"Sombong."
"Terkadang sombong itu perlu." Lian
memainkan alisnya.
"Dih, apaan sih."
"Eh, by the way lo sering ke sini ya?"
"Sering, kan yang punya temen gue."
"Pasti karena sering dikasih makan gratiskan?
Makanya lo sering ke sini." Lian menunjuk wajah Sapta.
"Enak aja, gue bayar kali." Sapta tidak
terima dengan tuduhan Lian.
"Bohong banget."
"Serius, gue bayar."
"Masa?"
"Beneran."
"Gue nggak percaya."
"Terserah lo."
"Ini makanannya. Silahkan dinikmati."
tiba-tiba pelayan perempuan itu datang sambil membawakan pesanan mereka berdua.
"Makasih ya mbak." Lian berterima kasih.
"Sama-sama."
Saat mereka sedang menyantap
makanan mereka, tiba-tiba seseorang menyapa Lian. Dan suara itu sudah tidak
asing lagi di telinga Lian. Mata Lian terbelalak ketika melihat seorang
laki-laki memakai pakaian casual sedang berdiri tepat di sampingnya. Lian
langsung berdiri dari tempat duduknya.
"Ganteng banget." Lian mengaguminya hanya
dalam hati.
"Hai, Lian." Rasya menyapa Lian.
"Hai." Lian terlihat gugup.
"Eh, ada Lian." tiba-tiba Arsy datang dan
langsung menggandeng tangan Rasya. Seketika itu Lian langsung cemberut. Sapta
yang mencium gelagat aneh pada Lian merasa heran.
"Kalian lagi ngedate ya?" Rasya menyangka
jika Lian dan Sapta sedang pedekate.
"Nggak kok, kita cuma..."
"Iya kita lagi ngedate." Sapta memotong
ucapan Lian.
"Cieee, Lian." Rasya hanya tersenyum.
"Ayo sayang kita duduk." Arsy mengajak
Rasya untuk segera duduk.
"Ayo. Selamat bersenang-senang ya Lian."
ucap Rasya pada Lian.
Wajah Lian berubah menjadi
cemberut, tak ada lagi senyum di wajahnya. Dia menekuk wajahnya, nampaknya Lian
benar-benar cemburu. Bagaimana tidak, Arsy mengandeng tangan Rasya tepat di
depan matanya. matanya mengamati Rasya dan Arsy yang sedang bermesraan. Lian
bangkit dari tempat duduknya, lalu dia pergi keluar cafe tanpa permisi
sedikitpun pada Rasya.
"Lian, mau ke mana?" Sapta memanggil Lian,
namun Lian tidak menghiraukannya. Dia terus keluar menuju parkiran. Inisiatif
Sapta mengejar Lian keluar.
"Gue bete..." Lian ngomel sendiri.
"Lian tunggu." Sapta berhasil meraih
tangan kanan Lian dan menariknya. "Lo kenapa sih?"
"Gue nggak kenapa-napa?"
"Lo bohong?"
"Sapta gue mau ngambil tisue di motor gue. Gue
mau ke toilet." Lian mencari-cari alasan.
"Di toilet banyak kali tisue."
"Gue mau pake tisue gue."
"Lo nggak usah banyak alasan. Bilang aja kalau
lo cemburu sama mereka." Sapta masih memegang tangan Lian.
"So tahu lo."
"Udahlah ngaku aja."
"Sapta lepasin tangan gue." Lian berusaha
menarik tangannya namun Sapta enggan untuk melepaskan tangan Lian.
"Nggak. Sebelum lo bilang kalau lo beneran
cemburu sama mereka."
"Lo rese ya."
"Iyakan. Dugaan gue bener?"
"Apaan sih?" Lian masih mengelak.
"Dia mantan lo? Dan lo masih cinta sama
dia?"
"Bukan."
"Lah, terus."
"Lo nggak usah ikut campur urusan gue."
"Gue nggak ikut campur kok, gue kan cuma
nanya."
"Dia bukan mantan gue dan dia bukan siapa-siapa
gue, ok." Akhirnya Lian berhasil menarik tangannya dari genggaman Sapta.
"Terus kenapa lo harus cemburu?"
"Gue, gue... Alah nggak penting jugakan."
"Lo suka sama dia." Sapta berhasil menebak
perasaan Lian.
"So tahu." Lian melotot pada Sapta.
"Udah, nggak usah ngelak."
"Gue mau pulang."
"Tapikan makannya belum selesai."
"Nggak peduli."
"Lo tunggu dulu di sini. Gue mau bayar dulu
makanannya." Sapta masuk ke dalam Cafe Fortune dan membayar semua
makanannya. Lalu dia kembali menghampiri Lian.
"Gue nggak jadi pulang. Gue mau jalan-jalan
aja."
"Lo mau ke mana?"
"Ke mana aja lah." Lian mengambil kunci
motor dari dalam saku celananya.
"Lo mau ke mana sih?" lagi-lagi Sapta
menarik tangan Lian, lalu melepaskannya kembali.
"Terserah gue mau ke mana." Lian menghampiri
motornya lalu memutar kunci motornya. Dia segera pergi meninggalkan Cafe
Fortune.
Sapta tidak tinggal diam, dia menghampiri motornya
dan langsung mengikuti Lian dari belakang.
"Mau ke mana sih dia?" Sapta penasaran.
"Kenapa sih selalu aja kayak gini. Kenapa gue
susah banget move on dari Rasya." Lian menyalahkan dirinya sendiri. Tanpa
terasa air mata Lian terjatuh. Pandangannya menjadi kabur karena air mata yang
terus keluar dari matanya. "Gue nggak boleh nangis, bahaya. Gue kan lagi
bawa motor." Lian menghapus air matanya.
Lian berhenti di sebuah warung.
Tenggorokannya terasa sangat kering. Karena pada saat di Cafe Fortune dia belum
menyentuh minumannya. Dia menghampiri warung itu hanya untuk sekedar membeli
air mineral. Sapta ikut berhenti di warung tersebut. Lalu membuka helmnya.
"Bu, air mineral satu. Ini uangnya." Lian
memberikan uang itu pada pedagang warung.
"Iya, neng."
"Makasih ya, Bu."
"Sama-sama."
Lian langsung meminum air mineral
yang telah dibelinya. Dia terus meminum air mineral itu hingga tersisa hanya
setengahnya lagi. Lian duduk di bangku sambil mengelap keringat di dahinya.
"Lo hobi banget nangis." Sapta duduk di
samping Lian.
"Nggak usah ikut campur urusan gue."
"Gue nggak ikut campur. sayang aja kalau air
mata lo itu ditumpahin cuma buat menangisi orang yang sama sekali nggak suka
sama Lo."
Lian melirik pada Sapta. "Iya." Lian
kembali meminum air mineralnya.
"Iya apa?."
"Yang barusan." Lian mulai tersenyum.
"Lo aneh ya."
"Aneh kenapa?" Lian mengerutkan keningnya.
"Tadi lo nangis, sekarang malah senyam-senyum.
Gila lo ya?"
"Siapa yang nangis?" Lian mengelak.
"Keliatan kali, tuh mata lo jadi agak sipit
begitu. Kayak yang bintitan."
"Enak aja." Lian menyenggol pundak Sapta.
"Gue nggak suka liat lo nangis."
"Kenapa?" Lian memicingkan matanya
"Kalau gue liat lo itu orangnya ceria. Jadi
aneh aja kalau liat lo nangis kayak gitu. Apalagi nangis kayak barusan. Nggak
penting banget deh."
"Kenapa penting?" Sapta memandang ke arah
Lian.
"Gue juga nggak tahu kenapa. Gue cuma asal
ngomong aja."
"Dasar lo."
"Gue pulang dulu ya." Lian bangkit dari
bangku.
"Katanya nggak mau pulang."
"Berubah pikiran." Lian segera menaiki
motornya, dan memakai helmnya.
"Hati-hati lo."
"Iya."
"Jangan sambil nangis. Entar lo nabrak
lagi."
"Iya, bawel." Lian segera meluncur dengan
motornya.
"Jangan lupa artikelnya." Sapta berteriak
pada Lian.
"Iya."
Bersambung
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan sopan dan baik
Komentar yang mengandung link aktif akan dihapus secara otomatis