Thursday 24 November 2016

September Bersamamu Part 7

            Lian sedang merapihkan beberapa potong pakaiannya, lalu memasukaknya ke dalam lemari. Lian mengambil photo ibunya yang ia selipkan di dalam sebuah buku catatannya. Lian  memandangi photo tersebut terus-menerus. Tanpa terasa air mata Lian Terjatuh. Dia mengelus-ngelus wajah sang ibu. Kini Lian tak bisa menyentuh ibunya lagi seperti dulu. Hanya lewat photo saja Lian bisa melihat ibunya.

“Mah, aku kangen banget sama mama.” Lian memeluk photo mamanya. “Doain Lian ya ma, semoga Lian kuat menjalani hari-hari Lian tanpa mama.” Lian menghapus air matanya.

            Lian meraba perutnya sendiri. Dia baru menyadari bahwa dari tadi siang Lian belum makan sama sekali. Lian menoleh jam dinding yang ada di kamarnya. Baru jam 19.00 malam. Lian menyimpan kembali photo ibunya ke dalam buku catatannya. Lalu dia segera pergi ke dapur dan langsung membuka kulkas.

“Yah, kosong.”ternyata isi kulkasnya kosong, tidak ada makanan sedikitpun. Hanya ada minuman dingin saja di dalamnya.

            Akhirnya Lian memutuskan untuk mencari makanan keluar. Lian kembali ke kamarnya yang berada di lantai 2. Lalu dia mencari kunci motor miliknya. Setelah mendapatkan kunci motor miliknya Lian langsung melaju dengan motor kesayangannya.

“Mau makan apa ya enaknya?” Lian berbicara sambil mengendarai motor. “Beli sate kambing kayaknya enak tuh.” Lian mulai membayangkan sedang menyantap sate kambing. Salah satu makanan favoritnya. Perutnya semakin keroncongan saja. “Mana ya, tukang satenya. Kok nggak ada sih?” 

Lian menengok ke kiri dan ke kanan berharap jika dia bisa menjumpai salah satu tukang sate. Namun sedari tadi Lian sama sekali tidak melihat akan kehadiran si tukang sate. Mencium baunya saja pun tidak.

“Ah, tanya orang itu aja deh.” Lian mendekati salah satu pria yang tidak ia kenal hanya untuk menanyakan keberadaan si tukang sate. “Mas, mas. Liat tukang sate nggak?” Lian meberhentikan motornya tepat di depan pria tersebut.
“Elo…” Pria itu menunjuk pada Lian.
“Kayak penah liat ya muka yang kayak begini. Tapi di mana ya?” Lian berusaha mengingat-ngingat kembali dengan sosok pria tersebut. Sepertinya Lian pernah bertemu dengan orang ini.
“Lo yang waktu itu nangis sendirian malam-malam kan? Oh gue tahu, jangan-jangan waktu itu lo nangis gara-gara nyariin tukang sate lagi? Atau mungkin cowok lo kali ya tukang sate?”
“Sembarangan lo kalau ngomong. Kalau nggak mau kasih tahu, ya udah. Nggak usah ngomong kayak begitu. Elo kali tukang satenya. Mana gerobaknya? Gue mau beli sate nih.” Lian Nampak celingak-celinguk mencari gerobak sate.
“Ngarang aja lo.” Pria itu mulai kesal pada Lian.
“Gue, serius nih. Lo liat tukang sate nggak?”
“Nggak tahu.” jawab pria itu dengan ketus.
“Yah…” ada rasa kecewa di wajah Lian
“Lo mau tahu tukang sate yang enak di mana?” ucap pria itu.
“Di mana?” mata Lian mulai berbinar-binar.
“Ikut gue aja yuk.”
“Ogah, entar gue diculik lagi.” Lian tidak mudah percaya pada orang yang baru saja dikenalnya.
“Nggak ada gunanya gue nyulik cewek yang doyan nangis kayak lo. Berisik kuping gue.”
“Suka-suka gue, mau nangis mau nggak. Bukan urusan lo.”
“Lo tenang aja. Lo kan bawa motor sendiri. Gue juga bawa motor. Lo ngikutin gue dari belakang aja.” saran pria itu.
“Ok deh. Untung aja gue lagi laper, kalau nggak laper mana mau gue ngikutin lo.” Lian ngomel sendiri.
“Berisik lo.” Pria itu langsung menaiki motornya. Lalu memberi kode pada Lian untuk mengikutinya dari belakang.
“Awas aja kalau dia sampe macem-macem sama gue, gue tinju mukanya.” Lian berbicara sendiri.

            10 menit kemudian akhirnya Lian dan pria asing itu sampai di sebuah rumah makan gulai yang meyediakan berbagai macam jenis sate. Dari tempat parkir saja Lian sudah mencium aroma sate yang sangat dia sukai. Hidung Lian memang tajam jika mencium aroma sate. Apalagi aroma sate kambing.

“Tuh, lo beli sate di situ aja.”
“Ok, makasih ya.” Lian segera turun dari motornya.

            Lian masuk ke dalam rumah makan gulai tersebut. Dan dia langsung memesan 50 tusuk sate kambing. Sebanyak itu Lian memesan sate kambing hanya untuk dirinya. Lian memang sangat menggilai kuliner yang satu ini. Bahkan menurutnya 50 tusuk sate kambing itu tidak ada apa-apanya.

“Mas, sate kambing 50 tusuk ya. Dibungkus” ucap Lian pada pedagang sate itu.
“Siap.” tukang sate itu langsung melayani Lian.
“Banyak banget pesen satenya. Buat keluarga lo ya?” Pria itu so tahu.
“Iya.” Lian hanya menjawab dengan singkat.”Keluarga yang mana?” Lian berbicara dalam hatinya. Lian mencari tempat duduk yang kosong. Lalu dia duduk sambil menunggu sate kambing yang dia pesan. Pria asing itu mengikuti Lian dan duduk di hadapan Lian.
“Nama lo siapa?” Lian bertanya pada pria yang duduk di hadapannya.
“Penting?” Pria itu bertanya balik pada Lian.
“Nggak juga sih.” Lian terlihat sedikit kesal.
“Sapta. Nama gue Sapta.” Pria itu memperkenalkan namanya.
“Oh…”
“Oh doang.”
“Lo nggak mau nanya balik siapa nama gue gitu?” kata Lian sambil tersenyum.
“Nggak penting.” jawab Sapta dengan singkat.
“Idih.” Lian memalingkan wajahnya. “Nama gue Lian.” Lian berinisiatif memperkenalkan namanya.
“Nggak nanya.” ucap Sapta tanpa ekspresi.
“Lama-lama gue getok juga nih cowok.” Lian berbicara dengan sangat pelan.
“Gue denger ucapan lo barusan.” ternyata Sapta mendengar ucapan Lian.
“Ya, baguslah. Itu menandakan kalau pendengaran lo masih ok.” Lian asal bicara.
“Gue getok beneran lo.”Sapta menggetok kepala Lian dengan sendok.
“Aw…” Lian memegang kepalanya.
“Lo tinggal di daerah sini?” tanya Sapta pada Lian.
“Nggak penting.” Lian melotot pada Sapta.
“Dih, galak bener.” Sapta hanya tertawa melihat ekspresi wajah Lian.

         Selama lebih dari 20 menit mereka tidak mengobrol sama sekali. Mereka hanya sibuk dengan handphonenya masing-masing.

“Nah, ini sate kambingnya sudah jadi.” pedagang sate itu memberikannya pada Lian.
“Berapa?”
“100 ribu pas.”
“Nih. Makasih ya.” Lian memberikan uangnya
“Sama-sama.”

            Tanpa permisi sama sekali Lian langsung meninggalkan rumah makan gulai tersebut. Dia buru-buru menuju ke parkiran.

“Nggak ada sopan santunnya lo sama gue.”
“Bodo ah…” Lian Nampak tidak memperdulikan Sapta, pria yang baru saja dia kenal.


Bersambung...

No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan sopan dan baik
Komentar yang mengandung link aktif akan dihapus secara otomatis