Saat berada dalam mobil Rasya,
Lian masih penasaran juga. Mau dibawa ke mana dia. Apa mungkin Rasya ingin
memberikan kejutan yang sangat spesial buat dirinya.
“Duh, sebenarnya gue mau dibawa ke mana sih?”
Lian berbicara dalam hatinya.
“Kamu
kenapa? Bengong aja dari tadi?” tanya Rasya pada Lian.
“Nggak kok, aku nggak bengong.
Cuma lagi mikir aja.”
“Mikirin apaan?” Rasya melirik
Lian sesaat.
“Ah, lupain aja.” ucap Lian. “Oh
ya, masih lama nggak sih?”
“Sebentar lagi
nyampe kok.”
Tak lama kemudian mereka berhenti di sebuah tempat yang begitu indah. Di sana
terdapat danau yang begitu jernih airnya. Hamparan rumput yang tertata rapih
seperti karpet. Dan juga terdapat beberapa pepohonan yang tak kalah indahnya,
Hari sudah semakin sore, matahari mulai terbenam. Lian menyaksikan bagaimana
matahari itu tenggelam. Seperti bersembunyi dan masuk ke dalam danau itu.
“Tempatnya bagus banget, Rasya.”
Lian tak henti-hentinya memuji keindahan ciptaan-Nya.
“Kamu suka?” tanya Rasya?
“Aku suka banget. Kenapa kamu
ngajak aku ke tempat ini?” Lian memalingkan wajahnya ke arah Rasya.
“Aku mau kenalin kamu sama
seseorang.”
“Siapa?” Lian semakin penasaran.
“Itu dia, orangnya sudah datang”
Rasya menunjuk ke arah selatan.
“Siapa dia?” Lian bertanya-tanya
dalam hatinya.
Lian melihat seorang wanita cantik berambut panjang datang menghampirinya.
Wanita itu tersenyum, sungguh manis senyumannnya. Dia terus mendekati Rasya dan
Lian. Dan wanita itupun mulai menyapa mereka berdua.
“Hai…” sapa wanita itu.
“Hai…” Lian pun ikut menyapa.
“Oh iya, Lian. Kenalin ini Arsy.
Dia tunangan aku.”
“Hallo.” Arsy menjabat tangan
Lian.
“Apa?” seketika itu wajah Lian
sedikit memucat, apa maksudnya? Apa maksud semua ini?
Ternyata Rasya sudah memiliki tunangan. Lalu kenapa dia mengajak Lian ke tempat
ini? Lian tidak menyangka jika pada akhirnya akan seperti ini. Lian pikir
pertemuannya bersama Rasya akan menjadi sebuah awal yang baik.
“Kamu udah tunangan?” Lian hampir
saja meneteskan air matanya. Namun dia berusaha untuk menahannya.
“Iya, dan sebentar lagi kita
akan menikah. Aku bawa kamu ke sini karena aku ingin tahu bagaimana pendapat
kamu mengenai tempat ini. Karena rencananya kita akan menikah di sini, sekalian
juga aku kenalin kamu sama calon istri aku.” Rasya menjelaskan sambil merangkul
pundak Arsy.
“Iya, Lian. Rasya udah banyak
cerita tentang kamu selama ini. Kalian dulu itu satu kampuskan? Dan Rasya
bilang kalau kamu itu jago banget desain. Kita pengen kalau undangan pernikahan
kita itu kamu yang desain. Gimana?” kata Arsy pada Lian sambil tersenyum.
“Oh, itu. Tapi…”
“Udahlah Lian, sekali-kali
bantuin kita. Aku pasti bayar kok. Tenang aja.” Rasya menepuk-nepuk pundak
Lian.”Kita kan friend.”
“Ok.” Lian tersenyum terpaksa.
“Selamat ya, Rasya.” Lian memberi ucapan selamat itu pada Rasya. Walaupun jauh
di lubuk hatinya, Lian benar-benar tidak ikhlas dengan semua ini.
“Makasih ya, Lian” ucap Rasya.
“Kalau gitu aku pulang dulu ya.”
Lian berpamitan pada mereka berdua.
“Kok, buru-buru sih. Kita kan
mau makan malam di sini. Liat tuh, kita udah siapin semuanya.” Arsy menunjuk
pada meja makanan yang dihiasi oleh lilin.
“Iya, lagian pas waktu di Cafe
kita kan belum makan. Kan aku udah bilang kalau di sini itu enaknya
malem-malem. Lebih seru.” Rasya membujuk Lian agar dia tidak cepat pulang.
“Sorry, bukannya aku nggak mau.
Cuma aku udah ada janji sama orang.” Lian berbohong pada Rasya.
“Yah, sayang banget dong.
Padahal kita udah siapin semuanya lho.” terlihat sedikit kekecewaan di wajah
Rasya.
“Sorry ya, mungkin next time.”
“Ya, udah deh. Nggak apa-pa. Mau
dianterin pulang nggak?” Rasya menawarkan untuk mengantar Lian pulang.
“Oh, nggak usah makasih, lagian
kalian mau makan malam kan. Ntar malah ngerepotin lagi.” Lian bener-benar ingin
segera pergi dari tempat ini.
“Terus kamu mau pulang sama
siapa?” tanya Arsy.
“Tenang aja, masih banyak
kendaraan umum yang lewat kok. Aku pamit ya.” Lian mulai melangkahkan kakinya.
“Hati-hati ya, Lian.” ucap
Rasya.
“Iya.” akhirnya Lian pun
meninggalkan tempat itu.
Tanpa terasa air mata Lian mulai terjatuh membasihi pipinya. Lian tidak
menyangka jika Rasya akan segerah menikah dengan wanita lain. Tulang-tulangnya
serasa diremukan, hatinya benar-benar sakit. Dia merasakan kekecewaan yang
begitu dalam.
“Lo nggak boleh nangis, Lian.
Inget, Rasya itu bukan siapa-siapa lo. Dia itu cuma temen sekampus lo doang.
Nggak lebih, dia bukan pacar lo. Kenapa lo harus nangis? Harusnya lo itu
seneng, karena sebentar lagi temen lo mau nikah.” Lian berbicara sendiri sambil
terisak menangis. “Tapi gue nggak rela kalau Rasya mau nikah. Apa yang harus
gue lakuin? Dan kenapa gue mau disuruh buat ngedesain undangan mereka? Kenapa,
Lian?” Lian terus-terusan menangis sambil berjalan kaki seorang diri.
“Lo gila ya, ngomong sendiri sambil nangis?
Terus jalan sendirian. Mana hari udah gelap lagi. Bisa disangka anak setan lo
nagis malam-malam begini.” tiba-tiba sebuah suara mengagetkan Lian, dan Lian
pun seketika itu langsung berhenti menangis
“Siapa tuh yang ngomong?” Lian
mencari asal suara tersebut.
“Gue yang ngomong.”
Bersambung
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan sopan dan baik
Komentar yang mengandung link aktif akan dihapus secara otomatis