Keesokan harinya Azof benar-benar
datang ke rumah Lian. Jarak antara rumah Lian dan Azof sangatlah dekat. Hanya
terhalang satu rumah saja, yah mereka tetanggaan. Azof datang ke rumah Lian
sangat pagi sekali. Jam 06.00 pagi Azof sudah berada di depan pintu rumah Lian.
Azof mengetuk pintu rumah Lian.
"Lian, Lian buka pintunya." Azof
berteriak-teriak.
"Buset, jam segini udah nongol aja lo."
kata Lian yang kaget membukakan pintu rumahnya. Biasanya Azof tidak per
nah bertamu sepagi ini.
"Gue kan mau bantuin lo beresin nih
rumah."
"Niat banget lo. Salut gue sama lo." Lian
menepuk-nepuk pundak Azof.
"Iyalah."
"Ayo kita beres-beres." Lian mengajak Azof
masuk ke rumahnya.
Ketika berada di dalam rumah mereka
langsung mengerjakan semua pekerjaan rumah yang bisa mereka lakukan. Seperti
menyapu, ngepel, cuci piring dan lain sebagainya. Dengan ikhlas Azof membantu
Lian mengerjakan semua pekerjaan rumahnya. Alhasil dalam waktu satu jam saja
mereka sudah selesai mengerjakan semuanya.
"Haduh, capek." Azof membanting tubuhnya ke
sofa.
"Makasih Azof." Lian tersenyum.
"Iya, sama-sama. Tuh bekas tusukan sate banyak
banget."
"Kan gue belinya 50 tusuk."
"Habis?"
"Ludes malahan."
"Buset, gue pikir lo udah kagak doyan sate.
Ternyata 50 tusuk yang menurut gue banyak bisa habis juga." Azof
geleng-geleng kepala melihat nafsu makan Lian yang begitu rakus.
"Bisa." jawab Lian dengan polos.
"Istighfar lo. Lo makan dibarengi Sama setan
sih, makanya nggak kenyang-kenyang."
"Ah, dari dulu juga gue emang makannya banyak
kan." Lian mendorong pundak Azof. "Eh, waktu semalem gue ketemu sama
cowok yang nyebelin banget." Lian memulai sesi curhatnya pada Azof.
"Emang gimana ceritanya?" Azof penasaran
dengan cerita Lian.
Akhirnya Lian menceritakan semua
kejadian semalam pada Azof. Azof hanya tertawa mendengar cerita Lian.
Berkali-kali Lian menyebut bahwa Sapta adalah cowok jutek yang menyebalkan.
Berbeda sekali dengan Rasya yang sangat ramah pada semua orang.
"Jadi lo ngebandingin cowok itu sama
Rasya?" tanya Azof.
"Iyalah, beda banget tahu."
"Siapa tuh cowok namanya?"
"Sapta." jawab Lian dengan singkat.
"Karakter orangkan berbeda-beda. Lo nggak boleh
membandingkan mereka berdua." Azof menasihati Lian.
"Iya tapikan..."
"Mendingan lo ambilin gue minum deh. Seret tahu
dari tadi belum dikasih minum."Azof memotong pembicaraan Lian.
"Iya." Lian mengambilkan minum untuk Azof
walaupun mukanya jadi agak cemberut.
"Nih." Lian menyodorkan segelas air es.
"Biasa aja kali mukanya." Azof menggodanya
Lian.
"Habisnya lo nyebelin sih. Pake ngebelain tuh
cowok."
"Dih, siapa yang ngebelain? Kan gue bilang
jangan suka membanding-bandingkan orang. Nggak baik."
"Terserah deh." Lian mulai kesal pada
Azof.
"Dih ngambek. Ngambek nih ceritanya." Azof
mencolek bahu Lian.
"Menurut lo?" Lian melotot.
"Halah, nanti juga baik lagi. Yakin gue. Lo kan
nggak bisa hidup tanpa gue." Azof mulai kepedeaan.
"Dih, sampe merinding gue lo ngomong kayak
begitu."
"Hahaha..." Azof hanya tertawa.
***
Hari ini Lian akan pergi ke kantor
Rasya. Lian ingin menunjukan hasil desain kartu undangan yang telah dipesan
oleh Rasya untuk pernikahannya. Lian mengendarai motornya menuju kantor Rasya.
Setelah sampai di depan kantor Rasya, Lian langsung memarkirkan motornya lalu
mengambil tas miliknya.
"Ok, Lian lo harus tenang. Jangan grogi dan
please jangan baper." Lian menarik nafas dalam-dalam lalu mengeluarkannya
lagi. Berulang kali Lian melakukan yang sama.
"Maaf mau bertemu dengan siapa?" seorang
satpam bertanya pada Lian dengan sangat sopan.
"Saya mau bertemu dengan Pak Rasya, kebetulan
kita sudah janjian." jawab Lian dengan santay.
"Silahkan, ruangan Pak Rasya ada di lantai
2."
"Terima kasih." Lian mengucapkannya dengan
sopan pada satpam tersebut.
"Sama-sama."
Lian menyusuri anak tangga yang
tidak terlalu banyak menuju ruangan Rasya. Matanya melirik ke kiri dan ke kanan
mengamati setiap sudut kantor Rasya. Di sana Lian melihat beberapa lukisan
abstrak yang menurutnya jika lukisan tersebut lebih cocok disebut lukisan anak
kecil ketimbang harus menyebutnya lukisan abstrak. Karena Lian memang tidak
mengerti soal lukisan sama sekali.
"Nah, ini pasti ruangan Rasya. Ada tulisannya
tuh CEO." Lian begitu yakin.
Lian kembali menarik nafasnya
dalam-dalam lalu membuangnya kembali. Lian mengulanginya sampai 3 kali.
"Ok, tenang. Huh... Tok tok tok" Lian
mengetuk pintu ruangan Rasya.
"Masuk." Sebuah suara yang tak asing lagi
di telinganya mempersilahkannya untuk segera masuk.
"Hai, Rasya." Lian menyapa Rasya yang
sedang mengetik di laptopnya.
"Lian." Rasya nampak senang dengan
kehadiran Lian. "Bagaimana, tidak susah mencari alamat kantorku?"
"Nggak kok."
"Silahkan duduk." Rasya mempersilahkan
Lian untuk duduk.
"Iya."
"Gimana desain undagannya udah jadi? Oh sampai
lupa, kamu mau minum apa? Atau kamu mau makan?"
"Nggak usah Rasya, aku juga nggak lama kok.
Cuma mau kasih liat beberapa desain kartu undagannya. Nanti kamu tinggal pilih
aja, lebih suka yang mana?" Lian mengeluarkan beberapa contoh desain kartu
undangan yang telah dia buat dari dalam tasnya.
"Wah semuanya bagus-bagus nih. Tapi aku juga
harus diskusiin hal ini sama Arsy."
"Iya, boleh. Kamu bawa aja dulu semua
contohnya. Nanti kalau udah fix kamu tinggal hubungi aku aja."
"Ok deh, aku ambil ya semua contohnya."
Rasya nampak senang dengan semua desain kartu undangan yang telah dibuat oleh
Lian.
"Kalau gitu aku permisi dulu ya." Lian
terburu-buru.
"Mau kemana buru-buru banget?"
"Ah, biasalah. Masih banyak urusan nih."
"Hati-hati di jalan ya." Rasya
mengucapkannya sambil tersenyum. Dan senyuman Rasya selalu saja membuat Lian
melting.
"Iya."
Lian keluar dari ruangan Rasya. Dia
berlari menuju ke parkiran secepat kilat. Kali ini Lian menarik nafasnya dengan
sangat cepat. Seperti orang yang habis maraton.
"Sumpah ya, demi apapun itu senyuman Rasya
manis banget kayak ada gulanya gitu. Bikin gue meleleh kayak es batu."
Lian mulai mengeluarkan kalimat lebaynya. "Haduh-haduh, panas dingin
gue." Lian mengipas-ngipas wajahnya dengan kedua tangannya.
"Kenapa neng, kesambet ya?" Salah satu
karyawan Rasya merasa aneh melihat tingkah Lian yang terlalu over.
"Songong lu ya. Terserah gue." Lian baru
menyadari bahwa dirinya menjadi pusat perhatian para karyawan kantor. "Ah
mendingan gue cepet-cepet cabut dari sini. Bisa-bisa gue jadi selebritis
dadakan lagi kalau kelamaan di sini." Lian langsung memakai helm dan
segera pergi meninggalkan kantor Rasya dengan motor matic miliknya.
***
Jam sudah menunjukan pukul 13.00
WIB. Lian bengong seorang diri di sebuah taman. Dia memikirkan seseorang, siapa
lagi kalau bukan Rasya. Lian benar-benar tidak terima kalau dalam waktu dekat
ini Rasya akan menikah dengan wanita lain.
"Nasib-nasib. Kenapa sih, setiap kali gue suka
sama orang selalu aja bertepuk sebelah tangan? Emangnya gue jelek banget ya,
kok gak ada yang mau sih sama gue?" Lian menyalahkan takdirnya sendiri.
"Nggak punya pasangan, nggak punya keluarga, tinggal di rumah sendiri
lagi. Sepi banget hidup gue. Apa gue bunuh diri aja gitu. Biar semua masalah
gue kelar." Lian mulai ngelantur.
"Heh, cewek aneh ngapain lo di sini?"
tiba-tiba sebuah suara mengagetkannya.
"Eh, elo cowok jutek juga ngapain ada di
sini?"
"Gue kerja di kantor itu." Sapta menunjuk
sebuah kantor majalah yang berada tepat di depan taman. Lalu dia menyulut
sebatang rokok yang dipegangnya.
"Lo kerja di majalah itu?" tanya Lian.
"Iya. Udah 5 tahun." Sapta menghisap
rokoknya.
"Gue freelance di kantor majalah itu."
"Oh, ya?" Sapta melirik Lian.
"Iya, setiap minggu gue nulis artikel mengenai
traveling."
"Tunggu dulu. Maksud lo itu, lo yang suka nulis
artikel mengenai traveling di kantor
majalah gue? Setahu gue ada 3 orang freelance yang selalu nulis artikel
mengenai traveling. Tapi nggak ada nama lo tuh." Sapta kembali menghisap
rokoknya yang tersisa tinggal setengahnya lagi.
"Waktu itu gue pernah nulis mengenai Sejuta
Pesona Kota Yogyakarta."
"Gue inget artikel itu." Sapta mematikan
rokoknya, dan dia berusaha mengingat-ngingat kembali siapa yang menulis artikel
tersebut. "Lian?" Sapta mengerutkan keningnya "Lian? Liana
Maharani?" Sapta ingat dengan nama penulis artikel itu.
"Itu nama lengkap gue."
"Gue nggak nyangka, ternyata lo yang
nulis?"
"Iya " Lian hanya mengangguk.
"Bikin artikel yang lebih bagus lagi ya. Biar
majalahnya laku keras." Sapta kembali menyulut sebatang rokok yang diambil
dari saku celananya.
"Lo kerja bagian apa?"
"Gue tuh bagian yang suka bersihin
genteng."
"Serius gue? Tapi tampang lo emang cocok
sih?"
"Enak aja. Gue itu awalnya kerja di sana
sebagai editor. Sekarang udah jadi Pemimpin Redaksi."
"Wih... Lumayan tuh jabatannya." Lian
kagum melihat jabatan yang kini sudah diraih oleh Sapta. Padahal jika dilihat
dari tampangnya Sapta masih sangat muda.
"Biasa aja, yang punya kantor majalah itu temen
baik orang tua gue. Makanya gue ditawarin buat menggantikan posisi Pemimpin
Redaksi yang dulu resign.
"Sama aja judulnya elo itu bos."
"Kan masih ada bos yang jabatannya lebih tinggi
dari gue. General Manager, anak yang punya kantor majalah ini."
"Iya-iya." Lian hanya ngangguk-ngangguk.
"Gue masuk kantor dulu ya." Sapta melirik
arloji yang melingkar di tangan kanannya.
"Iya."
"Sampai bertemu di lain waktu ya." Sapta
tersenyum pada Lian.
Bersambung...
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan sopan dan baik
Komentar yang mengandung link aktif akan dihapus secara otomatis