Tanpa
terasa Lian sudah selesai diinterview. Lian hanya menunggu hasilnya saja. Dalam
hati Lian selalu berdoa kalau dia akan di terima kerja di perusahaan garmen itu
Sebagai sekretaris.
"Semoga
gue diterima di perusahaan ini."
3
hari kemudian Lian mendapat telepon dari dari PT. Suryatex yang menyatakan
bahwa dirinya diterima bekerja di sana sebagai seorang sekretaris. Lian begitu
bersyukur, karena selain akan mendapatkan teman baru, tentunya hal ini akan
menambah pundi-pundi rupiahnya.
Hari
demi hari Lian jalani tanpa ada sosok Azof, sahabatnya. Mereka hanya
berkomunikasi lewat telepon atau dunia Maya. Komunikasi antara mereka sangat
terjaga walaupun terkadang mereka berantem hanya gara-gara hal sepele. Tapi
mereka tetap menjadi sahabat sampai saat ini.
Tanpa
terasa 3 bulan sudah Lian bekerja di PT. Suryatex. Dia begitu menikmati
pekerjaan barunya itu. Kini Lian sudah tidak menjadi penulis lepas lagi di
kantor majalah. Lian fokus pada pekerjaannya dan masih tetap bisa ngeblog
disela-sela waktu senggangnya. Dan terkadang Lian masih menyempatkan waktu
untuk menulis novel. Kini Lian sudah mengurangi kebiasaan cengengnya. Lian
mulai mengurangi air matanya yang sering keluar. Itu semua berkat Azof. Azof
selalu menasehati Lian agar dia menjadi wanita yang tegar. Tidak mudah
menyerah. Walaupun sekarang Azof tidak berada di sisi Lian. Tapi Azof selalu
berusaha menjadi sahabat yang baik bagi Lian. Azof selalu setia mendengar keluh
kesah Lian. Begitupun sebaliknya.
"Enaknya
pulang kerja ke mana ya?" Lian berpikir sejenak. "Ah gue mau
jalan-jalan ke mal. Sekalian gue mau beli sepatu."
Setelah
pulang kerja Lian langsung pergi ke salah satu mal yang sangat sering sekali ia
kunjungi dulu bersama Azof. Hari ini Lian sengaja tidak membawa sepeda
motornya, karena tangan kiri Lian diperban akibat jatuh dari motor 2 hari yang
lalu.
Lian
menghampiri salah satu toko sepatu di mal tersebut. Lian melihat-lihat sepatu
sport, matanya melirik ke sana dan ke sini mengamati semua sepatu di dalam
toko.
"Pilih
yang mana ya?" Lian kebingungan.
Saat
Lian sedang mencoba sepasang sepatu sport berwarna putih tiba-tiba saja ada
yang menyapanya dari belakang.
"Lian."
Lian
melirik ke arah belakang untuk melihat siapa yang menyapanya.
"Sapta."
"Wah,
gue nggak nyangka kita bisa ketemu di sini ya."
Lian
tersenyum "iya."
Sapta
memperhatikan pakaian yang dipakai oleh Lian, Lian mengenakan kemeja berwarna
biru tua, dan memakai rok selutut. Persis seperti orang kantoran.
"Baju
kamu kok kayak orang kantoran gitu sih?"
"Iya,
sekarang gue kerja."
"Lo
kerja di mana?"
"Di
perusahaan garmen."
"Perusahaan
garmen kan banyak."
"PT.
Suryatex."
"PT.
Suryatex?"
"Iya."
Lian menganggukan kepalanya. "Kenapa?"
"Nggak,
gue kayaknya tahu aja soal perusahaan itu."
"Oh,
iya?"
"Iya,
ya udahlah lupain aja. Lo di sana kerja bagian apa?"
"Sekretaris."
"Oh,
pantesan aja lo keliatan cantik." Sapta memuji Lian.
"Haha..."
Lian tertawa karena Lian merasa jika baru kali ini ada laki-laki yang bilang
bahwa dia cantik. Sahabatnya sendiripun tidak pernah mengatakan hal seperti
itu. "Gue mau bayar dulu sepatunya ya."
"Ok."
Setelah
membayar sepatunya di kasir Lian langsung pamit pada Sapta karena Lian ingin
segera pulang.
"Nanti
dulu Lian, kita ngobrol-ngobrol aja dulu." ucap Sapta pada Lian.
"Lain
waktu aja ya, gue capek mau pulang."
"Oh,
gitu. Eh, tangan lo kenapa?" Sapta baru menyadari tangan kiri Lian yang
diperban.
"2
hari yang lalu gue jatuh dari motor. Makanya sekarang gue nggak bawa motor. Gue
buru-buru pulang karena takut udah nggak ada kendaraan umum."
"Makanya
lo tuh hati-hati kalau bawa motor. Ya udah gue anterin lo pulang. Gue bawa
mobil kok."
"Nggak
usahlah."
"Udahlah,
ayo." Sapta menarik tangan kanan Lian.
"Ok."
akhirnya Lian mau diantar pulang oleh Sapta.
Lian
dan Sapta masuk ke dalam mobil. Saat berada di dalam mobil mereka tak banyak
bicara. Lian jadi lebih pendiam dari biasanya. Sapta yang sesekali melirik Lian
merasa kebingungan dengan sikap Lian hari ini. Lian yang biasanya selalu
mengajaknya berdebat, kini tak mengeluarkan sepatah katapun dari bibirnya.
Tak
butuh waktu lama untuk sampai di rumah Lian. Kurang dari 30 menit saja mereka
sudah sampai di depan rumah Lian. Mereka turun dari mobil.
"Ayo
kita masuk dulu." Lian mengajak Sapta masuk ke dalam rumahnya.
"Iya."
Sapta mengikuti Lian dari belakang.
"Rumah
lo sepi amat, yang lain pada ke mana?" Sapta melihat-lihat isi rumah Lian.
"Gue
tinggal sendiri di sini."
"Orang
tua lo pada ke mana?"
"Mereka
udah meninggal. Dan waktu itu lo bilang kalau gue nggak pernah diajarin sopan
santun oleh orang tua gue itu emang benar. Karena gue udah nggak punya orang
tua lagi."
"Sorry,
Lian. Gue nggak tahu." Sapta merasa menyesal pernah mengucapkan hal itu
pada Lian.
"Terus
itu photo siapa? Cowok lo?" Sapta menunjuk photo Lian yang sedang bersama
seorang laki-laki.
"Itu
sahabat gue, Azof namanya. Dia juga tinggal di daerah sini. Tapi dia lagi tugas
ke Papua."
"Kayaknya
gue kenal sama sahabat lo. Tunggu dulu, dia dokter?" Sapta mulai
menebak-nebak.
"Iya,
dia seorang dokter. Lo kenal?"
"Ya,
nggak terlalu kenal juga sih. Cuma waktu itu ibu gue pernah keserempet motor.
Terus gue bawa ibu gue ke rumah sakit. Dan dia uang menangani ibu gue."
"Oh,
jadi lo udah pernah ketemu dong sama dia?"
"Iya,
waktu di rumah sakit."
"Lo
nggak takut tinggal sendirian di sini?"
"Nggak,
gue udah biasa kok."
Sapta
menatap wajah Lian, dia tidak menyangka sama sekali jika gadis ini hidup
seorang diri di rumahnya. Seketika itu Sapta merasa iba pada Lian. Sapta tak
banyak menyinggung soal keluarga Lian. Karena dia takut kalau Lian akan
tersinggung.
"Oh,
iya. Lo mau minum apa?"
"Nggak
usah Lian, gue nggak haus kok."
"Oh."
"Azof
udah berapa lama di Papua?"
"Ya,
udah beberapa bulan sih dia di sana. Katanya bulan depan dia udah bisa pulang
ke Jakarta. Kasian dia."
"Kenapa
kasian?"
"Dia
diputusin sama pacarnya lalu ditinggal nikah. Padahal dia sayang banget loh
sama ceweknya. Dan dia nggak datang ke acara pernikahan mantannya karena dia
lagi tugas di Papua. Mending kayak gitu deh, dari pada dia harus datang dan
menyaksikan pernikahan itu, pasti sakit banget rasanya."
"Namanya
juga nggak jodoh."
"Iya."
"Eh,
waktu itu lo beli sate kambing banyak banget. Lo kemanain? Gue pikir buat
keluarga lo." Sapta mengingat-ngingat kejadian beberapa bulan yang lalu
saat Lian membeli sate kambing 50 tusuk.
"Buat
gue sendiri."
"Buset,
rakus amat lo."
"Bukan
rakus. Tapi doyan."
"Sama
aja."
"Hehe..."
Lian cengar-cengir.
"Gue
pulang dulu ya, nggak enak soalnya udah malem. Ntar disangka yang aneh-aneh
lagi."
"Iya,
lo hati-hati ya di jalan."
"Pasti,
kalau ada apa-apa lo jangan ragu-ragu telepon gue ya. Soalnya gue jadi agak
khawatir kalau lo tinggal sendirian."
"Iya."
"Pokoknya
kalau lo butuh apa-apa lo harus hubungi gue."
"Iya,
bawel banget sih lo."
"Gue
pulang ya, lo hati-hati di rumah."
"Iya."
Lian mengantarkan Sapta sampai ke depan pintu rumahnya.
Sapta
masuk ke dalam mobilnya, saat berada di dalam mobil Sapta membuka kaca jendela
mobilnya hanya untuk melihat Lian. Sapta jadi tak tega meninggalkan Lian
sendirian. Tapi harus bagaimana lagi, Sapta tetap harus meninggalkan Lian.
"Hati-hati
ya." Lian melambaikan tangannya pada Sapta sambil tersenyum. Sapta pun
membalas lambaian tangan Lian sambil tersenyum juga.
***
Ini
adalah jam istirahat tapi Sapta masih sibuk dengan pekerjaannya. Dia belum
selesai. Nampaknya Sapta memang sengaja tidak istirahat. Entah kenapa hari ini
Sapta tidak nafsu makan. Tadi pagi saja dia tidak sarapan.
"Sapta.
Kok kamu nggak istirahat. Inikan udah jam istirahat." tiba-tiba Dita
datang ke ruangan Sapta tanpa mengetuk pintu.
"Pekerjaan
saya belum selesai, Bu." Sapta masih mengetik di laptopnya.
"Sapta,
aku kan udah sering bilang sama kamu. Kalau kita lagi berdua kayak gini nggak
usah panggil aku Ibu. Jangan pakai bahasa formal."
"Inikan
masih di kantor. Nggak enak kalau didengar orang. Disangkanya saya nggak sopan
sama Ibu."
"Udahlah
Sapta, toh nggak ada yang dengar jugakan. Lagipula orang tua kamu dan orang tua
aku itu berteman baik."
"Ok,
Dita." kali ini Sapta menyebut nama Dita tanpa diembel-embeli kata Ibu.
"Ayo
kita makan."
"Gue
lagi nggak nafsu makan nih."
"Lho,
kamu sakit?" Dita langsung memegang dahi Sapta.
"Nggak
usah lebay, gue nggak apa-apa kok. Cuma nggak nafsu makan aja." Sapta
melepaskan tangan Dita dari dahinya.
"Atau
kamu mau aku beliin makanan aja. Nanti kita makan di sini aja."
"Gue
kan udah bilang kalau gue nggak nafsu makan."
"Emhh,
nanti malam kita jalan-jalan yuk." Dita mengajak Sapta.
"Gue
lagi nggak mau kemana-mana."
“Ayolah
Sapta. Please.” Dita memohon pada Sapta.
“Emangnya
mau jalan-jalan ke mana sih?”
“Ya
ke mana aja pokoknya. Happy-happy gitu.”
“Ok
deh.” akhirnya Sapta mau juga diajak oleh Dita.
“Yey.”
Dita kegirangan. “Nanti malam kamu jemput aku ya.”
“Iya,
iya.”
Malam yang ditunggu-tunggu oleh Dita
pun akhirnya datang juga. Dita berulang kali bercermin hanya sekedar untuk
touch up. Dia ingin tampil cantik di depan Sapta. Dita memang sudah menyukai
Sapta sejak lama. Namun Sapta selalu saja cuek pada dirinya. Sapta memang tipe
laki-laki yang sangat susah sekali didekati.
Klakson mobil Sapta berbunyi. Itu
menandakan kalau Sapta sudah berada di depan rumah Dita. Dita langsung melongo
dari jendela kamarnya. Dita meloncat kegirangan ketika Sapta sudah tiba di
rumahnya. Sapta langsung mengetuk pintu rumah Dita. Dan yang membukakan pintu
untuknya adalah Pak Ali, ayahnya Dita.
“Selamat
malam, om.” ucap Sapta dengan sopan.
“Malam
juga, Sapta. Dita sudah nunggu kamu lho dari tadi.” kata Pak Ali.
“Maaf om, tadi sedikit macet.”
“Oh,
ya sudah nggak apa-apa. Ayo masuk Sapta.”
“Iya,
om.” Sapta masuk ke dalam rumah Dita.
“Ayo,
duduk.” Pak Ali mempersilahkan Sapta untuk duduk.
“Terima
kasih, om.”
“Dita,
Dita… Sapta sudah datang.” Pak Ali memanggil anaknya.
“Iya,
Pah.” Dita keluar dari kamarnya.
“Anak
Papa cantik sekali malam ini. Pasti kalian berdua mau ngedate ya?”
“Nggak
kok, om. Kita Cuma jalan-jalan biasa aja.” Sapta menyanggah tuduhan Pak Ali.
“Kamu
jangan malu-malu seperti itu Sapta.”
“Pah,
udah deh. tuh lihat Sapta jadi malu begitu.”
“Ya,
sudah kalian cepat berangkat. Nanti keburu malam lagi.”
“Pamit
ya om.” Sapta mencium tangan Pak Ali.
“Aku
juga pamit ya, Pah.” Dita mencium tangan Papanya.
“Iya,
kalian hati-hati ya.”
“Siap,
Pah.”
Sapta dan Dita masuk ke dalam mobil,
tak butuh waktu lama mobil itu kini sudah melaju dengan kecepatan sedang.
“Kita
mau ke mana?” tanya Sapta pada Dita.
“
Terserah kamu aja” jawab Dita.
“Kok
gue, kan lo yang ngajak.”
“Sapta
kamu bisa nggak sih kalau ngomong sama aku itu nggak pake lo gue. Kayak ke
temen aja.”
“Kita
emang temenankan.”
Dita
lupa jika dirinya dan Sapta memang belum jadian. “Ya, aku maunya pake aku kamu
aja.”
“Sorry,
gue udah kebiasaan kayak gini.”
“Ya,
udah deh nggak apa-apa.” Dita agak cemberut.
“Kita mampir dulu ya ke toko komputer, gue mau beli flashdisk dulu.”
“Iya.”
Tak lama kemudian mobil Sapta telah
sampai di depan toko komputer. Sapta dan Dita turun dari mobil. Saat berada di
dalam toko komputer Sapta seperti melihat seseorang yang sangat ia kenal.
“Lian,
lo lagi beli apa?” Sapta menyapa Lian.
“Gue
lagi beli flashdisk.”
“Lo
lagi lo lagi.” Dita tidak suka ketika tahu bahwa Lian berada di sini juga.
“Lo
apa-apaan sih, Dita?” ucap Sapta pada Dita.
“Aku
nggak suka lihat dia.”
“Tapi
kita bertemu di sini itu secara tidak sengaja.”
“Tetap
aja aku nggak suka sama dia. Dia itu perempuan murahan, sama kayak mamanya.”
“Kamu
ikut aku sini.” Sapta menyeret tubuh Dita keluar dari dalam toko.
“Sapta,
lepasin aku.”
“Jaga
ucapan kamu Dita, ini tempat umum. Malu dilihat orang.”
Lian keluar dari dalam toko sambil
membawa flashdisk yang telah dia beli. Lian menghampiri Sapta dan juga Dita
yang sedang adu mulut.
“Aku
nggak peduli. Aku benci sama dia.”
“Dita
pelanin suara lo.” perintah Sapta.
“Eh,
dasar lo perempuan nggak bener. Anak sama ibu sama aja.” Dita terus memaki-maki
Lian.
“Dita
cukup.” rasanya Lian ingin sekali membekam mulut Dita.
“Alah,
diem lo. Plakkk!!!.” Dita menampar pipi Lian cukup keras. Lian memegang pipinya
yang terkena tamparan.
“Lo
keterlaluan.” Sapta naik pitam.
“Dia
pantas dapetin itu. Dasar pelacur.”
“Dita
stop!!!.” kali ini Sapta benar-benar marah pada Dita.
“Sapta,
inget ya. Aku ini atasan kamu. Kamu nggak berhak bentak aku kayak gitu.”
“Di
kantor lo emang atasan gue. Tapi di luar kantor lo bukan siapa-siapa gue. Ayo
Lian.” Sapta menarik tangan Lian dan menyuruh Lian untuk naik ke dalam
mobilnya.
“Sapta
tunggu, Sapta. Aku pulang gimana?”
“Lo
pulang sendiri aja.” Sapta langsung tancap gas meninggalkan Dita.
Saat berada dalam mobil Sapta
sedikit cemas dengan keadaan Lian. Sapta memutuskan untuk menghentikan mobilnya
di pinggir jalan.
“Lo
nggak apa-apa?” Sapta melihat wajah Lian.
“Enggak
kok.” Lian menggelengkan kepalanya.
“Kok
nggak nangis?”
“Gue
udah nggak nangis lagi. Kan sekarang udah jadi wanita tegar.” ucap Lian sambil
tersenyum.
“Jadi
udah nggak cengeng lagi nih ceritanya?”
“Nggak
dong. Sekarang air matanya udah dikurangin.”
“Bagus
deh kalau gitu.” Sapta Mengusap kepala Lian. “Yang ini nggak sakit?” Sapta
mengelus pipi Lian yang tadi ditampar oleh Dita.
“Lumayan
sih.”
“Kenapa
sih, Dita layaknya benci banget sama lo?”
Lian
menarik napasnya dalam-dalam. “Gue harus cerita gitu sama lo?”
“Nggak
apa-apa. Anggap aja kalau gue itu Azof. Jadi lo bisa cerita apapun sama gue.
Gue janji nggak bakalan cerita sama siapapun.”
“Janji
ya?”
“Iya.”
“Dulu
gue itu memiliki keluarga yang harmonis, kita semua hidup bahagia. Tapi semua
itu berubah ketika ayah sama ade gue meninggal secara bersamaan. Mereka
meninggal karena kecelakaan motor di jalan raya. Gue inget banget waktu itu gue
masih duduk di bangku SMP. Semenjak kepergian mereka, ibu gue harus berjuang
seorang diri menggantikan ayah mencari nafkah. Semua itu dia lakukan cuma buat
gue. Dia bekerja apapun yang dia bisa. Mulai jualan baju online, jadi
penerjemah buku, dan kerja di salah satu restoran. Hingga suatu ketika, ibu gue
ketemu sama Om Ali. Papanya Dita. Om Ali suka sama ibu gue, dan bahkan dia
menikahi ibu gue. Demi kebahagian ibu gue, gue rela punya ayah tiri. Setelah
beberapa bulan menikah, ternyata ibu gue baru tahu kalau selama ini Om Ali
bohong. Dulu dia bilang kalau dia itu adalah seorang duda. Ternyata dia masih
memiliki istri. Istrinya tidak terima, dia datang ke rumah bersama Dita lalu
melabrak ibu gue. Mereka Memaki-maki ibu gue di depan mata gue sendiri. Padahal
ibu gue sama sekali nggak tahu kalau laki-laki yang sudah menikah dengannya
masih memiliki istri. Hingga pada akhirnya ibu gue memutuskan untuk mengalah.
Dia bercerai dari Om Ali. Pernikahan mereka tidak bertahan lama. Hanya berumur
beberapa bulan saja. Dan gue sama sekali nggak tahu kalau Om Ali itu yang punya
kantor majalah itu. Saat awal masuk kuliah ternyata gue satu kampus dengan
Dita. Dia senior gue. Umur Dita diatas gue 2 tahun. Sejak saat itu Dita benci
banget sama gue dan ibu. Dia selalu mengecap kalau ibu gue adalah perebut suami
orang. Bahkan gue juga sering dikata-katain kayak barusan. Padahal gue bukan
wanita murahan, pelacu…”
“Stop,
gue nggak mau denger kata itu.” Sapta memotong ucapan Lian. “Gue yakin lo cewek
baik-baik. Gue emang belum lama kenal sama lo. Tapi gue bisa lihat dari wajah
lo kalau lo itu cewek baik-baik, apa yang dikatakan sama Dita itu nggak bener.”
“Makasih
karena lo udah mau percaya sama gue.”
“Iya.”
“Kasihan
Lian. Gue jadi nggak tega.” Sapta berbicara dalam hatinya
“Sapta,
kenapa bengong?” Lian menepuk pundak Sapta.
“Nggak,
nggak apa-apa kok. Eh, gimana tangan lo, udah baikan?” Sapta memegang tangan
Lian yang masih diperban.
“Udah
mendingan kok.”
“Gue
antar pulang ya.”
“Iya.”
Lian menganggukan kepalanya
Beginner Tips | How to Bet on Roulette - Worrione
ReplyDeleteThe most common way to bet on Roulette is to play the game straight หารายได้เสริม from the back of your hand. 바카라 For instance, if you want to 샌즈카지노 make a single bet of $1 to win, you are