Keesokan
harinya Lian mengantarkan Azof ke bandara, Lian membawakan koper Azof yang
ukurannya tidak terlalu besar. Tak lupa ayah Azof pun ikut mengantarkan Azof ke
bandara. Sesekali ayah dan anak itu tertawa lepas. Lian yang melihat keakraban
mereka hanya bisa tersenyum. Karena jarang sekali mereka terlihat akur seperti
ini. Sungguh pemandangan yang sangat langka.
"Kamu
di sana hati-hati." ucap Papa Azof.
"Iya,
pah. Doain aku ya di sana."
"Papah
selalu mendoakan yang terbaik buat kamu, Azof."
"Makasih,
Pah." Azof memeluk tubuh renta ayahnya.
"Jaga
diri kamu baik-baik ya nak." Ayah Azof mengusapa-ngusap punggung anaknya.
"Papa
juga hati-hati di sini. Jaga kondisi kesehatan Papa. Jangan sampe sakit."
Azof melepaskan pelukannya.
"Zof."
Lian mendekati tubuh Azof.
"Lian."
Mereka berdua saling berpelukan.
"Gue
pasti kangen banget sama Lo. Sering-sering hubungi gue ya." Lian mulai
berkaca-kaca.
"Iya,
pasti gue bakalan sering menghubungi lo. Sekarangkan zaman udah canggih."
Azof melepaskan pelukannya dari Lian. "Kita bisa pake Line, WhatsApp, BBM,
dan lain-lain deh. Jadi lo tenang aja."
"Gue
sedih tahu. Kita nggak bisa maen bareng lagi."
"Udah,
lo nggak usah nangis." Azof menghapus air mata Lian yang sudah tumpah
membasahi pipinya. "Nanti gue balik lagi kok."
"Janji
ya." Lian mengacungkan jari kelingkingnya.
"Iya
gue janji." Azof menyatukan jari kelingkingnya dengan jari kelingking
Lian.
"Ya,
sudah. Cepat kamu berangkat. Kalau di sini kelamaan, nanti Lian malah nangis
terus lagi." ucap Papa Azof.
"Ya,
udah kalau gitu aku pergi ya." Azof hendak membawa kopernya yang dipegang
oleh Lian. Namun Lian enggan melepaskan koper itu. "Lian."
"Azof..."
nampaknya Lian masih belum merelakan kepergian sahabatnya itu.
"Nggak
usah cengeng. Cuma ditinggal ke Papua doang, bukan ke dubay." Azof
berhasil menarik kopernya dari tangan Lian.
"Kita
doakan saja Lian semoga Azof selamat sampai tujuan."Papa Azof merangkul
pundak Lian.
"Amin."
kata Azof.
"Assalamualaikum."
Akhirnya Azof pun pergi meninggalkan kota Jakarta, kota kelahirannya.
"Waalaikumsalam."
Lian hanya bisa melihat punggung Azof yang semakin lama semakin menjauh dari
pandangannya. Hingga akhirnya Lian benar-benar tak melihat sosok Azof lagi di
depan matanya.
"Udah,
Lian kamu jangan nangis. Cuma sementara kok." Papa Azof berusaha
menenangkan Lian.
"Aku
sedih om." Lian menyenderkan kepalanya di bahu Papa Azof.
"Om
lebih sedih, Lian. Azof itu kan anak om. Tapi mau bagaimana lagi. Azof itu
pergi untuk melaksanakan tugasnya sebagai seorang dokter. Bukan untuk
liburan." Papa Azof mengelus kepala Lian.
"Iya,
om."
"Sekarang
kita pulang ya." mereka berdua pun segera pulang ke rumah masing-masing.
"Iya."
***
Jam
sudah menunjukan pukul 09.00 pagi. Namun Lian masih saja tertidur pulas di
ranjangnya. Semalaman Lian tidak bisa tidur. Dia terus menangisi kepergian
Azof. Padahal Azof masih berada di Indonesia, bukan ke luar negeri. Hanya beda
provinsi saja.
Handphone
Lian terus berbunyi dari tadi. Saking lelapnya sampai-sampai Lian tidak
mendengar bunyi handphonenya. Beberapa menit kemudian handphone Lian berbunyi
lagi. Lian mencari-cari handphonenya di sekitar ranjang dengan mata yang masih
tertutup. Tangannya meraba-raba untuk menemukan handphonenya. Setelah berhasil
mendapatkannya Lian langsung mengangkat telepon dari seseorang tanpa melihat
terlebih dahulu siapa yang menelponnya.
"Hallo."
"Lian,
artikel lo mana? Kenapa lo belum kirim artikel lo ke email kantor gue?"
tiba-tiba sebuah suara memarahi Lian.
"Woy,
lo siapa?" nampaknya Lian masih dalam keadaan antara sadar dan tidak
sadar. Rupanya Lian masih mengantuk.
"Sapta."
"Sapta?"
Lian membuka sedikit matanya lalu melihat layar handphonenya dan benar memang
Sapta yang menelponnya.
"Woy,
lo baik-baik aja?" Sapta mulai khawatir karena tidak mendengar suara Lian
lagi.
"Huaaaa..."
Lian menguap.
"Lo
baru bangun tidur?"
"Iya."
Lian mengucek-ngucek matanya.
"Dasar
kebo."
"Semalam
gue nggak bisa tidur."
"Kenapa?"
"Kepo
lo."
"Yey,
ya udah, mana artikel lo. Kirim sekarang."
"Gue
belum buat." Dengan polosnya Lian berkata seperti itu pada Sapta.
"Astaga
Lian." Sapta mulai kesal pada Lian. "Itu artikel mau diterbitkan
besok. Seharusnya lo udah kirim dari kemaren."
"Gue
lupa. Nggak ada ide lagi soalnya."
"Gue
paling sebel nih kalau udah kayak gini." Sapta benar-benar kesal pada
Lian.
"Sorry."
Lian bangkit dari tempat tidurnya.
"Terus
gimana dong kalau lo belum bikin artikelnya?"
"Gue
bikin sekarang."
"Sekarang?"
"Tenang
aja gue bisa ngebut kok bikin artikelnya."
"Ya,
udah gue tunggu sampai jam 3 sore ya."
"Iya."
Lian menutup teleponnya.
"Hallo...
Wah nggak sopan nih."
Lian
melempar handphonenya ke ranjang, lalu dia bergegas ke kamar mandi untuk
mencuci mukanya. Hari ini Lian sedang malas mandi. Jadi dia hanya menggosok
gigi saja. Lian segera membuka laptopnya. Jari-jemarinya yang memang sudah
sangat terbiasa mulai menekan-nekan tombol laptop. Dengan cekatan Lian menyusun
kata demi kata di artikelnya supaya pembaca tertarik dengan tulisannya. Jam
sudah menunjukan pukul 12.00 siang, namun Lian masih anteng di depan laptop
kesayangannya. Lian belum menyelesaikan semuanya. Sesekali Lian berpikir,
apalagi yang akan dia tulis.
"Duh
udah siang nih. Tapi artikelnya belum kelar." Lian melirik jam dinding di
kamarnya.
Lian
terus mengetik, sampai akhirnya tidak terasa artikel Lian sudah hampir selesai.
Lian hanya perlu mengeditnya sedikit saja. Tepat jam 14.30 sore Lian sudah
menyelesaikan artikelnya.
"Akhirnya
selesai juga. Tinggal kirim lewat email." Lian mengambil modem di laci,
lalu mencolokannya ke laptop. Dan akhirnya Lian pun berhasil menyelesaikan
pekerjaannya dengan tepat waktu.
Lian
segera mengambil handphonya yang berada di sudut ranjang. Dia segera menelpon
Sapta untuk memberitahu bahwa artikelnya sudah dia kirimkan.
"Hallo."
“Hallo
Sapta, artikelnya udah gue kirim.”
"Ok,
gue cek ya. Jangan ditutup dulu telponnya."
"Ok."
Sapta
membuka email, lalu mendownload artikel Lian, dan membacanya sekilas.
"Artikel
apaan nih, kok kata-katanya kayak gini sih? Banyak yang nggak nyambung
nih."
"Ya
maklumlah namanya juga dadakan."
"Makanya
lo tuh harus perfesional. Biar nggak kayak gini hasilnya."
"Udah
kali marahnya. Lain kali gue bakal bikin artikel yang lebih bagus lagi
deh."
"Haduh,
terlanjur juga nih, oklah gampang tinggal diedit doang."
"Nah,
betul. Edit aja."
"Tapi
ngeditnya kebanyakan."
"Woles
bro. Kan yang ngedit bukan elo" ucap Lian.
"Emang
bukan gue, tapi gue yang pusing."
"Hahahaha...."
Lian tertawa.
"Ketawa
lo."
"Biarin."
"Oh,
ya. Nanti sore kita ketemu yuk."
"Ketemu?"
"Iya.
Soalnya atasan gue mau ketemu sama lo."
"Ngapain
dia mau ketemu sama gue?" Lian merasa heran.
"Mana
gue tahu. Udahlah turutin aja. Siapa tahu ada hal yang penting. General
Managernya langsung lho yang mau ketemu sama Lo.”
"Ah,
masa sih?" Lian tidak percaya.
"Gue
serius."
"Emangnya
mau ketemu di mana?"
"Di
kantor, jam 5 sore lo harus udah ada di kantor gue ya."
"Ok
deh."
"Nanti
lo langsung masuk aja ke ruangan gue. Tanya aja sama satpam."
"Ok."
Lian
segera bersiap-siap, awalnya Lian malas mandi hari ini. Tapi karena ada
pertemuan dengan seorang yang sangat penting, akhirnya Lian memutuskan untuk
mandi. Apalagi orang penting itu adalah seorang General Manager di sebuah
perusahaan majalah ternama.
***
Lian datang ke kantor Sapta dengan tepat waktu. Lian diantar oleh salah seorang satpam menuju ruangan Sapta. Meski Lian sudah lama tahu soal kantor majalah ini. Namun baru kali ini Lian masuk ke dalam kantor ini. Tak banyak orang di dalam kantor. Karena memang sudah jam pulang. Hanya ada segelintir orang saja. Palingan mereka yang kebagian lembur atau hanya sekedar bersantai di kantor.
"Ini
ruangan Pak Sapta." ucap satpam.
"Terima
kasih Pak."
"Sama-sama.
Saya permisi." ucap Pak Satpam.
"Iya,
Pak."
"Permisi."
Lian mengetuk pintu ruangan Sapta.
"Masuk."
suara yang tak asing lagi di telinga Lian mempersilahkannya masuk. "Lian,
datang juga lo."
"Iyalah."
"Ayo
duduk." Sapta menyuruh Lian duduk di kursi yang berada tepat di
hadapannya.
"Iya,
makasih." Lian menyeret kursinya."kenapa General Manager pengen
ketemu sama gue?" Lian penasaran.
"Gue
juga nggak tahu sih. Mungkin dia mau ngasih kabar baik."
"Amin."
Tak
lama kemudian General Manager datang. Ternyata dia seorang perempuan. Rambutnya
panjang dan berwarna pirang karena dicat. Kuku-kukunya dihiasi kutek berwarna
merah menyala. Bulu mata yang lentik karena memakai bulu mata palsu, alisnya
tebal karena disulam alis. Bibirnya menyala merah merona. Dia mengenakan jas
hitam dan rok mini yang berwarna senada dengan jasnya.
"Dita."
Lian seperti mengenal perempuan yang kini menjabat sebagai General Manager itu.
"Ternyata
benar, Lian itu adalah elo." Wanita itu sinis melihat Lian.
"Kalian
berdua sudah saling kenal?" Sapta heran.
"Kita
dulu satu kampus." ucap Lian pada Sapta.
"Oh,
pantesan." Sapta manggut-manggut.
"Gimana,
nyokap lo masih suka ngerebut suami orang?"
"Jaga
omongan lo ya." Lian mengangkat tangan kanannya, hampir menampar pipi
Dita.
"Lian,
hentikan." Sapta keburu memegang tangan Lian. "Tolong jaga sikap kamu
di sini. Ini kantor."
"Tapi,
dia..."
"Dia
atasan gue. Lo nggak berhak nampar dia. Lo diajarin sopan santun nggak sama
orang tua lo?" Sapta memotong ucapan Lian, dan dia malah membela Dita.
Wajar
saja jika Sapta membela Dita. Dia kan atasannya. perlahan-lahan Lian menurunkan
tangannya dan melepaskannya dari genggaman Sapta. Lian ingin sekali menangis,
namun ia menahannya. Lian tidak menyangka sama sekali jika General Manager
kantor ini adalah Dita. Orang yang dikenal oleh Lian.
"Sapta,
saya mau mulai hari ini dia tidak bekerja sebagai freelance lagi di kantor
ini."
"Baik,
Bu." Sapta mengangguk-angguk kepalanya.
"Ok,
gue terima. Gue permisi." Lian meninggalkan kantor tanpa permisi sama
sekali. Dia berlari secepat mungkin meninggalkan kantor majalah tersebut.
"Lo
nggak boleh nangis Lian. Azof gue butuh lo." tapi nyatanya air mata Lian
jatuh juga.
Lian
segera menghapus air matanya. Lalu dia melangkahkan kakinya dengan cepat. Lian
segera meluncur dengan motornya. Rasanya Lian ingin segera sampai di rumahnya.
Tapi sialnya hari ini begitu macet. Jalanan di Ibukota sangat menjengkelkan
untuk Lian.
Dua
jam kemudian Lian baru sampai di rumahnya. Padahal jarak antara kantor majalah
dan rumahnya tidak terlalu jauh. Ini semua gara-gara macet. Hingga akhirnya
Lian pulang terlambat. Saat sampai di rumah, Lian langsung menuju kamarnya dan
membaringkan tubuhnya di atas ranjang.
"Kenapa
gue harus ketemu sama Dita lagi sih? Kenapa? Dan kenapa dia ngomong kayak gitu
di depan Sapta. Itu kan masa lalu. Kenapa harus dibahas lagi?" Lian
benar-benar kesal pada Dita. "Nggak apa-apa gue nggak jadi freelance di
kantor majalah itu lagi. Gue masih punya blog yang menghasilkan uang. Terus
royalty novel gue. Terus.... Apalagi ya sumber pendapatan gue? Kayaknya cuma
itu doang sih." Lian bangkit dari ranjangnya. "Gue mau telepon Azof
ah." Lian mengambil handphone di saku celananya dan dia mulai menelpon
Azof.
"Hallo,
Lian."
"Zof,
gue mau cerita nih."
"Cerita
apaan?" Azof penasaran.
"Tadi
gue ketemu sama Dita."
"Serius?"
"Serius."
"Kok
bisa sih?"
"Ternyata
Dita itu adalah General Manager di kantor majalah yang biasa gue bikin artikel
itu."
"Masa
sih?"
"Iya
bener, dan kantor itu yang punya Papanya."
"Wah,
gila tuh si Dita. Tajir banget ya. Tapi kok gue nggak tahu ya kalau bokapnya
dia punya kantor majalah."
"Gue
juga baru tahu sekarang."
"Terus
lo gimana pas ketemu sama dia? Dan kok bisa elo ketemu sama dia? Emang lo
ketemu di mana?" Azof semakin penasaran.
"Satu-satu
kali nanya nya. Nyerocos aja lu kayak petasan."
"Sorry,
habisnya gue penasaran banget nih."
"Jadi
gini ceritanya...." Bla bla bla Lian menceritakan semua awal pertemuannya
kembali dengan Dita pada Azof.
"Ya,
kayaknya si Dita nyari tahu informasi lo dari data yang ada di kantornya dia.
Makanya dia ngotot pengen ketemu sama lo."
"Kayaknya
sih gitu. Oh iya, Zof. Kayaknya gue mau cari kerja deh."
"Kerja?
Emangnya penghasilan dari Ngeblog lo kurang ya? Perasaan lumayan gede tuh.
Ngapain kerja. Bukannya waktu itu lo pernah bilang kalau lo nggak mau
kerja."
"Gue
berubah pikiran."
"Kenapa?"
"Di
sini sepi banget. Gue nggak punya temen. Gue cari kerja biar gue bisa punya
banyak temen. Apalagi sekarang lo nggak ada di sini. Sepi banget dunia
gue."
"Makanya
lo cari pacar sono biar nggak kesepian lagi."
"Heh,
gue tuh butuh temen bukan pacar."
"Iyakan
bisa pacaran sambil temenen. Kallau temenan sambil pacaran belum tentu temen lo
mau juga jadi pacar lo." Azof tertawa sangat puas.
"Ujung-ujungnya
pasti kayak gini deh. Kagak enak. Udah ah gue mau tidur. Nyesel gue telepon
sama lo."
"Cie…
Ngambek."
"Bye!!!."
Lian menutup teleponnya.
Keesokan
harinya Lian mulai sibuk mempersiapkan surat lamaran kerja. Lian mencari info
lowongan pekerjaan melalui internet. Lian mengirimkan beberapa cv ke
perusahaan-perusahaan yang berada di daerah Kota Jakarta. Mungkin ada sekitar
10 cv yang sudah ia kirimkan.
Satu
Minggu sudah Lian menunggu, namun tak ada satu perusahaanpun yang menelpon
dirinya. Lian hampir saja putus asa. Namun dirinya tetap optimis jika memang
akan ada perusahaan yang menerimanya bekerja. Mengingat pengalamannya sudah
cukup lumayan banyak, dan usia Lian yang terbilang masih sangat muda, 23 tahun.
Saat
Lian sedang melamun di dekat jendela kamarnya, tiba-tiba saja handphonya
berdering. Lian mengambil handphonenya dan menatap layar handphone miliknya.
Dari nomor yang tidak ia kenal, dan sepertinya nomor telepon itu nomor telepon
kantor.
"Hallo
selamat pagi." terdengar suara perempuan.
"Iya,
selamat pagi."
"Apa
benar ini dengan Liana Maharani?"
"Iya
betul dengan saya sendiri."
"Saya
dari PT. Suryatex. Besok jam 8 pagi ada interview. Jangan lupa membawa alat
tulis."
"Interview?"
Lian melompat-lompat karena kegirangan. Akhrinya ada juga perusahaan yang
memanggilnya untuk interview.
"Iya,
Bu saya bisa."
"Ok.
Jangan sampai telat ya."
"Iya.
Terima kasih."
"Sama-sama."
Perempuan yang menelpon Lian pun menutup teleponnya.
"Yes,
akhirnya besok gue interview. Mudah-mudahan gue diterima kerja di sana."
Lian begitu senang.
Bersambung
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan sopan dan baik
Komentar yang mengandung link aktif akan dihapus secara otomatis