“Bagaimana keadaan ibu saya, dok?” Pria itu
mencemaskan kondisi ibunya.
“Ibu Anda baik-baik saja. Tidak ada luka serius,
hanya sedikit lecet-lecet saja. Saya akan buatkan resepnya.”
“Terima kasih, dok.” ucap Pria itu.
“Sama-sama.” Azof kembali duduk di kursinya dan
langsung membuat resep obatnya.
“Ibu ndak apa-apa, Nak. Cuma luka kecil saja.” Dengan
logat Jawanya, ibu itu berusaha menjelaskan pada anaknya bahwa kondisinya
baik-baik saja.
“Tapikan, bu…”
“Udah, kamu ndak usah khawatir kayak gitu. Dokter
kan sudah buatkan resep buat ibu, ibu pasti sembuh. Lagian ibu cuma keserempet
motor aja.”
“Tapi aku tetep khawatir sama ibu.” Pria itu masih memegang
tangan ibunya dengan sangat lembut.
“Ini resep yang harus Anda tebus.” Azof menyerahkan
selembar kertas pada pria tersebut.
“Apa nggak sebaiknya ibu saya dirawat saja, dok”
“Nak, ibu tidak usah dirawat. Berobat jalan saja
sudah cukup.” lagi-lagi si ibu tidak ingin membuat anaknya cemas.
“Tidak perlu. Ibu Anda benar, cukup berobat jalan
saja. Nanti jika ada apa-apa, Anda bisa membawa kembali ibu Anda ke sini.”
“Baik, dok. Terima kasih.”
“Iya. Kalau begitu saya permisi dulu. Ibu Anda sudah
bisa pulang sekarang.”
“Terima kasih ya, dok.” Ibu itu mengucapkan terima
kasih pada Azof.
“Iya, ibu.”
“Ayo bu kita pulang sekarang.” Pria itu menghampiri
ibunya, dan membantu untuk membangunkan ibunya.
“Iya.” Ibu itu perlahan-lahan bangun dari tempat
tidur.
“Kita tebus dulu obatnya ya bu.”
“Iya.”
***
Azof
mengeluarkan handphone miliknya dari dalam saku celana. Lalu dia mencari nomor
telepon yang sudah sangat sering sekali dia hubungi. Lian, yah Azof menghubungi
Lian via telepon.
“Hallo, Lian. Lo lagi ngapain?”
“Lo nggak ada kerjaan ya, nanyain gue lagi ngapain?”
jawab Lian dengan sewot.
“Biasa aja kali jawabnya.” Azof malah ikuta sewot.
“Lagian kalau nggak penting-penting amat mending lo
nggak usah telepon gue. Ngabisin pulsa aja tahu.”
“Yang abis kan pulsa gue, bukan pulsa punya lo.”
“Dari pada lo telepon gue, mendingan lo telepon
pasien-pasien lo deh.” Lian memberikan saran yang membuat Azof menganggat
sebelah alisnya. Lagipula buat apa Azof harus menelpon pasien-pasiennya satu
persatu. Bisa bobol beneran pulsanya.
Yah,
begitulah mereka. Lian dan Azof memang seringkali bertikai seperti itu. Hanya karena
masalah sepele saja bisa dibesar-besarkan. Namun, walaupun begitu mereka tetap
berteman baik. Apalagi mereka berdua sudah bersahabat sejak lama.
“Woy, otak lo bocor ya? Nggak ada kerjaan gue
telepon pasien-pasien gue. Lo tuh harusnya bersyukur ya gue yang notabennya
dokter kece di Indonesia masih mau teleponan sama lo.” Azof mulai mengeluarkan
jurus lebaynya.
“Mulai deh, lebay.” Lian ketawa-ketiwi mendengar
peryataan Azof. Sejak kapan Azof dinobatkan sebagai dokter kece di Indonesia?
“Gue, serius nih. Lo lagi ngapain? Soalnya gue mau
minta tolong sama lo.” Azof menyenderkan badannya ke tembok.
“Gue lagi mendesain kartu undangan Rasya sama Arsy.”
jawab Lian sambil terus menatap layar laptopnya.
“Cieee, yang bantuin pernikahan mantan gebetan.”
Azof tertawa.
“Elo nggak usah rese ya. Emangnya lo mau minta
bantuan apa sih?” Lian penasaran.
“Jadi gini, besok kan gue libur. Nah…” Azof tidak
melanjutkan kalimatnya.
“Nah apa?” Lian penasaran.
“Nah, gue mau…”
“Mau apa sih?” Lian semakin penasaran.
“Gue mau bantuin lo beres-beres di rumah lo. Gue
tahu sih, pasti lo capek kan kalau setiap hari beres-beres sendirian. Ya,
semenjak kepergian ibu lo, lo harus beresin semuanya. Apalagi di rumah lo
sendiri. Nggak ada yang bantuin.” kali ini Azof mulai serius. Ya, dia serius
menawarkan bantuan jasanya pada Lian.
“Itu sih elo yang mau bantuin gue, Azof”
“Hehe…” Azof hanya nyengir.
“Gue kan sebatang kara sekarang, Zof. Waktu SMP ayah
sama adik gue meninggal karena kecelakaan motor. Dan sekarang ibu gue malah
nyusul mereka. Sendirian gue di Jakarta.” mata Lian mulai berkaca-kaca.
“Kan masih ada gue kali. Jadi lo nggak sendirian.”
Azof berusaha menenangkan hati Lian walaupun hanya lewat telepon.
Sekarang
Lian memang tinggal seorang diri di rumahnya. Ibunya baru saja meninggal dua
bulan yang lalu. Dan yang membuat Lian sangat sedih adalah ibunya meninggal
secara mendadak. Bahkan pada saat itu Lian sama sekali tidak memiliki firasat
apapun. Tapi ini sudah menjadi kehendak-Nya. Lian tidak boleh menyalahkan
siapa-siapa. Dia harus tetap tegar menghadapi semua cobaan ini. Tuhan pasti tahu
mana yang terbaik untuk dirinya. Untung saja Lian masih mempunyai sahabat baik
seperti Azof. Walaupun Azof selalu menyebalkan dan membuatnya jengkel setiap
hari, tapi di mata Lian jika Azof adalah sosok sahabat yang sempurna. Dia
selalu ada disaat Lian tertimpa masalah.
“Woy, lo masih di situkan?” kata Azof pada Lian.
“Iya, gue masih di sini kok.” Lian meneyeka air
matanya yang hampir jatuh. “Ya, udah besok gue tunggu ya. Kebetulan cucian gue
banyak nih. Hehe…” Lian mulai cengar-cengir.
“Ke laundry neng.”
“Haha…” Lian hanya tertawa mendengar ucapan Azof
yang ketus.
“Ya, udah deh, kalau gitu gue mau lanjut kerja lagi.”
“Kerja apaan? Lo kan kerjanya godain suster dan
pasien yang cantik-cantik.”
“Wih, sorry sebagai seorang dokter gue harus jaga
image.” Azof so cool.
“Image aja dijaga. Iman yang dijaga.”
“Image plus iman juga maksud gue.”
“Gue tutup yah teleponnya. Selamat bekerja, bye.”
Lian menutup teleponnya terlebih dahulu.
“Ok, Bye”
Azof
melanjutkan kembali tugasnya sebagai seorang dokter. Untuk urusan pekerjaan
Azof memang selalu serius. Meskipun dia selalu merasa jika pekerjaannya saat
ini bukanlah bidang yang dia mau. Azof merasa jika menjadi seorang dokter
bukanlah pekerjaan yang ingin dia geluti. Tapi dengan menjadi seorang dokter setidaknya
Azof bisa membantu banyak orang.
Bersambung...
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan sopan dan baik
Komentar yang mengandung link aktif akan dihapus secara otomatis