Wednesday 14 March 2018

Perbedaan Rasa Suka dan Rasa Cinta

Kalian pernah nggak jatuh cinta atau suka sama seseorang? Kalau kalian pernah merasakan kedua hal itu, selamat, hati kalian masih berfungsi dengan sangat baik. Tapi, rasa suka dan rasa cinta itu adalah 2 hal yang sangat berbeda.
  • Suka muncul dalam waktu yang sangat singkat sedangkan cinta bertumbuh lewat proses pengenalan yang panjang. Jadi, perasaan yang kita rasakan ketika kita bertemu dengan seseorang dan langsung "mencintainya" sebenarnya itu bukan rasa cinta melainkan rasa suka yang sangat kuat.
  • Ketika kamu mencintai seseorang, dia bakal selalu terlihat sempurna di matamu. Meskipun parasnya biasa saja, namun dia adalah wanita tercantik atau pria tertampan yang pernah ada. Walaupun dia belum mandi atau tidak memakai make up sekalipun, dia bakal tetap terlihat sangat istimewa. Berbeda ketika kamu suka dengan seseorang. Orang yang kamu suka itu hanya terlihat rupawan di momen tertentu saja.
  • Saat jatuh cinta, apapun tentang dirinya selalu menarik buatmu. Ketika merasa suka, kamu hanya tertarik kelebihannya saja. Kamu bakal merasa tertarik dengan hal yang berkaitan tentang dirinya, apapun itu. Rasanya semua hal yang terjadi dalam hidupnya itu istimewa dan selalu membuatmu terpesona. Hal ini bakal berbeda ketika kamu suka pada seseorang. Kamu hanya akan tertarik pada kelebihannya saja atau bahkan fisik luarnya.
  • Jika yang dirasakan itu cinta maka kamu gak tahu apa yang membuatmu jatuh cinta dari sosoknya. Ketika suka, kamu selalu tahu apa yang kamu suka dari dirinya.
  • Cinta itu memberi, kamu selalu ingin memberikan apapun yang terbaik pada si dia tanpa harus diminta dan tanpa imbalan sepeserpun. Berbeda dengan suka, yang masih mengharapkan imbalan.
 Ingat kamu bisa memberi tanpa harus mencintai, tapi ketika kamu mencintai seseorang kamu tidak mungkin jika tidak memberikan apapun. Karena ketika kamu mencintai seseorang, pasti kamu selalu ingin memberikan apapun yang kamu punya untuk si dia.

6 Ucapan Cowok Yang Menandakan Kalau Dia Suka Sama Kamu


Ada banyak hal yang ingin cowok sampaikan kepada kamu (Sebagai wanita idamannya), namun terkadang mereka merasa malu untuk langsung mengatakan bahwa dia sangat menyukai kamu. Berikut 6 ucapan cowok yang menandakan kalau dia suka sama kamu. 

 “Aku Senang ketemu kamu”
Ketika ada cowok yang bilang seperti itu sudah dipastikan jika cowok tersebut memang suka sama kamu. Karena biasanya cowok tidak akan mengucapkan hal tersebut jika dia hanya menganggapmu teman biasa.

 “Kamu cantik”
Cowok tidak akan memuji teman wanitanya jika wanita tersebut tidak benar-benar spesial. Biasanya cowok hanya akan memuji cantik pada ibunya atau saudara perempuannya.

“Aku kangen kamu”
Kalau yang satu ini kayaknya kamu nggak usah ragu deh, karena kalau cowok sudah bilang kangen sama kamu berarti itu memang ungkapan isi hatinya. Dan dia benar-benar merindukan sosokmu.

“Jadi kapan kita bisa ketemu lagi”
Kalau ada cowok yang bilang seperti itu sama kamu, itu bertanda kalau dia nggak mau lama-lama lagi kalau nggak ngeliat kamu. Dia ingin selalu bersama kamu dan ingin menghabiskan waktu lebih banyak lagi dengan kamu.

“Bener nih nggak ada yang marah”
Saat cowok bilang seperti itu, dia hanya ingin memastikan jika kamu sudah punya pacar atau belum. Dengan begitu dia bisa tahu kalau kamu itu sudah ada yang punya atau belum.

“Kamu mau nggak temenin aku kondangan”
Jika ada cowok yang mengajakmu ke acara pernikahan temannya atau saudaranya, itu berarti kamu sangat penting baginya. Karena cowok nggak akan mungkin mengajakmu ke pesta pernikahan jika dia hanya menganggapmu teman biasa.

By : Santi Mardiyatin

Tuesday 10 January 2017

Zeira and The World of Magic

Nah ini nih Sinopsis Novel Zeira and The World of Magic. Benar, ini kisah rumit tentang Dunia Magic. Zeira tidak menyadari bahwa dialah kunci penting atas revolusi sebuah dunia, di mana sihir menjadi napas utama. Zeira tersedot ke dalam cermin ajaib yang membawanya pada Raja Abra, pemimpin dari Istana Kegelapan. Dia harus berjuang menyelamatkan diri, menyelamatkan Dunia Magic, dan kembali ke rumahnya. Sayang, itu tak semudah yang Zeira kira. Akan selalu ada kutukan yang menghantuinya. Akan selalu ada kuda-kuda siluman yang siap menyerangnya. Belum lagi burung hantu yang taat memata-matai semua yang dilakukannya. Zeira sudah merasakan semuanya: terperangkap dalam botol kaca, terbuai oleh senyum licik nenek sihir, hingga berlari dari kejaran Tyrannosaurus. Satu yang belum dia dapatkan sejauh ini: pulang kembali ke rumahnya. 

Penulis : Santi Mardiyatin 
Penerbit : Dar! Mizan 
Genre : Novel Remaja Fantasi 
Cetakan : I, Desember 2014 
Tebal : 168 halaman 
ISBN : 978-602-242-620-2

Dapatkan Segera Novel Terbaru Karya Santi Mardiyatin "Cinta Untukmu"

PESAN SECARA ONLINE SEKARANG JUGA HARGA 73.000
Ribby Nona Azzalea, anak dari juragan perkebunan teh di kota Bogor. Saat itu rumahnya disewa dan dijadikan tempat untuk lokasi syuting.. Sejak rumahnya dijadikan lokasi syuting, Ribby sering datang ke tempat lokasi syuting. Bukan karena ingin melihat syuting di rumahnya. Tapi Ribby menyukai laki-laki yang bernama Arby. Dengan polosnya Ribby menyatakan cintanya kepada Arby. Padahal mereka baru saja bertemu. Arby memberikan kesempatan kepada Ribby, dia harus bisa membuatnya jatuh cinta dalam jangka waktu satu bulan. Dan Ribby menyanggupi persyaratan dari Arby. Akankah Ribby berhasil membuat Arby jatuh Cinta? Dan siapakah sosok Arby yang sangat disukai oleh Ribby?

Judul : Cinta Untukmu
Penulis : Santi Mardiyatin Wahyuningsih
Tebal : 226 hlmn
Ukuran : 13x19 cm
Harga : 73.000
Untuk Pemesanan wajib mengikuti format :  
1. nama lengkap
2. alamat lengkap (nama jalan/no.rumah/RT/RW/ kelurahan/kecamatan/kota/ provinsi/kodepos)
3. no. tlp/Hp
4. judul buku 

•Format diatas dikirim ke: (*pilih salah satu)
√LINE : himetenry 
√BBM : 59F7332E
√Email : lumediapro@yahoo.com

Saturday 10 December 2016

September Bersamamu Part 14 (Last Part)

Lian sedang membereskan ruangan Sapta. Dia merapihkan beberap file-file penting lalu menyusunya satu persatu-satu ke dalam lemari arsip.
“Rajin banget.” tiba-tiba Sapta berada tepat di belakang Lian.
“Saya selalu membereskan ruangan bapak, jadi bukan kali ini saja saya rajin.”
“Oh, gitu.” Sapta duduk di kursinya. Lalu dia menatap Lian tanpa berkedip sama sekali. Sesekali Sapta tersenyum kecil karena melihat Lian.
“Maaf, ada yang salah dengan penampilan saya?” Lian melirik bajunya sendiri.
“Nggak ada yang salah kok. Cuma warna lipstick kamu diganti ya? Agak merah gimana gitu warnanya.” Sapta sangat memperhatikan hal sekecil apapun yang dipakai oleh Lian.
“Bapak nggak ada kerjaan ya sampai-sampai memperhatikan warna lipstick saya?” Lian mulai kesal pada Sapta.
Sapta bangkit dari tempat duduknya dan dia menghampiri Lian. “Kamu jangan galak-galak gitu sama aku, soalnya aku nggak mau galakin kamu balik. Aku kan sayang sama kamu.” kata-kata itu terdengar jelas oleh telinga Lian.
“Sejak kapan dia bilang aku kamu? Biasanya juga lo gue.” Lian berbicara dalam hatinya. Dan dia heran dengan sikap Sapta yang mendadak jadi manis seperti ini.
“Kok diem aja sih sayang?” Sapta mulai bersikap mesra pada Lian.
“Bapak panggil siapa?”
“Kamu. Kamu kan sekarang pacar aku.”
“Sejak kapan kita pacaran?”
“Semalam.” Sapta semakin mendekatkan wajahnya pada Lian, bahkan sekarang Sapta sudah memegang pinggang Lian dengan kedua tangannya.
“Gue nggak pernah terima lo.”
“Shut, jangan berisik. Ini kantor. Inget aku atasan kamu, jadi kamu harus melakukan apapun yang aku mau. Termasuk jadi pacar aku.”
“Lo sinting ya.”
“Nggak kok.” Sapta membelai pipi Lian. Sapta hampir saja mencubit pipi Lian yang agak chubby, namun Lian keburu menghindar karena handphonenya berbunyi.
Ternyata Lian mendapat pesan singkat dari Rasya yang mengingatkan bahwa Lian harus datang ke acara pernikahannya besok malam. Lian hanya mematung setelah membaca pesan singkat itu. Matanya mulai berkaca-kaca. Sapta yang melihat Lian seperti itu merasa khawatir.
“Kenapa Lian?”
Lian tidak menjawab pertanyaan Sapta, Lian hanya memandangi layar handphonenya terus-menerus. Lian ingin sekali berteriak kalau dialah satu-satunya orang yang tidak setuju dengan pernikah Rasya dan Azka. Sapta merebut handphone yang sedang dipegang oleh Lian, lalu dia membaca pesan singkat itu.
“Udah kamu jangan nangis.” Sapta memegang bahu Lian. “Masih ada aku.” Sapta mulai menghapus air mata Lian.
            Sapta menarik tubuh Lian ke dalam pelukannya, Sapta mengelus kepala Lian dengan lembut. Sapta dapat merasakan apa yang kini dirasakan oleh Lian. Pasti hatinya benar-benar hancur.
“Kamu mau datang ke acara pernikahan mereka?”
“Nggak mau.” Lian masih berada dalam pelukan Sapta.
“Kamu harus datang Lian, kamu nggak boleh lemah kayak gini. Kamu datang sama aku ya.” Sapta membujuk Lian agar dia hadir di resepsi pernikahan Rasya.
“Nggak.” Lian mulai terisak menangis.
“Pokoknya kamu harus datang, aku yang akan temenin kamu di sana. Biar kamu nggak sendiri. Mau ya?”
“Iya.” Lian menganggukan kepalanya.
“Nanti pulang kerja aku antar pulang ya.”
“Iya.”
***
            Malam yang tak ingin ditemui oleh Lian pun akhirnya datang juga. Sapta datang ke rumah Lian untuk menjemputnya. Lian sudah bersiap-siap sedari tadi. Lian menngenakan gaun merah marun selutut. Rambutnya ditata sedemikian rupa. Lian terlihat sangat cantik malam itu. Wangi tubuh Lian tercium oleh hidung Sapta. Aromanya seperti bau sabun. Begitu fres.
“Udah siap?” tanya Sapta pada Lian.
“Udah.”
“Ok, kita berangkat sekarang.”
            Sapta dan Lian langsung pergi menuju gedung tempat resepsi Rasya dan Azka. Sebenarnya Lian malas datang ke acara pernikahan mereka, karena Lian takut kalau dia akan menangis. Tapi untunglah ada Sapta yang menemaninya. Jadi jika terjadi sesuatu pada Lian, Sapta siap membantu Lian dengan tulus.
            Lian dan Sapta sudah sampai di depan gedung pernikahan Rasya dan Azka. Lian menarik nafasnya dalam-dalam sebelum masuk ke dalam.
“Kamu harus tenang ya. Jangan baper.” Sapta memegang tangan Lian.
“Enggak kok.”
“Ok, kita masuk sekarang.
            Perasaan Lian campur aduk, tak karuan sama sekali. Lian berusaha untuk bisa menerima kenyataan bahwa Rasya memang bukan untuknya. Lian yakin jika ini sudah menjadi takdir Tuhan. Lian hanya bisa pasrah dan berusaha ikhlas menerima semuanya.
            Sapta mulai memegang pinggang Lian dari belakang. Mereka berjalan menuju kursi pelaminan. Rasya dan Azka tersenyum bahagia di sana. Terlihat sekali raut kebahagian di wajah mereka.
“Akhirnya kamu datang  juga Lian. Azof mana?” Rasya menyadari jika Azof tak bersama Lian.
“Azof lagi tugas di Papua. Dia belum pulang. Harusnya sih dia pulang bulan ini. Tapi karena ada Kendala gitu dia nggak jadi pulang. Aku juga nggak tahu sih dia pulangnya kapan.” jawab Lian dengan santai.
“Oh  gitu, jauh juga ya di Papua..”
“Selamat ya.” Lian memberikan ucapan selamat pada pengantin baru.
“Iya, Lian makasih ya.” Azka tersenyum.
“Ini siapa?” Azka bertanya pada Lian.
“Pacar.” Lian mengakui Sapta sebagai pacarnya.
“Oh, pacarnya. Cepet nyusul ya kalian.” Azka mendoakan Sapta dan Lian.
“Amin.” ucap Sapta dan Lian bersamaan.
            Sapta dan Lian menikmati makanan yang dihidangkan, sesekali mereka tertawa bersama. Nampaknya Lian sudah tidak memperdulikan Rasya lagi. Kini Rasya sudah bahagia bersama keluarga barunya. Lian harus bisa move on. Lagipula sekarang sudah ada Sapta. Pria yang mencintainya. Untuk apalagi Lian memikirkan Rasya yang sudah jelas-jelas milik orang lain.
            Jam sudah menunjukakn pukul 22.00 malam. Sapta harus segera mengantar Lian pulang ke rumahnya. Lian turun dari dalam mobil, begitupun dengan Sapta.
“Lian, tunggu.” Sapta menghentikan langkah Lian.
“Ada apa?” Lian menoleh pada Sapta.
“Soal tadi yang kamu bilang kalau aku itu pacar kamu…”
“Oh, itu. Itu emang mau kamu kan? Kamu kan bos aku, jadi aku harus mau melakukan apapun yang diperintahkan oleh bosnya.” Lian memotong ucapan Sapta.
“Kamu serius, Lian?” Sapta masih tak percaya.
“iya, aku serius.”
“Jadi sekaramg kita jadian nih?”
“Bukannya dari kemaren ya kita udah pacaran. Kan kamu yang bilang sendiri.” Lian tersenyum.
“Yes!!!.” Sapta kegirangan.
“Makasih ya.” kata Lian pada Sapta.
“Buat apa?” Sapta kebingungan
“Buat semuanya.”
“Semuanya?” Sapta semakin kebingungan.
“Karena selama ini kamu udah selalu ada buat aku. Kamu melebihi dari seorang sahabat. Kamu itu sering bikin aku kesel, bikin aku jengkel, bikin aku marah dan…” Lian tidak melanjutkan ucapannya.
“Dan apa?”
“Dan bikin aku kangen.”
“Kamu kangen sama aku?”
“Emhh… Mungkin iya mungkin enggak.” Lian sedikt berpikir.
“Ih, kamu nyebelin.” Sapta menggelitik pinggang Lian.
“Sapta, geli.”
“Cinta itu lucu ya.”
“Kok lucu sih.”
“Ya, lucu aja. Semakin sering kita ketemu malah semakin kangen.”
“Kangen nggak sama aku?” Lian mendekati Sapta.
“Aku selalu kangen sama kamu.” Giliran Sapta yang semakin mendekatkan tubuhnya ke arah Lian.
“Masa?”
“Iya, serius.” Sapta mulai memeluk tubuh Lian. “Kamu nggak mau ngucapin apa gitu sama aku.”
“Emangnya aku harus ngucapin apa?”
“Aku ulang tahun hari ini.”
“Serius?” Lian melepaskan tubuhnya dari dekapan Sapta.
“Iya. Aku beneran ulang tahun hari ini. Tepat tanggal 24 September.”
“Yang ke berapa tahun?”
“25 tahun.”
“Dih, udah tua.” Lian malah meledek Sapta.
“Itu bukaan tua, tapi matang.”
“Kalau udah matang sebentar lagi busuk dong.”
“Lian!!!.” Sapta mencubit pipi Lian dengan gemas.
“Aw, sakit.” Lian memegang pipinya. “Aku belum siapin kado buat kamu. Soalnya aku nggak tahu kalau hari ini kamu ulang tahun.”
“Nggak apa-apa kok, kamu hadiah buat aku.” Sapta kembali memeluk tubuh Lian. “Selama bulan September kita selalu sama-sama. Kita kerja bareng, makan siang bareng, menghabiskan waktu bareng. Dan aku senang bisa melakukan semuanya sama kamu.”
“Asal jangan bobo bareng ya?”
“Jangan dong, kitakan belum nikah. Nanti tunggu waktu yang tepat, Lian.”
“Kapan?”
“Besok mau aku langsung ajak ke penghulu?”
“Nggak kecepetan itu.”
“Kan lebih baik begitu.”
            Lian hanya tertawa kecil dipelukan Sapta. Sapta menatap wajah Lian lumayan lama. Dia mengelus pipi Lian, mengusap wajahnya dan membelai hidung Lian. Sapta benar-benar mencintai gadis yang ada dihadapanya. Sapta tidak menyangka jika Lian kini sudah menjadi miliknya. Sapta semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Lian. Degup Jantung Lian berdetak tak beraturan. Semakin Sapta mendekatkan wajahnya, jantung Lian semakin berdetak dengan kencang. Dan entah bagaimana kejadiannya, kini bibir Sapta sudah menempel pada Bibir Lian. Sapta mengecupnya dengan sangat hati-hati. Cukup lama sapta mencium bibir Lian dan itu membuat lutut Lian menjadi lemas. Untung saja Sapta sambil memegang tubuh Lian. Jiak tidak, mungkin saja Lian sudah terjatuh lemas. Dan Sapta adalah laki-laki pertama yang berhasil mencium bibir Lian. Sekaligus pacar pertama Lian.
            Lian memang bukan yang pertama bagi Sapta. Tapi kali ini Sapta ingin menjadikan Lian sebagai wanita terakhirnya. Sapta berharap jika hubungannya dengan Lian bisa sampai ke jenjang pernikahan. Sapta sangat mendambakan sekali jika kelak nanti Lian akan menjadi ibu dari anak-anaknya.
Selesai

September Bersamamu Part 13

Saat berada di dalam kantor tiba-tiba Dita datang ke ruangan sapta. Dia langsung marah-marah. Rupanya Dita masih tidak terima dengan kejadian semalam. Apalagi Sapta lebih memilih untuk pergi bersama Lian ketimbang dirinya.
“Sapta, aku nggak terima ya. Pokoknya aku nggak terima.” Dita marah-marah
“Nggak terima apa sih?:
“Soal kejadian semalam.”
“Oh, soal itu.”
“Iya, kenapa kamu ninggalin aku Sapta?”
“Lo itu udah keterlaluan sama Lian. Kata-kata lo juga kasar banget. Gue nggak suka kalau ada cewek yang ngomongnya kasar.”
“Dia itu emang perempuan murahan.”
“Dita cukup!!!.” Sapta membentak Dita.
“Oh, kamu mulai berani ya sama aku? Kamu mau aku pecat?” Dita mengancam Sapta.
“Dipecat? Silahkan. Karena sebelum lo pecat gue, gue yang akan mengundurkan diri. Besok gue akan kirim surat pengunduran diri gue.”
“Sapta aku cuma bercanda.”
“Buat gue itu serius.”Sapta membereskan barang-barangnya.
“Sapta aku bercanda doang. Tolong Sapta, kamu jangan resign dari kantor ini.’
“Udah terlanjur, mulai hari ini gue udah nggak kerja lagi di kantor ini. Permisi.” Sapta langsung pergi meninggalkan kantor majalah itu.
“Sapta tunggu, Sapta, Sapta.” Dita memanggil-manggil Sapta. Namun nyatanya Sapta tidak menghiraukannya.
“Sial!!!.” Dita menendang tong sampah yang berada didekatnya
            Keesokan harinya Sapta benar-benar mengirimkan surat resignnya. Mulai hari ini Sapta sudah tidak bekerja lagi di kantor majalah Dita. Memang sangat disayangkan sekali keputusan Sapta yang sangat mendadak ini, mengingat Sapta sudah memiliki jabatan di kantor majalah itu. Apalagi Sapta juga sudah bekerja selama 5 tahun lebih di kantor majalah itu. Sapta memang sudah muak dengan sikap Dita yang menurutnya tidak tahu sopan santun dan suka mengumpat. Sapta berusaha bersabar menghadapi sikap Dita. Namun kali ini Sapta benar-benar sudah habis kesabaran untuk menghadapi sikap Dita.
            Satu minggu sudah Sapta resign dari kantor majalah Dita. Dita benar-benar menyesal dengan ucapannya. Andai saja waktu itu Dita tidak berbicara seperti itu, mungkin saja sapta masih bekerja di kantor majalahnya. Kini Dita hanya bisa memandangi ruangan Sapta yang kini sudah kosong. Dan belum ada orang yang menggantikan posisi Sapta
***
“Lian, tolong kamu segera ke ruangan saya secepatnya.” Pak Surya menelpon Lian melalui telepon kantor
“Baik, Pak.” Lian segera pergi menuju ruangan Pak Surya.
Saat tiba di depan ruangan Pak Surya Lian langsung mengetuk pintunya “Permisi.”
“Masuk.”
“Ada apa ya bapak panggil saya?” Lian begitu penasaran, karena tiba-tiba saja Pak Surya memanggil Lian ke ruangannya. Apa Lian melakukan kesalahan yang membuat dirinya dipanggil langsung oleh pemilik perusahaan.
“Duduk dulu Lian.”
“Iya.” Lian duduk saling berhadapan dengan Pak Surya. Lian begitu deg-degan, karena dia takut akan dipecat.
“Begini, Lian. Saya mau kamu tidak bekerja lagi sebagai sekretaris Manager.”
“Bapak pecat saya?” spontan wajah Lian langsung berubah.
“Oh, tidak. Saya tidak pecat kamu Lian. Saya mau mulai hari ini kamu menjadi asisten pribadi seorang Direktur Utama.”
“Saya jadi asisten bapak gitu?”
“Bukan, tapi asisten anak saya. Dia yang akan menggantikan posisi saya. Karena dalam hitungan jam saja saya sudah tidak menjabat sebagai Dirut lagi. Semuanya sudah saya serahkan pada anak saya. Dan dia mau kalau kamu menjadi asisten pribadinya. Ini permintaan langsung dari anak saya. Nanti siang dia akan datang ke kantor ini.”
“Kenapa semuanya serba dadaka Pak?”
“Ini tidak dadakan. Hanya saja kamu baru tahu hari ini. Begitu Lian.”
“Oh, begitu.”
“Bagaimana, kamu siap menjadi asisten pribadi anak saya?”
“Saya siap, Pak?”
“Bagus, kalau begitu kamu boleh minggalkan ruangan ini.”
“Baik Pak, terima kasih.” Lian meninggalkan ruangan Pak Surya.
“Sama-sama.”
            Lian sudah selesai makan siang, dia harus segera kembali bekerja. Tapi Lian disuruh menunggu di ruangan Direktur Utama oleh Pak Surya. Karena sebentar lagi anak pemilik perusahaan akan datang. Sementara Pak surya sudah pulang terlebih dahulu.
“Ini gila. Masa gue disuruh kenalan langsung sama Dirut yang baru tanpa perantara siapapun.” ucap Lian dalam hatinya.
“Liana Maharani.” tiba-tiba sebuah suara mengagetkan Lian. Dan Lian yakin jika suara itu adalah suara Dirut yang baru.
Lian langsung bangkit dari tempat duduknya. “Iya, Pak Saya.”
“Balik badan.”
“Iya, Pak.” Lian berbalik badan, dan dia kaget ketika melihat sosok laki-laki yang sangat ia kenal. “Sapta, lo ngapain di sini?”
“Gue kerja di sini. Soalnya gue udah resign dari tempat kerja yang kemaren.”
“Kenapa Resign?”
“Nggak usah kepo deh.”
“Terus ngapain lo di sini?”
“Gue? Gue gantiin posisi bokap gue.”
“Jadi lo anaknya Pak Surya?”
“Iya.” Sapta menganggukan kepalanya.
“Pantesan aja waktu itu lo bilang kalau lo tahu soal PT. Suryatex. Iya, iyalah inikan perusahaan bokap lo.”
“Haha…” Sapta hanya tertawa.
“Terus kenapa lo kerja di tempatnya Dita. Kalau ternyata orang tua lo kaya raya.”
“Gue kerja di sana cuma buat bantuin perusahaan punya Om Ali. Soalnya dia itu teman baik orang tua gue. Dan gue juga pengen mandiri juga. Gue pengen ngerasain kerja di tempat orang itu kayak gimana. Dan inilah saatnya gue menggantikan posisi bokap gue. Kasian papa, udah saatnya dia itu pensium. Duduk manis di rumah. Biar gue aja yang kerja.”
“Anak berbakti.” Lian salut pada Sapta.
“Ok, Lian. Sekarang lo pijitin pundak gue. Pegel banget nih nyetir mobil terus dari kemaren.” Sapta langsung menyuruh Lian untuk memijit pundaknya sebagai tugas pertama sebagai seorang asisten pribadi Direktur Utama.
“Lo pikir gue tukang pijit apa?” Lian menolak permintaan Sapta.
“Ingat, Lian. Ini kantor. Jadi lo harus sopan sama gue. Panggil gue Bapak. Nggak ada istilahnya lo gue. Apalagi sekarang gue adalah atasan lo.” Sapta mulai memberi peraturan bahwa jika di dalam kantor Lian harus memanggilnya Pak Sapta.
“Iya, deh.”
“Bagus. Sekarang pijitin gue.” Sapta duduk di kursi.
            Perlahan-lahan Lian mulai memijit pundak Sapta. Sebenarnya Lian tidak mau melakukan ini, tapi mau bagaimana lagi, sekarang dia adalah asisten pribadinya Sapta. Rupanya Sapta mulai keenakan dipijat oleh Lian.
”Lo mahir juga ya pijitnya. Enak.”
“Katanya nggak boleh pake lo gue. Tadi ngomongnya pake lo gue jugakan?’ Lian protes.
”Gue kan bos di sini. Jadi terserah gue. Kalau lo harus sopan sama gue.”
“Iya.” Lian ingin sekali menjitak kepala Sapta.
“Agak ke atas Lian, leher gue juga dipijit. Nah itu baru enak banget.”
“Kalau bukan bos gue udah gue jedotin deh kepalanya ke tembok.” Lian ngomel dalam hatinya.
“Lian.” Sapta memanggil Lian.
“Apa?”
“Lo udah punya pacar nggak sih?”
“Kenapa bapak tanya-tanya masalah pribadi saya?” Lian masih memijit leher Sapta.
“Gue kan cuma nanya doang. Nggak boleh?”
“Boleh, Pak.”
“Punya pacar nggak?” Sapta bertanya sekali lagi.
“Nggak, Pak?”
“Serius?” Sapta tidak percaya.
“Serius, Pak.”
“Oh.” hanya kata itu yang keluar dari mulut Sapta.
            Sapta mulai merasa enak dipijat oleh Lian, sesekali matanya terpejam karena menikmati sentuhan dari tangan Lain. 
“Mulai besok lo harus bikinin gue sarapan. Setiap pagi titik nggak pake nawar.”
“Sarapan pagi? Setiap hari?”
“Yaps, setiap hari.”
“Tapikan…”
“Kenapa? Lo bisa masakkan?”
“Ya, bisa tapi…”
“Nggak ada tapi-tapian. Kan gue udah bilang nggak pake nawar.”
“Tapi, Pak.”
“Nggak bisa nawar.”
“Ini bos ngejengkelin banget sih.” lagi-lagi Lian ngomel dalam hatinya.
***
            Keesokan harinya Lian benar-benar membuatkan sarapan untuk Sapta. Lian membawa roti sandwitch dan susu. Lian datang lebih awal karena dia tidak mau kena omel oleh Sapta. Lian menaruh Sarapan yang sudah dibuatnya di meja Sapta. Tak lama kemudian Sapta datang.
“Hei, Lian kamu sudah datang.”
“Sudah, Pak.”
“Itu sarapan buat saya?”
“Iya.”
            Sapta duduk di kursinya, dia mengamati makanan yang dibawa oleh Lian. Sangat kebetulan sekali Lian membawakan susu untuknya. Sapta memang sangat menyukai susu.
“Ini semua lo yang bikin? Soalnya gue nggak mau makan kalau ini bukan buatan lo.” ucap Sapta pada Lian.
“Itu saya yang bikin, Pak.”
“Awas ya kalau lo bohong.”
“Nggak, Pak.” 
            Sapta mulai membuka misting yang berisi sandwitch. Ia mengambil dengan tangannya dan langsung menyantapnya. Perlahan-lahan Sapta mulai mengunyah roti sandwitch itu.
“Rasanya lumayan.”
“Bilang aja enak, Pak.”
“Ok, enak.”
            Sapta melahap semua sarapannya hingga tak ada yang tersisa. Sapta begitu menikmati makannan yang dibuat oleh Lian. Dia tidak menyangka jika Lian bisa membuat roti sandwitch seenak ini. Dengan perut yang terisi, Sapta jadi lebih berkonsentrasi untuk bekerja.
            Lian duduk di sofa yang berada di ruangan Sapta. Lian mencatat apa saja yang akan dia kerjakan hari ini di note kecil. Lian mengenakan kemeja putih berenda dan memadupadankan dengan rok mini berwarna merah menyala. Roknya sekitar 7 cm di atas lutut. Sangat kontras sekali dengan paha Lian yang mulus. Lian memang memiliki warna kulit yang tidak terlalu putih. Kulitnya sama seperti kebanyakan warga Negara Indonesia lainnya. Sedikit coklat. Namun kulit tubuhnya sangat terawat. Perawakan Lian tidak terlalu tinggi, hanya 160 cm. Lian memiliki tubuh agak berisi, sehingga tubuhnya terlihat sedikit montok bila dibandingkan dengan karyawan yang lainnya.apalagi ditambah dengan bokong dan dada yang agak lumayan besar. Terkadang membuat karyawan laki-laki betah berlama-lama menatap Lian.
            Sapta yang sedari tadi memperhatikan Lian dari ujung kaki sampai ujung rumbut tidak dapat berkonsentrasi sama sekali. Apalagi ketika Sapta melihat kaki, paha dan tangan Lian yang dipenuhi oleh bulu-bulu halus. Konsentrasinya benar-benar buyar.
“Lian.” Sapta menghampiri Lian.
“Iya, Pak?” Lian langsung berdiri
            Sapta semakin mendekat pada Lian, bahkan jaraknya kini hanya 5 cm saja dari tubuh Lian. Lian merasa aneh kenapa Sapta bisa sampai sedekat ini. Sapta terus mendekatkan wajahnya ke arah Lian. Dan dia membisikan sesuatu.
“Rok kamu kependekan, aku jadi nggak bisa konsentrasi kerja gara-gara melihat bulu-bulu halus di kaki kamu. Besok kamu bisa ganti dengan celana panjang.”
“Iya, Pak.” Lian merasa sangat malu sekali ketika Sapta berkata seperti itu.
            Hari demi hari Lian dan Sapta semakin dekat saja. Mereka sering menghabiskan waktu bersama. Mereka sering bercanda satu sama lain. Ketawa bersama, terkadang mereka terlibat percekcokan yang membuat mereka berantem dan musuhan. Namun mereka akur dengan sendirinya
Sudah sejak lama Sapta memang menaruh hati pada Lian. Namun dia belum berani mengungkapkannya. Sapta takut jika Lian akan menolaknya. Sapta tahu jika Lian menyukai laki-laki lain. Rasya namanya. Lian begitu mencintai Rasya. Walaupun dia tahu jika Rasya sudah memiliki calon istri.
“Lian, masih aja lo mikirin cowok itu?” Sapta bersandar di kursi yang diduduki oleh Lian. Mereka berdua baru saja pulang bekerja, dan mereka sering menghabiskan waktu bersama di Cafe Fortune.
“Gue juga nggak tahu.”
“Sekeras apapun lo berjuang buat dia, kalau di hatinya ada orang lain, percuma.”
            Lian hanya terdiam tanpa menjawab sepatah katapun.
“Sekarang mana cowok yang lo suka itu? Apa dia peduli sama lo? Enggakkan?”
“Sapta cukup. Ini urusan hati gue. Lo nggak usah ikut campur.”
“Gue cuma kasian sama lo. Lo berharap sesuatu, sementara lo sendiri nggak pernah berusaha untuk mendapatkan hal itu. Untuk mendapatkan cinta lo, kebahagian lo. Lupain Rasya.”
“Apa? Gue nggak bisa lupain dia.”
“Lo pasti bisa.”
“Nggak bisa.”
“Apa dia begitu berharga buat lo? Apa lo nggak bisa buka hati lo buat orang lain?”
“Buat siapa?”
“Buat gue.” Sapta mengucapkannya dengan sangat jelas.
“Maksud lo?” Lian tidak mengerti.
“Lo pikir selama ini gue baik sama lo itu kenapa, karena gue suka sama lo.”
“Baik dari mananya? Lo itu nyebelin, suka bikin gue kesel.”
“Karena itu gue nyari cara supaya gue bisa deket-deket sama lo. Bahkan gue minta sama bokap gue agar lo bisa jadi asisten pribadi gue. Itu semua gue lakuin biar gue bisa sama-sama terus sama lo.” akhirnya setelah sekian lama meunggu, Sapta mengungkapkan semua isi hatinya pada Lian.
“Lo, serius?” Lian Nampak tak percaya.
“Gue serius.”
“Gue nggak suka sama lo.”
“Gue nggak peduli.”
“Sekeras apapun lo berjuang buat gue, kalau di hati gue ada orang lain, percuma.” Lian mengutip kalimat Sapta yang tadi Sapta ucapkan pada Lian.
“Eh, itu kata-kata gue.”
“Lo mau apa kalau gue nggak suka sama lo?”
“Gue mau dapetin hati lo.” Sapta mulai menggombali Lian.
“Idih, ngarep lo.”
“Mulai sekarang lo jadi pacar gue.”
“Kapan gue terima lo jadi pacar gue?”
“Sekarang.”
“Lo, gila ya?” Lian memegang dahi Sapta.
“Iya, gila karena lo.”
“Ilfil gue sama lo.”
“Gue suka deh kalau liat lo marah-marah kayak gitu. Keliatan lebih cantik.” Sapta terus menggombali Lian.
“Gue benci sama lo, Sapta.”
“Tapi gue cinta sama lo. Gimana dong?”
“Terserah lo, gue mau pulang.” Lian meninggalkan Sapta.
“Mau gue antar pulang nggak?” sapta berteriak pada Lian.
“Enggak, makasih.”
            Sapta hanya tertawa melihat tingkah Lian. Meskipun Sapta mendapat penolakan dari Lian, namun Sapta lega karena dia sudah mengungkapkan sisi hatinya pada Lian dan dia menganggap jika Lian sudah resmi menjadi pacarnya.
“Lo nggak bisa kabur dari gue Lian.” Sapta begitu percaya diri.
Bersambung…