“Lo,
siapa? Gue nggak kenal sama lo.” Lian menetap wajah pria itu.
“Sama.
Gue juga nggak kenal sama lo.” ucap pria tersebut dengan enteng.
“Iya,
terus?”
“Iya,
terus. Lo ganggu kuping gue. Ngapain lo nangis-nangis kayak gitu?”
“Emangnya
nggak boleh kalau gue nangis?”
“Ya,
boleh aja sih. Tapi tahu tempat Neng, nanti aja nangisnya di kamar. Jangan di
jalanan kayak gini. Malu kalau diliat banyak orang.”
“Ada
benernya juga nih orang. Kok gue jadi melankolis begini sih?” Lian berbicara
dalam hatinya.
“Woy,
baik-baik aja lu?” Pria itu menepuk pundak Lian sedikit keras.
“Udah
deh, lo nggak usah gerocokin gue. Mendingan lo pergi aja.” kata Lian sambil
menghapus sisa air mata di pipinya.
“Ok,
gue pergi. Tapi lo jangan nangis lagi, ntar disangkanya gue lagi yang
ngapa-ngapain lo.” Pria itu tesenyum sinis pada Lian.
“Yey,
dasar cowok nggak jelas. Aneh lu.” Rasanya Lian ingin sekali melemparkan sepatu
miliknya tepat di kepala pria itu. Biar dia geger otak sekalian.
***
“Woy,
Lian. Bangun woy. Buset dah, nie anak jam segini belum bangun. Kebo kali ya?”
Azof berusaha membangunkan sahabatnya itu.
“Emhhh….”
hanya suara itu yang keluar dari mulut Lian.
“Tumben
lo jam segini belum bangun? Biasanya udah stay aja tuh di depan laptop. Ini malah
belum bangun. Mana pintu rumah lo nggak dikunci lagi. Kalau ada maling gimana
coba? Untung gue yang datang. Semuanya aman. Coba kalau bukan gue yang datang.
Wah, udah habis lo.” Azof terus bicara sambil menarik-narik selimut Lian.
Gara-gara menangis semalaman, Lian
lupa jika rumahnya belum dikunci sama sekali. Untung saja rumahnya tidak
kedatangan maling.
“Apaan
sih lo, berisik banget.” Lian menutup telinganya dengan bantal.
“Bangun,
kebo.” Azof menarik bantal Lian.
“Iya,
gue bangun nih.” dengan sangat terpaksa, akhirnya Lian pun bangun.
“Mata
lo kenapa, Lian? Lo habis nangis ya?” Azof mulai menebak-nebak.
“Iya,
gue habis nangis semaleman. Dan gue nggak bisa tidur.”
“Lo
lagi ada masalah? Cerita aja sama gue.” Azof mulai simpati pada Lian.
“Gue
kan habis ketemu sama Rasya.”
“Iya,
gue tahu. Emangnya lo diapain sama dia, sampe lo nangis kayak gini?”
“Rasya
mau nikah.” Lian terlihat lesu saat mengucapkan kata-kata itu.
“Iya,
terus kenapa? Lo kan bukan pacarnya dia.”
“Lo
kan tahu kalau gue suka sama dia.”
“Katanya
lo udah move on?”
“Iya,
udah sih. Tapi... ”
“Percuma
lo move on bertahun-tahun, kalau ketemu sebentar aja sama Rasya udah bikin lo
suka lagi sama dia.” Azof memotong pembicaraan Lian.
“Tapi
kenapa sih setelah dia menghilang selama 3 tahun, dia tiba-tiba datang lagi dan
menghubungi gue. Gue pikir kalau gue tuh masih punya kesempatan gitu, Zof.”
“Ah,
lo ini ada-ada aja.”
“Gue
ketipu buat yang kedua kalinya.”?
“Ketipu
gimana?” Azof kebingungan.
“Dulu
waktu masih kuliah, Rasya tuh baik banget sama gue. Dia kasih perhatian lebih
sama gue. Gue pikir dia suka sama gue. Tapi ternyata, dia malah menghilang gitu
aja. Dan setelah lulus kuliah kita jadi lost contact. Dan sekarang udah 3
tahun, Zof. 3 tahun dia menghilang dari kehidupan gue. Dan dia balik lagi. Gue
pikir kalau pertemuan gue sama Rasya kemarin itu bakalan jadi awal yang baik.
Bahkan gue sempet berharap lebih sama dia. Ternyata dia cuma mau nunjukin kalau
dia sebentar lagi bakalan nikah. Sakit hati gue, Zof. Sakit banget.”
“Itu
sih salah lo sendiri. Itu namanya bukan ketipu. Tapi lo nya aja yang baperan.
Makannya kalau ada cowok kasih perhatian lebih sama lo itu jangan langsung
menyimpulkan kalau cowok itu suka sama lo. Siapa tahu dia emang baik dari
sananya. Setahu gue Rasya kan emang ramah sama semua orang.”
Ada benarnya juga yang dikatakan
oleh Azof. Mungkin Lian terlalu berharap lebih pada Rasya, sehingga Lian merasa
jika Rasya juga memiliki perasaan yang sama pada dirinya. Padahal belum tentu seperti
itu.
“Ah,
elo mah gitu sama gue?”
“Emang
kenyataannya kayak gitu kan? Lo itu jadi orang jangan selalu bawa perasaan.
Ujung-ujungnya kan kagak enak juga kalau ternyata nggak sesuai sama apa yang lo
harapin.”
“Dan
yang lebih parahnya lagi, Si Rasya nyuruh gue buat desain undangan pernikahan
mereka.”
“Dan
lo terima?”
Lian
menganggukan kepalanya dengan terpaksa. “Iya.”
“Bagus,
dapet uang tambahankan.”
“Tapi
gue terpaksa, Zof.”
“Kalau
terpaksa kenapa lo mau?”
Pertanyaan itu tidak bisa dijawab oleh
Lian. Lian hanya terdiam sambil bengong sendiri. Sungguh dirinya merasa sangat
bodoh sekali. Jika tidak ikhlas, kenapa dirinya mau saja disuruh oleh Rasya
untuk mendesain kartu undangan pernikahan Rasya dan Arsy.
“Udah,
lo kerjain aja kartu undangannya. Ya, hitung-hitung bantuin temen yang mau
nikah kan pahala.” ucap Azof. “Ikhlasin aja.” Azof menepuk-nepuk kaki Lian.
“Iyalah,
nanti gue kerjain desain kartu undangannya.”
“Nah,
gitu dong.”
“Lo
nggak ke rumah sakit?” tanya Lian pada Azof.
“Kebagian
shif siang gue. Bentar lagi juga ke rumah sakit.”
“Oh.”
Azof adalah seorang dokter umum di
salah satu rumah sakit ternama di Jakarta. Sudah sekitar 2 tahun lebih dia
bekerja di sana. Ya, dia mengikuti jejak ayahnya yang juga merupakan seorang
dokter. Dulu ibunya pun adalah seorang bidan. Namun sekarang ibunya sudah
meninggal satu tahun yang lalu karena serangan jantung. Azof hanya tinggal
berdua di bersama ayahnya. Sementara kakak-kakaknya sudah menikah dan tinggal
bersama suaminya di luar kota. Azof merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara.
Dia anak laki-laki satu-satunya. Pantas saja jika ayahnya sangat menyayangi
Azof. Namun, dengan begitu, Azof sering kali terlibat percekcokan bersama
ayahnya. Dulu dia tak ingin menjadi seorang dokter. Dia lebih tertarik menjadi
seorang arsitek. Dan ayahnya tidak setuju jika Azof menjadi seorang arsitek.
Karena menurut ayahnya, siapa lagi yang akan menggantikan ayahnya menjadi
seorang dokter jika beliau sudah pensiun.
Bersambung...
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan sopan dan baik
Komentar yang mengandung link aktif akan dihapus secara otomatis