Saat
berada di dalam kantor tiba-tiba Dita datang ke ruangan sapta. Dia langsung
marah-marah. Rupanya Dita masih tidak terima dengan kejadian semalam. Apalagi
Sapta lebih memilih untuk pergi bersama Lian ketimbang dirinya.
“Sapta,
aku nggak terima ya. Pokoknya aku nggak terima.” Dita marah-marah
“Nggak
terima apa sih?:
“Soal
kejadian semalam.”
“Oh,
soal itu.”
“Iya,
kenapa kamu ninggalin aku Sapta?”
“Lo
itu udah keterlaluan sama Lian. Kata-kata lo juga kasar banget. Gue nggak suka
kalau ada cewek yang ngomongnya kasar.”
“Dia
itu emang perempuan murahan.”
“Dita
cukup!!!.” Sapta membentak Dita.
“Oh,
kamu mulai berani ya sama aku? Kamu mau aku pecat?” Dita mengancam Sapta.
“Dipecat?
Silahkan. Karena sebelum lo pecat gue, gue yang akan mengundurkan diri. Besok
gue akan kirim surat pengunduran diri gue.”
“Sapta
aku cuma bercanda.”
“Buat
gue itu serius.”Sapta membereskan barang-barangnya.
“Sapta
aku bercanda doang. Tolong Sapta, kamu jangan resign dari kantor ini.’
“Udah
terlanjur, mulai hari ini gue udah nggak kerja lagi di kantor ini. Permisi.”
Sapta langsung pergi meninggalkan kantor majalah itu.
“Sapta
tunggu, Sapta, Sapta.” Dita memanggil-manggil Sapta. Namun nyatanya Sapta tidak
menghiraukannya.
“Sial!!!.”
Dita menendang tong sampah yang berada didekatnya
Keesokan harinya Sapta benar-benar
mengirimkan surat resignnya. Mulai hari ini Sapta sudah tidak bekerja lagi di
kantor majalah Dita. Memang sangat disayangkan sekali keputusan Sapta yang
sangat mendadak ini, mengingat Sapta sudah memiliki jabatan di kantor majalah
itu. Apalagi Sapta juga sudah bekerja selama 5 tahun lebih di kantor majalah
itu. Sapta memang sudah muak dengan sikap Dita yang menurutnya tidak tahu sopan
santun dan suka mengumpat. Sapta berusaha bersabar menghadapi sikap Dita. Namun
kali ini Sapta benar-benar sudah habis kesabaran untuk menghadapi sikap Dita.
Satu minggu sudah Sapta resign dari
kantor majalah Dita. Dita benar-benar menyesal dengan ucapannya. Andai saja
waktu itu Dita tidak berbicara seperti itu, mungkin saja sapta masih bekerja di
kantor majalahnya. Kini Dita hanya bisa memandangi ruangan Sapta yang kini
sudah kosong. Dan belum ada orang yang menggantikan posisi Sapta
***
“Lian,
tolong kamu segera ke ruangan saya secepatnya.” Pak Surya menelpon Lian melalui
telepon kantor
“Baik,
Pak.” Lian segera pergi menuju ruangan Pak Surya.
Saat
tiba di depan ruangan Pak Surya Lian langsung mengetuk pintunya “Permisi.”
“Masuk.”
“Ada
apa ya bapak panggil saya?” Lian begitu penasaran, karena tiba-tiba saja Pak
Surya memanggil Lian ke ruangannya. Apa Lian melakukan kesalahan yang membuat
dirinya dipanggil langsung oleh pemilik perusahaan.
“Duduk
dulu Lian.”
“Iya.”
Lian duduk saling berhadapan dengan Pak Surya. Lian begitu deg-degan, karena
dia takut akan dipecat.
“Begini,
Lian. Saya mau kamu tidak bekerja lagi sebagai sekretaris Manager.”
“Bapak
pecat saya?” spontan wajah Lian langsung berubah.
“Oh,
tidak. Saya tidak pecat kamu Lian. Saya mau mulai hari ini kamu menjadi asisten
pribadi seorang Direktur Utama.”
“Saya
jadi asisten bapak gitu?”
“Bukan,
tapi asisten anak saya. Dia yang akan menggantikan posisi saya. Karena dalam
hitungan jam saja saya sudah tidak menjabat sebagai Dirut lagi. Semuanya sudah
saya serahkan pada anak saya. Dan dia mau kalau kamu menjadi asisten
pribadinya. Ini permintaan langsung dari anak saya. Nanti siang dia akan datang
ke kantor ini.”
“Kenapa
semuanya serba dadaka Pak?”
“Ini
tidak dadakan. Hanya saja kamu baru tahu hari ini. Begitu Lian.”
“Oh,
begitu.”
“Bagaimana,
kamu siap menjadi asisten pribadi anak saya?”
“Saya
siap, Pak?”
“Bagus,
kalau begitu kamu boleh minggalkan ruangan ini.”
“Baik
Pak, terima kasih.” Lian meninggalkan ruangan Pak Surya.
“Sama-sama.”
Lian sudah selesai makan siang, dia
harus segera kembali bekerja. Tapi Lian disuruh menunggu di ruangan Direktur
Utama oleh Pak Surya. Karena sebentar lagi anak pemilik perusahaan akan datang.
Sementara Pak surya sudah pulang terlebih dahulu.
“Ini
gila. Masa gue disuruh kenalan langsung sama Dirut yang baru tanpa perantara
siapapun.” ucap Lian dalam hatinya.
“Liana
Maharani.” tiba-tiba sebuah suara mengagetkan Lian. Dan Lian yakin jika suara
itu adalah suara Dirut yang baru.
Lian
langsung bangkit dari tempat duduknya. “Iya, Pak Saya.”
“Balik
badan.”
“Iya,
Pak.” Lian berbalik badan, dan dia kaget ketika melihat sosok laki-laki yang
sangat ia kenal. “Sapta, lo ngapain di sini?”
“Gue
kerja di sini. Soalnya gue udah resign dari tempat kerja yang kemaren.”
“Kenapa
Resign?”
“Nggak
usah kepo deh.”
“Terus
ngapain lo di sini?”
“Gue?
Gue gantiin posisi bokap gue.”
“Jadi
lo anaknya Pak Surya?”
“Iya.”
Sapta menganggukan kepalanya.
“Pantesan
aja waktu itu lo bilang kalau lo tahu soal PT. Suryatex. Iya, iyalah inikan
perusahaan bokap lo.”
“Haha…”
Sapta hanya tertawa.
“Terus
kenapa lo kerja di tempatnya Dita. Kalau ternyata orang tua lo kaya raya.”
“Gue
kerja di sana cuma buat bantuin perusahaan punya Om Ali. Soalnya dia itu teman
baik orang tua gue. Dan gue juga pengen mandiri juga. Gue pengen ngerasain
kerja di tempat orang itu kayak gimana. Dan inilah saatnya gue menggantikan
posisi bokap gue. Kasian papa, udah saatnya dia itu pensium. Duduk manis di
rumah. Biar gue aja yang kerja.”
“Anak
berbakti.” Lian salut pada Sapta.
“Ok,
Lian. Sekarang lo pijitin pundak gue. Pegel banget nih nyetir mobil terus dari
kemaren.” Sapta langsung menyuruh Lian untuk memijit pundaknya sebagai tugas
pertama sebagai seorang asisten pribadi Direktur Utama.
“Lo
pikir gue tukang pijit apa?” Lian menolak permintaan Sapta.
“Ingat,
Lian. Ini kantor. Jadi lo harus sopan sama gue. Panggil gue Bapak. Nggak ada
istilahnya lo gue. Apalagi sekarang gue adalah atasan lo.” Sapta mulai memberi
peraturan bahwa jika di dalam kantor Lian harus memanggilnya Pak Sapta.
“Iya,
deh.”
“Bagus.
Sekarang pijitin gue.” Sapta duduk di kursi.
Perlahan-lahan Lian mulai memijit
pundak Sapta. Sebenarnya Lian tidak mau melakukan ini, tapi mau bagaimana lagi,
sekarang dia adalah asisten pribadinya Sapta. Rupanya Sapta mulai keenakan
dipijat oleh Lian.
”Lo
mahir juga ya pijitnya. Enak.”
“Katanya
nggak boleh pake lo gue. Tadi ngomongnya pake lo gue jugakan?’ Lian protes.
”Gue
kan bos di sini. Jadi terserah gue. Kalau lo harus sopan sama gue.”
“Iya.”
Lian ingin sekali menjitak kepala Sapta.
“Agak
ke atas Lian, leher gue juga dipijit. Nah itu baru enak banget.”
“Kalau
bukan bos gue udah gue jedotin deh kepalanya ke tembok.” Lian ngomel dalam
hatinya.
“Lian.”
Sapta memanggil Lian.
“Apa?”
“Lo
udah punya pacar nggak sih?”
“Kenapa
bapak tanya-tanya masalah pribadi saya?” Lian masih memijit leher Sapta.
“Gue
kan cuma nanya doang. Nggak boleh?”
“Boleh,
Pak.”
“Punya
pacar nggak?” Sapta bertanya sekali lagi.
“Nggak,
Pak?”
“Serius?”
Sapta tidak percaya.
“Serius,
Pak.”
“Oh.”
hanya kata itu yang keluar dari mulut Sapta.
Sapta mulai merasa enak dipijat oleh
Lian, sesekali matanya terpejam karena menikmati sentuhan dari tangan Lain.
“Mulai
besok lo harus bikinin gue sarapan. Setiap pagi titik nggak pake nawar.”
“Sarapan
pagi? Setiap hari?”
“Yaps,
setiap hari.”
“Tapikan…”
“Kenapa?
Lo bisa masakkan?”
“Ya,
bisa tapi…”
“Nggak
ada tapi-tapian. Kan gue udah bilang nggak pake nawar.”
“Tapi,
Pak.”
“Nggak
bisa nawar.”
“Ini
bos ngejengkelin banget sih.” lagi-lagi Lian ngomel dalam hatinya.
***
Keesokan harinya Lian benar-benar membuatkan
sarapan untuk Sapta. Lian membawa roti sandwitch dan susu. Lian datang lebih
awal karena dia tidak mau kena omel oleh Sapta. Lian menaruh Sarapan yang sudah
dibuatnya di meja Sapta. Tak lama kemudian Sapta datang.
“Hei,
Lian kamu sudah datang.”
“Sudah,
Pak.”
“Itu
sarapan buat saya?”
“Iya.”
Sapta duduk di kursinya, dia
mengamati makanan yang dibawa oleh Lian. Sangat kebetulan sekali Lian
membawakan susu untuknya. Sapta memang sangat menyukai susu.
“Ini
semua lo yang bikin? Soalnya gue nggak mau makan kalau ini bukan buatan lo.”
ucap Sapta pada Lian.
“Itu
saya yang bikin, Pak.”
“Awas
ya kalau lo bohong.”
“Nggak,
Pak.”
Sapta mulai membuka misting yang
berisi sandwitch. Ia mengambil dengan tangannya dan langsung menyantapnya.
Perlahan-lahan Sapta mulai mengunyah roti sandwitch itu.
“Rasanya
lumayan.”
“Bilang
aja enak, Pak.”
“Ok,
enak.”
Sapta melahap semua sarapannya
hingga tak ada yang tersisa. Sapta begitu menikmati makannan yang dibuat oleh
Lian. Dia tidak menyangka jika Lian bisa membuat roti sandwitch seenak ini.
Dengan perut yang terisi, Sapta jadi lebih berkonsentrasi untuk bekerja.
Lian duduk di sofa yang berada di
ruangan Sapta. Lian mencatat apa saja yang akan dia kerjakan hari ini di note
kecil. Lian mengenakan kemeja putih berenda dan memadupadankan dengan rok mini
berwarna merah menyala. Roknya sekitar 7 cm di atas lutut. Sangat kontras
sekali dengan paha Lian yang mulus. Lian memang memiliki warna kulit yang tidak
terlalu putih. Kulitnya sama seperti kebanyakan warga Negara Indonesia lainnya.
Sedikit coklat. Namun kulit tubuhnya sangat terawat. Perawakan Lian tidak
terlalu tinggi, hanya 160 cm. Lian memiliki tubuh agak berisi, sehingga
tubuhnya terlihat sedikit montok bila dibandingkan dengan karyawan yang
lainnya.apalagi ditambah dengan bokong dan dada yang agak lumayan besar.
Terkadang membuat karyawan laki-laki betah berlama-lama menatap Lian.
Sapta yang sedari tadi memperhatikan
Lian dari ujung kaki sampai ujung rumbut tidak dapat berkonsentrasi sama
sekali. Apalagi ketika Sapta melihat kaki, paha dan tangan Lian yang dipenuhi
oleh bulu-bulu halus. Konsentrasinya benar-benar buyar.
“Lian.”
Sapta menghampiri Lian.
“Iya,
Pak?” Lian langsung berdiri
Sapta semakin mendekat pada Lian,
bahkan jaraknya kini hanya 5 cm saja dari tubuh Lian. Lian merasa aneh kenapa
Sapta bisa sampai sedekat ini. Sapta terus mendekatkan wajahnya ke arah Lian.
Dan dia membisikan sesuatu.
“Rok
kamu kependekan, aku jadi nggak bisa konsentrasi kerja gara-gara melihat
bulu-bulu halus di kaki kamu. Besok kamu bisa ganti dengan celana panjang.”
“Iya,
Pak.” Lian merasa sangat malu sekali ketika Sapta berkata seperti itu.
Hari demi hari Lian dan Sapta
semakin dekat saja. Mereka sering menghabiskan waktu bersama. Mereka sering
bercanda satu sama lain. Ketawa bersama, terkadang mereka terlibat percekcokan
yang membuat mereka berantem dan musuhan. Namun mereka akur dengan sendirinya
Sudah
sejak lama Sapta memang menaruh hati pada Lian. Namun dia belum berani
mengungkapkannya. Sapta takut jika Lian akan menolaknya. Sapta tahu jika Lian
menyukai laki-laki lain. Rasya namanya. Lian begitu mencintai Rasya. Walaupun
dia tahu jika Rasya sudah memiliki calon istri.
“Lian,
masih aja lo mikirin cowok itu?” Sapta bersandar di kursi yang diduduki oleh
Lian. Mereka berdua baru saja pulang bekerja, dan mereka sering menghabiskan
waktu bersama di Cafe Fortune.
“Gue
juga nggak tahu.”
“Sekeras
apapun lo berjuang buat dia, kalau di hatinya ada orang lain, percuma.”
Lian hanya terdiam tanpa menjawab
sepatah katapun.
“Sekarang
mana cowok yang lo suka itu? Apa dia peduli sama lo? Enggakkan?”
“Sapta
cukup. Ini urusan hati gue. Lo nggak usah ikut campur.”
“Gue
cuma kasian sama lo. Lo berharap sesuatu, sementara lo sendiri nggak pernah
berusaha untuk mendapatkan hal itu. Untuk mendapatkan cinta lo, kebahagian lo.
Lupain Rasya.”
“Apa?
Gue nggak bisa lupain dia.”
“Lo
pasti bisa.”
“Nggak
bisa.”
“Apa
dia begitu berharga buat lo? Apa lo nggak bisa buka hati lo buat orang lain?”
“Buat
siapa?”
“Buat
gue.” Sapta mengucapkannya dengan sangat jelas.
“Maksud
lo?” Lian tidak mengerti.
“Lo
pikir selama ini gue baik sama lo itu kenapa, karena gue suka sama lo.”
“Baik
dari mananya? Lo itu nyebelin, suka bikin gue kesel.”
“Karena
itu gue nyari cara supaya gue bisa deket-deket sama lo. Bahkan gue minta sama
bokap gue agar lo bisa jadi asisten pribadi gue. Itu semua gue lakuin biar gue
bisa sama-sama terus sama lo.” akhirnya setelah sekian lama meunggu, Sapta
mengungkapkan semua isi hatinya pada Lian.
“Lo,
serius?” Lian Nampak tak percaya.
“Gue
serius.”
“Gue
nggak suka sama lo.”
“Gue
nggak peduli.”
“Sekeras
apapun lo berjuang buat gue, kalau di hati gue ada orang lain, percuma.” Lian
mengutip kalimat Sapta yang tadi Sapta ucapkan pada Lian.
“Eh,
itu kata-kata gue.”
“Lo
mau apa kalau gue nggak suka sama lo?”
“Gue
mau dapetin hati lo.” Sapta mulai menggombali Lian.
“Idih,
ngarep lo.”
“Mulai
sekarang lo jadi pacar gue.”
“Kapan
gue terima lo jadi pacar gue?”
“Sekarang.”
“Lo,
gila ya?” Lian memegang dahi Sapta.
“Iya,
gila karena lo.”
“Ilfil
gue sama lo.”
“Gue
suka deh kalau liat lo marah-marah kayak gitu. Keliatan lebih cantik.” Sapta
terus menggombali Lian.
“Gue
benci sama lo, Sapta.”
“Tapi
gue cinta sama lo. Gimana dong?”
“Terserah
lo, gue mau pulang.” Lian meninggalkan Sapta.
“Mau
gue antar pulang nggak?” sapta berteriak pada Lian.
“Enggak,
makasih.”
Sapta hanya tertawa melihat tingkah
Lian. Meskipun Sapta mendapat penolakan dari Lian, namun Sapta lega karena dia
sudah mengungkapkan sisi hatinya pada Lian dan dia menganggap jika Lian sudah
resmi menjadi pacarnya.
“Lo
nggak bisa kabur dari gue Lian.” Sapta begitu percaya diri.
Bersambung…