Sunday 27 November 2016

September Bersamamu Part 9

Lian membaringkan badannya di sofa. Dia nampak sangat kelelahan sekali. Sesekali Lian menatap layar handphonenya. Tak ada pesan satupun. Lian membanting handphonenya ke sofa yang satu lagi. Lian menyalakan tv hanya untuk mencari hiburan. Tapi akhirnya Lian tertidur dengan sangat pulas di sofa. 2 jam sudah Lian tertidur. Dan selama Lian tertidur dia lupa tidak mematikan tv.

Lian bangun dari tidurnya. Dia mengucek-ngucek matanya. Lalu Lian pergi ke dapur untuk mengambil minuman.

"Seret banget nih tenggorokan" Lian menuangkan air putih dari teko ke dalam gelas.

Lian meminum airnya sampai habis hingga tak tersisa. Lian menuangkan kembali air putih ke dalam gelasnya, lalu membawanya ke ruang tengah. Sesekali Lian meminum kembali air yang berada di dalam gelas tersebut. Lian mengambil remote tv lalu memindahkan chanelnya. Berulang kali Lian memindahkan chanel tv nya. Tak ada satupun acara tv yang menarik. Akhirnya Lian mematikan tv. Lian melirik handphonenya, lalu dia mengecek handphonenya. Ada satu pesan yang dikirim satu jam yang lalu. Lian membaca pesan tersebut, ternyata pesan itu dari nomor yang tidak ia dikenal.

Besok gue tunggu di Cafe Fortune jam 4 sore. Jangan sampai telat. Kalau lo nggak tahu alamat cafenya telepon gue.

Begitulah isi pesan singkat dari No yang tidak dikenal oleh Lian.

"Siapa sih? Kok nyuruh gue ke Cafe Fortune?

Sorry, lo siapa ya?...

Lian membalas pesan itu. 20 penit sudah Lian menunggu jawaban dari nomor yang tidak dikenal itu. Namun tak ada balasan sama sekali.

"Eh, malah nggak dibalas lagi. Penasaran nih." akhirnya Lian memutuskan untuk menelpon nomor asing itu.

"Hallo." suara seorang laki-laki yang mengangkat telepon dari Lian.

"Lo siapa?"

"Lian."

"Iya, gue. Lo siapa?"

"Gue Sapta." ucap lelaki itu.

"Sapta? Lo kok bisa tahu nomor gue sih?" Lian penasaran.

"Tahulah. Lo kan freelance di kantor gue. Dan data lo ada di kantor gue. Jadi gue tahu nomor handphone lo."

"Oh, iya juga sih." Lian menggaruk kepalanya. "Terus lo ngapain ngajakin gue ketemuan di Cafe Fortune?"

"Masalah kerjaan."

"Kerjaan?" Lian kebingungan.

"Lo datang aja dulu besok. Pulang dari kantor gue langsung ke sana ok. Lo tahu nggak Cafe Fortune di mana? "

"Nggak tahu."

"Lo tuh orang Jakarta apa bukan sih? Masa nggak tahu Cafe Fortune di mana."

"Yeh, gue kan emang jarang nongkrong."

"Pasti lo nggak punya temenkan? Makanya jarang nongkrong. "

"So tahu lo."

"Ya udah deh kalau gitu lo tunggu gue aja di taman yang deket kantor gue. Nanti gue ke situ."

"Tapikan..."

"Jangan sampe telat." Sapta menutup teleponnya.

"Hallo, hallo. Nggak sopan banget sih langsung dimatiin gitu aja. Saraf kali nih orang. Kerjaan apaan coba? Gue kan nggak kerja di kantornya dia. Wah parah nih."


***


Keesokan harinya Lian benar-benar datang ke taman dekat kantor Sapta. Lian duduk di jok motornya. Suasana di taman tidak begitu ramai. Hanya terlihat beberapa orang saja yang sedang menghabiskan waktunya di taman.

"Ngapain gue ke sini ya? Kenapa gue jadi nurut sama dia? Penting banget gitu?" Lian berbicara sendiri.

15 menit sudah Lian menunggu kedatangan Sapta. Namun Sapta belum menunjukan batang hidungnya. Lian melihat sekeliling taman. Dia memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang di hadapannya. Sesekali Lian membetulkan kaca spion motor miliknya.

"Pasti gue dikerjain deh?" pikiran Lian sudah negatif.

Tak lama kemudian Sapta keluar dari dalam kantornya. Dia menghampiri Lian yang sedari tadi sudah menunggunya. Sapta tersenyum ketika melihat Lian yang sudah berada di taman. 

"Dateng juga tuh anak." Sapta menghampiri Lian. "Woy!!!..." Sapta mengagetkan Lian.

"Gue pikir lo cuma ngerjain gue doang." Lian menghadapkan badannya ke arah Sapta.

"Ya, enggaklah. Kita langsung berangkat ya." ajak Sapta. "Gue ngambil dulu motor gue di parkiran. Lo tunggu di sini ya."

"Ok."

"Tunggu gue." Sapta bergegas mengambil motor sport miliknya di parkiran. Sapta melakukannya dengan cepat.

"Berangkat sekarang nih?." tanya Lian pada sapta

"Iyalah."

"Ok deh kalau begitu."

Lian dan Sapta memakai helm mereka masing-masing. Tak butuh waktu lama mereka langsung meluncur ke Cafe Fortune. Lian mengikuti motor Sapta dari belakang. Sesekali Sapta melihat kaca spion motor miliknya. Dia takut kalau Lian akan tertinggal. Sapta mengurangi kecepatan motornya agar Lian bisa menyusulnya. Kini Lian sudah berada tepat di samping Sapta.

"Lo di depan aja?" ucap Sapta pada Lian.

"Apa?" Lian tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Sapta karena kebisingan di jalan raya.

"Lo di depan aja?" Sapta mengulangi ucapannya.

"Gue nggak tahu tempatnya."

"Sebentar lagi sampe, di depan tinggal belok kiri aja."

"Ok." kini Lian sudah berada di depan Sapta.

Akhirnya mereka berdua sudah sampai di depan Cafe Fortune. Lian dan Sapta turun dari motor mereka masing-masing. setelah turun dari motor Lian malah bengong, seperti memikirkan sesuatu.

"Ayo masuk. Malah bengong lo."

"Iya, ayo."

Saat masuk ke dalam Cafe Fortune mata Lian melirik ke kanan dan ke kiri. Dia mengamati setiap sudut Cafe Fortune. Lian sama sekali tidak tahu kalau di Jakarta ada Cafe seasyik ini. Dinding-dinding Cafe Fortune dihiasi oleh photo2 bangunan  jaman dahulu. Kursi dan meja terbuat dari bahan jati. Sebagian dindingnya terbuat dari kayu jati. Lampu-lampu berwarna kuning yang tidak terlalu terang menambah kesan teduh di Cafe Fortune.

"Hei, bro. Udah lama nih lo nggak nongkrong di sini." tiba-tiba seorang laki-laki menyambut kedatangan Sapta.

"Biasalah sibuk di kantor." jawab Sapta.

"Siapa dia?" Lian bertanya-tanya dalam hatinya.

"Wih, bawa cewek lo ke sini? Cewek baru lo?" Laki-laki itu bertanya pada Sapta sambil tersenyum.

"Bukan. Dia temen gue." jawab Sapta.

"Gue pikir."

"Nggaklah."

"Kalau gitu gue ke dalam dulu ya." Pria itu pamit pada Sapta.

"Ayo kita duduk." Sapta mengajak Lian. Mereka berdua duduk saling berhadapan.

"Tadi siapa? Temen lo ya?" Lian bertanya penasaran.

"Iya, dia temen gue. Dan dia yang punya cafe ini."

"Wih, diskon dong makan di sini."

"Kalau buat gue pasti didiskon, kalau buat Lo bayar 100℅."

"Kan sekarang gue temen lo juga. Seharusnya gue juga harus didiskon dong."

"Ngarep lo."

"Hahaha..." Lian hanya tertawa.

"Mau pesen apa?" Sapta menyodorkan menu pada Lian.

"Emh..." Lian berpikir sambil melihat menu.

"Di sini nggak ada sate kambing." ucap Sapta.

"Dih, siapa yang mau pesen sate kambing?"

"Ya kali aja."

"Gue mau steak aja deh."

"Minumnya?"

"Orange jus aja."

"Mbak." Sapta memanggil pelayan.

"Silahkan, mau pesan apa?"

"Steak 2 sama orange jus 2 ya." kata Sapta pada pelayan itu.

"Baik mas. Ada lagi?"

"Itu aja mbak."

"Eh, maksud lo kerjaan apa sih?" Lian bertanya pada Sapta soal maksudnya kemarin.

Sapta menghela nafasnya. "Jadi gini, lo kan suka nulis artikel traveling. Gimana kalau lo juga nulis soal makanan."

"makanan?"

"Iya, soal makanan. Kayak food blogger gitu."

"Emhhh..." Lian terlihat berfikir.

"Gimana, mau nggak?"

"Nulis artikel itu buat kantor lo juga?"

"Iyalah. Masa buat kantor orang lain."

"Ya, siapa tahu aja lo kerja dibeberapa kantor majalah mungkin."

"Heh, gue bukan robot kali."

"Mungkin lo emang bukan robot. Tapi mungkin manusia ajaib."

"Ada-ada aja lo." Sapta tersenyum.

"Ok deh gue setuju."

"Beneran setuju?"

"Beneran."

"Yakin?"

"Yakin gue."

"Ok, kita deal ya." Sapta mengulurkan tangannya pada Lian.

"Deal " Lian menjabat tangan Sapta.

"Nulis artikelnya yang bagus ya."

"Tenang, jam terbang gue udah banyak."

"Sombong."

"Terkadang sombong itu perlu." Lian memainkan alisnya.

"Dih, apaan sih."

"Eh, by the way lo sering ke sini ya?"

"Sering, kan yang punya temen gue."

"Pasti karena sering dikasih makan gratiskan? Makanya lo sering ke sini." Lian menunjuk wajah Sapta.

"Enak aja, gue bayar kali." Sapta tidak terima dengan tuduhan Lian.

"Bohong banget."

"Serius, gue bayar."

"Masa?"

"Beneran."

"Gue nggak percaya."

"Terserah lo."

"Ini makanannya. Silahkan dinikmati." tiba-tiba pelayan perempuan itu datang sambil membawakan pesanan mereka berdua.

"Makasih ya mbak." Lian berterima kasih.

"Sama-sama." 

Saat mereka sedang menyantap makanan mereka, tiba-tiba seseorang menyapa Lian. Dan suara itu sudah tidak asing lagi di telinga Lian. Mata Lian terbelalak ketika melihat seorang laki-laki memakai pakaian casual sedang berdiri tepat di sampingnya. Lian langsung berdiri dari tempat duduknya.

"Ganteng banget." Lian mengaguminya hanya dalam hati.

"Hai, Lian." Rasya menyapa Lian.

"Hai." Lian terlihat gugup.

"Eh, ada Lian." tiba-tiba Arsy datang dan langsung menggandeng tangan Rasya. Seketika itu Lian langsung cemberut. Sapta yang mencium gelagat aneh pada Lian merasa heran.

"Kalian lagi ngedate ya?" Rasya menyangka jika Lian dan Sapta sedang pedekate.

"Nggak kok, kita cuma..."

"Iya kita lagi ngedate." Sapta memotong ucapan Lian.

"Cieee, Lian." Rasya hanya tersenyum.

"Ayo sayang kita duduk." Arsy mengajak Rasya untuk segera duduk.

"Ayo. Selamat bersenang-senang ya Lian." ucap Rasya pada Lian.

Wajah Lian berubah menjadi cemberut, tak ada lagi senyum di wajahnya. Dia menekuk wajahnya, nampaknya Lian benar-benar cemburu. Bagaimana tidak, Arsy mengandeng tangan Rasya tepat di depan matanya. matanya mengamati Rasya dan Arsy yang sedang bermesraan. Lian bangkit dari tempat duduknya, lalu dia pergi keluar cafe tanpa permisi sedikitpun pada Rasya.

"Lian, mau ke mana?" Sapta memanggil Lian, namun Lian tidak menghiraukannya. Dia terus keluar menuju parkiran. Inisiatif Sapta mengejar Lian keluar.

"Gue bete..." Lian ngomel sendiri.

"Lian tunggu." Sapta berhasil meraih tangan kanan Lian dan menariknya. "Lo kenapa sih?"

"Gue nggak kenapa-napa?"

"Lo bohong?"

"Sapta gue mau ngambil tisue di motor gue. Gue mau ke toilet." Lian mencari-cari alasan.

"Di toilet banyak kali tisue."

"Gue mau pake tisue gue."

"Lo nggak usah banyak alasan. Bilang aja kalau lo cemburu sama mereka." Sapta masih memegang tangan Lian.

"So tahu lo."

"Udahlah ngaku aja."

"Sapta lepasin tangan gue." Lian berusaha menarik tangannya namun Sapta enggan untuk melepaskan tangan Lian.

"Nggak. Sebelum lo bilang kalau lo beneran cemburu sama mereka."

"Lo rese ya."

"Iyakan. Dugaan gue bener?"

"Apaan sih?" Lian masih mengelak.

"Dia mantan lo? Dan lo masih cinta sama dia?"

"Bukan."

"Lah, terus."

"Lo nggak usah ikut campur urusan gue."

"Gue nggak ikut campur kok, gue kan cuma nanya."

"Dia bukan mantan gue dan dia bukan siapa-siapa gue, ok." Akhirnya Lian berhasil menarik tangannya dari genggaman Sapta.

"Terus kenapa lo harus cemburu?"

"Gue, gue... Alah nggak penting jugakan."

"Lo suka sama dia." Sapta berhasil menebak perasaan Lian.

"So tahu." Lian melotot pada Sapta.

"Udah, nggak usah ngelak."

"Gue mau pulang."

"Tapikan makannya belum selesai."

"Nggak peduli."

"Lo tunggu dulu di sini. Gue mau bayar dulu makanannya." Sapta masuk ke dalam Cafe Fortune dan membayar semua makanannya. Lalu dia kembali menghampiri Lian.

"Gue nggak jadi pulang. Gue mau jalan-jalan aja."

"Lo mau ke mana?"

"Ke mana aja lah." Lian mengambil kunci motor dari dalam saku celananya.

"Lo mau ke mana sih?" lagi-lagi Sapta menarik tangan Lian, lalu melepaskannya kembali.

"Terserah gue mau ke mana." Lian menghampiri motornya lalu memutar kunci motornya. Dia segera pergi meninggalkan Cafe Fortune.

Sapta tidak tinggal diam, dia menghampiri motornya dan langsung mengikuti Lian dari belakang.

"Mau ke mana sih dia?" Sapta penasaran.

"Kenapa sih selalu aja kayak gini. Kenapa gue susah banget move on dari Rasya." Lian menyalahkan dirinya sendiri. Tanpa terasa air mata Lian terjatuh. Pandangannya menjadi kabur karena air mata yang terus keluar dari matanya. "Gue nggak boleh nangis, bahaya. Gue kan lagi bawa motor." Lian menghapus air matanya.

Lian berhenti di sebuah warung. Tenggorokannya terasa sangat kering. Karena pada saat di Cafe Fortune dia belum menyentuh minumannya. Dia menghampiri warung itu hanya untuk sekedar membeli air mineral. Sapta ikut berhenti di warung tersebut. Lalu membuka helmnya.

"Bu, air mineral satu. Ini uangnya." Lian memberikan uang itu pada pedagang warung.

"Iya, neng."

"Makasih ya, Bu."

"Sama-sama."

Lian langsung meminum air mineral yang telah dibelinya. Dia terus meminum air mineral itu hingga tersisa hanya setengahnya lagi. Lian duduk di bangku sambil mengelap keringat di dahinya.

"Lo hobi banget nangis." Sapta duduk di samping Lian.

"Nggak usah ikut campur urusan gue."

"Gue nggak ikut campur. sayang aja kalau air mata lo itu ditumpahin cuma buat menangisi orang yang sama sekali nggak suka sama Lo."

Lian melirik pada Sapta. "Iya." Lian kembali meminum air mineralnya.

"Iya apa?."

"Yang barusan." Lian mulai tersenyum.

"Lo aneh ya."

"Aneh kenapa?" Lian mengerutkan keningnya.

"Tadi lo nangis, sekarang malah senyam-senyum. Gila lo ya?"

"Siapa yang nangis?" Lian mengelak.

"Keliatan kali, tuh mata lo jadi agak sipit begitu. Kayak yang bintitan."

"Enak aja." Lian menyenggol pundak Sapta.

"Gue nggak suka liat lo nangis."

"Kenapa?" Lian memicingkan matanya

"Kalau gue liat lo itu orangnya ceria. Jadi aneh aja kalau liat lo nangis kayak gitu. Apalagi nangis kayak barusan. Nggak penting banget deh."
Lian hanya tertawa sambil melempar botol bekas air mineralnya ke dalam tong sampah. "Tapi menurut gue penting kok."

"Kenapa penting?" Sapta memandang ke arah Lian.

"Gue juga nggak tahu kenapa. Gue cuma asal ngomong aja."

"Dasar lo."

"Gue pulang dulu ya." Lian bangkit dari bangku.

"Katanya nggak mau pulang."

"Berubah pikiran." Lian segera menaiki motornya, dan memakai helmnya.

"Hati-hati lo."

"Iya."

"Jangan sambil nangis. Entar lo nabrak lagi."

"Iya, bawel." Lian segera meluncur dengan motornya.

"Jangan lupa artikelnya." Sapta berteriak pada Lian.

"Iya." 




Bersambung

No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan sopan dan baik
Komentar yang mengandung link aktif akan dihapus secara otomatis