Lian sedang membereskan ruangan Sapta. Dia merapihkan
beberap file-file penting lalu menyusunya satu persatu-satu ke dalam lemari
arsip.
“Rajin banget.” tiba-tiba Sapta berada tepat di belakang
Lian.
“Saya selalu membereskan ruangan bapak, jadi bukan kali
ini saja saya rajin.”
“Oh, gitu.” Sapta duduk di kursinya. Lalu dia menatap
Lian tanpa berkedip sama sekali. Sesekali Sapta tersenyum kecil karena melihat
Lian.
“Maaf, ada yang salah dengan penampilan saya?” Lian
melirik bajunya sendiri.
“Nggak ada yang salah kok. Cuma warna lipstick kamu
diganti ya? Agak merah gimana gitu warnanya.” Sapta sangat memperhatikan hal
sekecil apapun yang dipakai oleh Lian.
“Bapak nggak ada kerjaan ya sampai-sampai memperhatikan
warna lipstick saya?” Lian mulai kesal pada Sapta.
Sapta bangkit dari tempat duduknya dan dia menghampiri
Lian. “Kamu jangan galak-galak gitu sama aku, soalnya aku nggak mau galakin
kamu balik. Aku kan sayang sama kamu.” kata-kata itu terdengar jelas oleh
telinga Lian.
“Sejak kapan dia bilang aku kamu? Biasanya juga lo gue.”
Lian berbicara dalam hatinya. Dan dia heran dengan sikap Sapta yang mendadak
jadi manis seperti ini.
“Kok diem aja sih sayang?” Sapta mulai bersikap mesra
pada Lian.
“Bapak panggil siapa?”
“Kamu. Kamu kan sekarang pacar aku.”
“Sejak kapan kita pacaran?”
“Semalam.” Sapta semakin mendekatkan wajahnya pada Lian,
bahkan sekarang Sapta sudah memegang pinggang Lian dengan kedua tangannya.
“Gue nggak pernah terima lo.”
“Shut, jangan berisik. Ini kantor. Inget aku atasan kamu,
jadi kamu harus melakukan apapun yang aku mau. Termasuk jadi pacar aku.”
“Lo sinting ya.”
“Nggak kok.” Sapta membelai pipi Lian. Sapta hampir saja
mencubit pipi Lian yang agak chubby, namun Lian keburu menghindar karena
handphonenya berbunyi.
Ternyata Lian mendapat pesan singkat dari Rasya yang
mengingatkan bahwa Lian harus datang ke acara pernikahannya besok malam. Lian
hanya mematung setelah membaca pesan singkat itu. Matanya mulai berkaca-kaca.
Sapta yang melihat Lian seperti itu merasa khawatir.
“Kenapa Lian?”
Lian tidak menjawab pertanyaan Sapta, Lian hanya
memandangi layar handphonenya terus-menerus. Lian ingin sekali berteriak kalau
dialah satu-satunya orang yang tidak setuju dengan pernikah Rasya dan Azka.
Sapta merebut handphone yang sedang dipegang oleh Lian, lalu dia membaca pesan
singkat itu.
“Udah kamu jangan nangis.” Sapta memegang bahu Lian.
“Masih ada aku.” Sapta mulai menghapus air mata Lian.
Sapta
menarik tubuh Lian ke dalam pelukannya, Sapta mengelus kepala Lian dengan
lembut. Sapta dapat merasakan apa yang kini dirasakan oleh Lian. Pasti hatinya
benar-benar hancur.
“Kamu mau datang ke acara pernikahan mereka?”
“Nggak mau.” Lian masih berada dalam pelukan Sapta.
“Kamu harus datang Lian, kamu nggak boleh lemah kayak
gini. Kamu datang sama aku ya.” Sapta membujuk Lian agar dia hadir di resepsi
pernikahan Rasya.
“Nggak.” Lian mulai terisak menangis.
“Pokoknya kamu harus datang, aku yang akan temenin kamu
di sana. Biar kamu nggak sendiri. Mau ya?”
“Iya.” Lian menganggukan kepalanya.
“Nanti pulang kerja aku antar pulang ya.”
“Iya.”
***
Malam
yang tak ingin ditemui oleh Lian pun akhirnya datang juga. Sapta datang ke
rumah Lian untuk menjemputnya. Lian sudah bersiap-siap sedari tadi. Lian
menngenakan gaun merah marun selutut. Rambutnya ditata sedemikian rupa. Lian
terlihat sangat cantik malam itu. Wangi tubuh Lian tercium oleh hidung Sapta.
Aromanya seperti bau sabun. Begitu fres.
“Udah siap?” tanya Sapta pada Lian.
“Udah.”
“Ok, kita berangkat sekarang.”
Sapta
dan Lian langsung pergi menuju gedung tempat resepsi Rasya dan Azka. Sebenarnya
Lian malas datang ke acara pernikahan mereka, karena Lian takut kalau dia akan
menangis. Tapi untunglah ada Sapta yang menemaninya. Jadi jika terjadi sesuatu
pada Lian, Sapta siap membantu Lian dengan tulus.
Lian dan
Sapta sudah sampai di depan gedung pernikahan Rasya dan Azka. Lian menarik
nafasnya dalam-dalam sebelum masuk ke dalam.
“Kamu harus tenang ya. Jangan baper.” Sapta memegang
tangan Lian.
“Enggak kok.”
“Ok, kita masuk sekarang.
Perasaan
Lian campur aduk, tak karuan sama sekali. Lian berusaha untuk bisa menerima
kenyataan bahwa Rasya memang bukan untuknya. Lian yakin jika ini sudah menjadi
takdir Tuhan. Lian hanya bisa pasrah dan berusaha ikhlas menerima semuanya.
Sapta
mulai memegang pinggang Lian dari belakang. Mereka berjalan menuju kursi
pelaminan. Rasya dan Azka tersenyum bahagia di sana. Terlihat sekali raut
kebahagian di wajah mereka.
“Akhirnya kamu datang
juga Lian. Azof mana?” Rasya menyadari jika Azof tak bersama Lian.
“Azof lagi tugas di Papua. Dia belum pulang. Harusnya sih
dia pulang bulan ini. Tapi karena ada Kendala gitu dia nggak jadi pulang. Aku
juga nggak tahu sih dia pulangnya kapan.” jawab Lian dengan santai.
“Oh gitu, jauh
juga ya di Papua..”
“Selamat ya.” Lian memberikan ucapan selamat pada
pengantin baru.
“Iya, Lian makasih ya.” Azka tersenyum.
“Ini siapa?” Azka bertanya pada Lian.
“Pacar.” Lian mengakui Sapta sebagai pacarnya.
“Oh, pacarnya. Cepet nyusul ya kalian.” Azka mendoakan
Sapta dan Lian.
“Amin.” ucap Sapta dan Lian bersamaan.
Sapta
dan Lian menikmati makanan yang dihidangkan, sesekali mereka tertawa bersama.
Nampaknya Lian sudah tidak memperdulikan Rasya lagi. Kini Rasya sudah bahagia
bersama keluarga barunya. Lian harus bisa move on. Lagipula sekarang sudah ada
Sapta. Pria yang mencintainya. Untuk apalagi Lian memikirkan Rasya yang sudah
jelas-jelas milik orang lain.
Jam
sudah menunjukakn pukul 22.00 malam. Sapta harus segera mengantar Lian pulang
ke rumahnya. Lian turun dari dalam mobil, begitupun dengan Sapta.
“Lian, tunggu.” Sapta menghentikan langkah Lian.
“Ada apa?” Lian menoleh pada Sapta.
“Soal tadi yang kamu bilang kalau aku itu pacar kamu…”
“Oh, itu. Itu emang mau kamu kan? Kamu kan bos aku, jadi
aku harus mau melakukan apapun yang diperintahkan oleh bosnya.” Lian memotong
ucapan Sapta.
“Kamu serius, Lian?” Sapta masih tak percaya.
“iya, aku serius.”
“Jadi sekaramg kita jadian nih?”
“Bukannya dari kemaren ya kita udah pacaran. Kan kamu
yang bilang sendiri.” Lian tersenyum.
“Yes!!!.” Sapta kegirangan.
“Makasih ya.” kata Lian pada Sapta.
“Buat apa?” Sapta kebingungan
“Buat semuanya.”
“Semuanya?” Sapta semakin kebingungan.
“Karena selama ini kamu udah selalu ada buat aku. Kamu
melebihi dari seorang sahabat. Kamu itu sering bikin aku kesel, bikin aku
jengkel, bikin aku marah dan…” Lian tidak melanjutkan ucapannya.
“Dan apa?”
“Dan bikin aku kangen.”
“Kamu kangen sama aku?”
“Emhh… Mungkin iya mungkin enggak.” Lian sedikt berpikir.
“Ih, kamu nyebelin.” Sapta menggelitik pinggang Lian.
“Sapta, geli.”
“Cinta itu lucu ya.”
“Kok lucu sih.”
“Ya, lucu aja. Semakin sering kita ketemu malah semakin
kangen.”
“Kangen nggak sama aku?” Lian mendekati Sapta.
“Aku selalu kangen sama kamu.” Giliran Sapta yang semakin
mendekatkan tubuhnya ke arah Lian.
“Masa?”
“Iya, serius.” Sapta mulai memeluk tubuh Lian. “Kamu
nggak mau ngucapin apa gitu sama aku.”
“Emangnya aku harus ngucapin apa?”
“Aku ulang tahun hari ini.”
“Serius?” Lian melepaskan tubuhnya dari dekapan Sapta.
“Iya. Aku beneran ulang tahun hari ini. Tepat tanggal 24
September.”
“Yang ke berapa tahun?”
“25 tahun.”
“Dih, udah tua.” Lian malah meledek Sapta.
“Itu bukaan tua, tapi matang.”
“Kalau udah matang sebentar lagi busuk dong.”
“Lian!!!.” Sapta mencubit pipi Lian dengan gemas.
“Aw, sakit.” Lian memegang pipinya. “Aku belum siapin
kado buat kamu. Soalnya aku nggak tahu kalau hari ini kamu ulang tahun.”
“Nggak apa-apa kok, kamu hadiah buat aku.” Sapta kembali
memeluk tubuh Lian. “Selama bulan September kita selalu sama-sama. Kita kerja
bareng, makan siang bareng, menghabiskan waktu bareng. Dan aku senang bisa
melakukan semuanya sama kamu.”
“Asal jangan bobo bareng ya?”
“Jangan dong, kitakan belum nikah. Nanti tunggu waktu
yang tepat, Lian.”
“Kapan?”
“Besok mau aku langsung ajak ke penghulu?”
“Nggak kecepetan itu.”
“Kan lebih baik begitu.”
Lian
hanya tertawa kecil dipelukan Sapta. Sapta menatap wajah Lian lumayan lama. Dia
mengelus pipi Lian, mengusap wajahnya dan membelai hidung Lian. Sapta
benar-benar mencintai gadis yang ada dihadapanya. Sapta tidak menyangka jika
Lian kini sudah menjadi miliknya. Sapta semakin mendekatkan wajahnya ke wajah
Lian. Degup Jantung Lian berdetak tak beraturan. Semakin Sapta mendekatkan
wajahnya, jantung Lian semakin berdetak dengan kencang. Dan entah bagaimana
kejadiannya, kini bibir Sapta sudah menempel pada Bibir Lian. Sapta mengecupnya
dengan sangat hati-hati. Cukup lama sapta mencium bibir Lian dan itu membuat
lutut Lian menjadi lemas. Untung saja Sapta sambil memegang tubuh Lian. Jiak
tidak, mungkin saja Lian sudah terjatuh lemas. Dan Sapta adalah laki-laki
pertama yang berhasil mencium bibir Lian. Sekaligus pacar pertama Lian.
Lian
memang bukan yang pertama bagi Sapta. Tapi kali ini Sapta ingin menjadikan Lian
sebagai wanita terakhirnya. Sapta berharap jika hubungannya dengan Lian bisa
sampai ke jenjang pernikahan. Sapta sangat mendambakan sekali jika kelak nanti
Lian akan menjadi ibu dari anak-anaknya.
Selesai
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan sopan dan baik
Komentar yang mengandung link aktif akan dihapus secara otomatis