Azof
berkaca-kaca ketika dia membaca sebuah surat. Dia melihat surat itu dengan
seksama. Hingga akhirnya Azof meneteskan air matanya. Ya, itu bukan surat
biasa. Melainkan surat Undangan Pernikahan untuknya. Disitu tertulis nama Azka
dan Yoga. Yang tak lain adalah nama kedua mempelai. Beberapa kali dia membaca
surat undangan itu. Tampilannya tetap sama tidak berubah sedikitpun. Disurat
undangan itu tertulis jelas nama Azka Zaskia , kekasihnya. Dulu memang
kekasihnya. Tapi sekarang sudah lain ceritanya.
“Gue nggak tahu apa gue harus bahagia atau harus bagaimana? Entahlah, gue sendiri
pun
bingung.” Azof mulai menghapus air mata yang berderai di pipinya.
Azof menyimpan surat undangan itu di atas meja dekat
ranjangnya. Lalu dia duduk di atas ranjang sambil melamun. Tak lama kemudian Azof
mengambil sebuah photo yang dia simpan di bawah bantal. Terlihat seorang gadis
cantik dengan kulit putih dan rambut panjang Nampak sedang tersenyum. Bukan
hanya gadis itu saja yang berada dalam photo tersebut. Azof pun ada di sebelah
gadis tersebut. Ya, itulah Azka. Wanita yang pernah mengisi hatinya.
Azof sempat berfikir, kenapa bukan nama dirinya yang
tertulis dalam surat undangan itu. Azka dan Azof. Kenapa harus orang lain?
“Kenapa Semua ini harus
terjadi? Andai waktu bisa diputar kembali. Aku hanya ingin kita seperti dulu.
Saling menyayangi dan tentunya saling mencintai satu sama lain.” Azof berkata
sambil terus memandangi Photo dirinya bersama Azka.
Kini lamunan Azof melambung tinggi. Sekarang dia
membayangkan saat-saat dia masih bersama Azka.
“Azof aku mau besok pagi kamu
nganterin aku ke toko sepatu. Aku mau beli sepatu baru.” Azka meminta Azof untuk menemaninya.
“Aduh, maaf ya. Besok pagi aku
udah ada janji sama temen aku. Gimana dong?” ucap Azof menyesal.
“Oh, ya udah nggak apa-apa.
Lain waktu aja.” Azka dapat memahami keadaan Azof.
“Makasih ya sayang kamu udah
ngertiin aku.”
“Iya.” Azka tersenyum sambil
menggandeng tangan Azof.
***
“Ahh, lagi-lagi dicuekin.” Azka
duduk dikursi. Azof memang memiliki hobi otomotif. Dia sangat suka otak-atik
mobilnya. Sekalipun kekasihnya datang ke rumahnya hanya ingin
bertemu. Tapi Azof selalu mencuekinya.
Tapi itu sudah menjadi hal yang sangat biasa bagi Azka.
Kalau sudah berhubungan dengan mobil pasti sangat sulit sekali untuk diganggu.
Padahal Azof menyadari kehadiran kekasihnya itu. Tapi Azof hanya tersenyum
tanpa ada inisiatif untuk menghampiri kekasihnya walaupun hanya sebentar saja.
“Gini nih, kalau punya cowok
yang hobi banget sama otomotif. Aku datang aja dicuekin. Nasib-nasib.” Azka
hanya bisa geleng-geleng kepala sambil menyimpan rasa kekecewaannya. “Azof kamu
nggak bosen apa dari pagi sampai siang bolong begini cuma mobil aja yang kamu
urusin.” Azka menghapiri Azof yang sedang asyik dengan hobinya itu.
“Nggaklah namanya juga hobi.”
Jawab Azof dengan enteng.
“Senin sampai jumat kamu kerja.
Hari sabtu kamu futsal, kadang lembur kerja. Hari minggunya kamu malah
otak-atik mobil kamu. Waktu buat aku kapan?”
“Sayang, dengerin aku. Meskipun
aku lagi otak-atik mobil aku. Kan kita masih bisa ketemu. Buktinya aku sama
kamu ada di tempat yang sama.”
“Ya, masa sih cuma di rumah doang. Di tempat lain kan bisa.” Wajah Azka mulai
cemberut.
“Ngertiin aku ya.” Azof memohon
pengertian Azka.
Azka menarik nafas dalam-dalam. “iya.” Azka memang
tipikal perempuan yang sangat mengerti pasangannya.
Satu minggu kemudian Azka mencoba mengajak Azof untuk
menemaninya menghadiri pesta pernikahan temannya.
“Azof, besok kamu ikut yah ke
acara pernikahan temen aku.” pinta Azka pada Azof.
“Besok kan aku kerja.”
“Bolos sekali nggak apa-apa
kali. Demi aku.”
“Nggak bisa dong. Aku kan harus
perfesional. Terus pasien aku gimana?”
Azka tak menjawab pertanyaan Azof. Dia tahu betul jika Azof
adalah orang yang super sibuk. Maklumlah kekasihnya itu berprofesi sebagai
seorang dokter di sebuah rumah sakit di Ibu Kota. Belum lagi dia sangat
tergila-gila pada hobi otomotifnya itu. Pantas saja jika dia benar-benar sibuk.
Tapi tidak bisakah dia meluangkan waktu untuk wanita yang dicintainya? Azka
berfikir keras. Dia tidak mungkin mengajak Azof, karena Azof harus kerja. Azka
tidak mungkin tega melihat pasien-pasien Azof yang tidak tertangani dengan
cepat karena dokternya sedang bersama
dirinya. Azka tidak bisa mengegoiskan dirinya sendiri. Sementara di luar sana
masih banyak orang lain yang membutuhkan
pertolongannya.
“Kamu marah?” tanya Azof pada
Azka.
“Nggak. Ya, udah kalau misalnya
kamu nggak bisa juga nggak apa-apa. Aku ngerti kok. Karena masih banyak orang
yang lebih membutuhkan kamu dibanding aku.”
“Gadis Pintar.” Azof Merengkuh
tubuh Azka lalu memeluknya sambil membisikan kata “ I love you.”
Hari demi hari keduanya jadi jarang sekali bertemu.
Jangankan untuk bertemu. Sekedar menyapa lewat handphonepun sudah sangat jarang
sekali dilakukan. Mengingat pekerjaan Azof yang semakin hari semakin sibuk.
Apalagi sekarang Azof sering kebagian lembur di rumah sakit tempat ia bekerja.
Intensitas pertemuan Azka dan Azof semakin jarang. Namun sebagai kekasih yang
baik. Azka selalu berusaha mengerti pekerjaan Azof dalam kondisi apapun sebisa
mungkin. Azka selalu mensuport apapun
yang dilakukan oleh Azof. Termasuk hobi otomotifnya.
Azof sering kali menolak ajakan Azka dengan berbagai
alasan karena pekerjaannya yang sangat sibuk. Azof tidak pernah mau mengalami
hal ini. Dia pun ingin seperti
kebanyakan pasangan lain yang pergi jalan-jalan berdua, nonton di bioskop.
Hanya untuk menghabiskan waktu bersama orang yang dia cintai. Tapi untuk saat
ini dia benar-benar tidak bisa melakukan hal itu. Azof pun sangat merindukan
saat-saat pertama kali mereka pacaran yang sering menghabiskan waktu bersama.
Bahkan hampir setiap hari. Tapi sekarang keadaannya berbeda, Azof bekerja
menjadi seorang dokter.
“Azof aku ingin ketemu kamu.”
ucap Azka lewat telepon.
“Ok, kebetulan aku sebentar
lagi pulang kerja. Di tempat biasa ya.”
“Iya.” Azka menutup teleponnya.
Setengah jam kemudian Keduanya sudah berada di sebuah cafe
tempat di mana mereka menghabiskan waktu di kala Azof tidak sibuk dengan urusan
pekerjaannya maupun hobinya.
“Ada suatu hal yang ingin aku
bicarakan. Tapi aku nggak tahu harus mulai dari mana.” Azka mulai merasa
kebingungan dikala sosok kekasihnya sudah berada tepat dihadapannya.
“Dari awal aja biar nggak
bingung.” Azof meminum kopi favoritnya.
“Aku, aku, aku…” bibir Azka
menjadi gagap.
“Ngomong aja.” Azof memegang
tangan Azka.
“Aku mau kita putus.” ucap Azka
dengan lantang.
“Apa?” Azof kaget lalu
melepaskan genggaman tangannya. “Salah aku apa? Tiba-tiba kamu minta putus.”
Azof tidak tahu kenapa Azka tiba-tiba mengatakan kata-kata putus. Padahal di
antara mereka berdua tidak terjadi masalah apa-apa. Semuanya baik-baik saja.
“Iya, aku ingin putus.”
“Kenapa?”
“Aku capek Azof harus ngalah
terus sama kamu. Kamu selalu saja sibuk dengan pekerjaan kamu atau hobi kamu.
Kamu nggak pernah meluangkan waktu buat aku. Buat kita jalan berdua. Nggak
pernah sama sekali.”
“Tapi kamu selalu bilang kalau
kamu ngertiin aku.”
“Iya, aku tahu. Tapi kalau
lama-lama seperti ini aku nggak kuat. Yang aku butuhkan dari kamu cuma
perhatian kamu. Komunikasi kita jadi kurang sekarang.”
“Aku mohon kamu pikirin lagi.”
“Aku udah pikirin hal ini dari
jauh-jauh hari. Dan aku rasa ini adalah waktu yang tepat.”
“Ini gila Azka, benar-benar
gila. Kita itu udah pacaran 5 tahun. Terus kamu ninggalin aku gitu aja?” Azof masih
belum terima dengan keputusan Azka.
“Ini bukan masalah waktu. Tapi
ini masalah perasaan aku, masalah hubungan kita. Aku perempuan. Aku juga ingin
dimengerti. Bukan cuma kamu aja.”
Seketika suasana menjadi hening Azka dan Azof sama-sama
diam. Tak sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka berdua. Azof
benar-benar tidak menyangka jika gadis yang sangat ia cintai tiba-tiba ingin
mengakhiri hubungan yang telah mereka bina selama 5 tahun lamanya.
“Ok.” Azof memecah keheningan.
“Kalau itu mau kamu, aku terima. Tapi satu hal yang harus kamu tahu kalau aku
masih sayang sama kamu dan aku masih cinta sama kamu.”
“Maafin aku ya.” air mata Azka
mulai bercucuran.
***
“Azof lo ada di rumah nggak
sih?” sedari tadi Lian mengetuk-ngetuk pintu rumah Azof, namun tak ada orang
yang membukakan pintu untuknya. “Pada ke mana sih nih orang? Kosong kali ya rumahnya.” Lian
menerawang kaca jendela rumah Azof. “Azof…” Lian berteriak sekali lagi.
“Apaan sih lo berisik banget.”
Azof membuka pintu. Hampir saja Lian tersungkur, karena Lian bersandar tepat di
pintu rumah Azof.
“Kaget gue. Hampir aja gue
jatuh.”
“Di situkan ada bel. Ngapain lo
mesti teriak-teriak sih. Kayak orang utan aja.”
“Lebih enak teriak. Sekalian
melatih vocal gue.”
“Kayak suara lo bagus aja.”
“Bagus banget. Lo mau denger
gue nyanyi?”
“Nggak usah makasih, denger
suara lo teriak aja kuping gue udah sakit.”
“Sirik aja lo. Bilang aja kalau
suara gue merdu. Gue nyanyi yah sekarang.”
Azof keburu menutup mulut Lian
dengan tangannya. “Nggak usah nyanyi, nanti gue sakit perut. Ayo masuk.” Azof
menyeret tubuh Lian masuk ke dalam rumahnya
Lian melepaskan tangan Azof
dari mulutnya. “Tangan lo bau oli.”
“Eh, gue udah cuci tangan
kali.”
“Gue dapat undangan dari Azka.”
Lian memberikan undangan pernikahan Azka pada Azof.
“Gue udah tahu.”
“Terus?”
“Terus gimana?”
“Lo mau dateng ke pernikahan mereka?”
“Nggak tahu, gimana nanti aja.”
“Lo masih sayang sama dia ya?”
kali ini Lian mulai serius.
Azof hanya menghela napasnya.
“Gue…” Azof tidak melanjutkan ucapannya.
“Gue tahu lo masih cinta sama
dia. Tapi apa mau buat Zof, lo sama Azka memang nggak ditakdirkan buat bersama
mungkin.”
“Iya, gue tahu kok.”
“Kalau menurut gue hilangin
harapan lo, biar lo nggak kecewa sama yang namanya kenyataan.”
“Terus apa kabar sama harapan
lo ke Rasya.?”
“Ah, lo malah ngebahas soal itu lagi.”
“Lho, emang benerkan? Sampai
sekarang lo masih suka sama Rasya. Dan yang lebih parahnya lagi lo nggak pernah
bilang kalau sebenernya lo itu suka sama dia. Mana Rasya tahu soal perasaan
lo.” Azof duduk di sofa.
“Karena gue perempuan. Masa gue
harus menyatakan cinta lebih dulu sih.” Lian ikut duduk di samping Azof.
“Emangnya kenapa kalau lo
perempuan? Nggak ada yang salah kok. Inget ini soal perasaan. Jangan sampe lo
nyesel karena lo nggak pernah punya keberanian untuk kasih tahu dia soal
perasaan lo itu.”
“Tapikan…”
“Jangan sampe lo cuma jadi
pengagum rahasianya doang.” Azof memotong ucapan Lian.
“Semuanya udah terlambat Zof,
dia udah mau nikah juga sama Arsy.”
“Dan sekarang lo nyeselkan?
Dari dulu gue udah pernah bilang sama lo kalau lo harus bilang sama Rasya soal
perasaan lo. Dan sekarang? Terlambat. Benar, semuanya udah terlambat Lian. Gue
nggak mau kalau lo mengalami apa yang gue alami saat ini. Gue nyesel pernah
sia-siain kesempatan gue waktu bersama Azka. Dulu gue sering nggak punya waktu
buat dia, hingga akhirnya dia pergi dari gue.”
“Lo malah curhat.”
“Gue serius, Lian.”
“Nasib kita sama ya, Zof. Gini
amat kisah percintaan kita.” Lian mengeluh.
“Mendingan lo cari cinta yang
lain aja deh, dari pada lo mengharapkan Rasya yang udah jelas-jelas milik orang
lain.”
“Move on itu susah kali. Lo aja
masih belum bisa move on kan dari Azka.”
“Setidaknya gue pernah pacaran
sama dia. Kalau lo? Cuma jadi pengaggum rahasianya doang.”
“Biarin aja.” Lian cemberut.
“Besok gue ada tugas ke Papua?”
“Papua?” Lian menghadapkan
wajahnya pada Azof tanpa berkedip sama sekali.
“Iya, di desa terpencil. Di
sana masih minim puskesmas dan rumah sakit. Jadi gue dan 2 orang temen gue
ditugaskan di desa itu.”
“Berapa lama?”
“Gue juga nggak tahu berapa
lama? Belum pasti.”
“Lo hati-hati di sana.” Lian
sedikit khawatir pada sahabatnya itu.
“Iya, lo tenang aja. Gue kan
dokter. Jadi gue bisa jaga diri gue baik-baik di sana.”
“Tetep aja gue khawatir.
Apalagi lo dapet tugasnya jauh lagi, mana desanya terpencil”
“Udah, nggak usah lebay kayak
gitu. Justru yang gue khawatirin itu elo.”
“Kenapa?”
“lo kan cengeng. Kalau lo
nangis siapa yang bakal menghapus air mata lo? Kalau lo sedih siapa yang mau
menghibur lo. Sedangkan gue kan gak ada di sini.”
“Gue jadi terharu kalau lo ngomong kayak begitu.” mata Lian mulai
berkaca-kaca.
“Baru juga dibilangin, udah mau
nangis aja.” Azof meyeka air mata Lian yang hampir jatuh.
“Lo itu bisa jadi apa aja buat
gue. Lo bisa jadi sahabat, lo bisa jadi kakak buat gue, dan lo juga bisa
berperan sebagai orang tua gue. Sejak mereka nggak ada, lo yang menggantikan
posisi mereka untuk selalu jagain gue. Makasih ya, Zof.” Lian memeluk
sahabatnya.
“Iya. Lagipula gue kan udah
janji sama mendiang ibu lo kalau gue
akan selalu jagain lo. Lo itu udah kayak saudara gue sndiri, udah kayak adik
gue juga. Kita itu keluarga. Jadi udah pasti kalau gue selalu jagain lo. Ya…
walaupun lo suka nyebelin sih.” Azof mengelus-ngelus kepala Lian dalam
pelukannya.
“Ah, rese lo.” Lian melepaskan
pelukaknnya dari Azof.
“Dih, nangis beneran lo? Tuhkan cengeng.”
Lian menghapus air matanya yang sudah tumpah saat dirinya
berada dalam pelukan Azof. Lian menggambil tissue untuk menghapus air mata dan ingusnya yang kini ikut keluar juga.
“Jorok.” Azof melempar bantal
pada muka Lian.
“Biarin.” Lian membalas Azof
dengan melempar 2 bantal sekaligus.
Bersambung...
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan sopan dan baik
Komentar yang mengandung link aktif akan dihapus secara otomatis