Friday 9 December 2016

September Bersamamu Part 11

Keesokan harinya Lian mengantarkan Azof ke bandara, Lian membawakan koper Azof yang ukurannya tidak terlalu besar. Tak lupa ayah Azof pun ikut mengantarkan Azof ke bandara. Sesekali ayah dan anak itu tertawa lepas. Lian yang melihat keakraban mereka hanya bisa tersenyum. Karena jarang sekali mereka terlihat akur seperti ini. Sungguh pemandangan yang sangat langka.
"Kamu di sana hati-hati." ucap Papa Azof.
"Iya, pah. Doain aku ya di sana."
"Papah selalu mendoakan yang terbaik buat kamu, Azof."
"Makasih, Pah." Azof memeluk tubuh renta ayahnya.
"Jaga diri kamu baik-baik ya nak." Ayah Azof mengusapa-ngusap punggung anaknya.
"Papa juga hati-hati di sini. Jaga kondisi kesehatan Papa. Jangan sampe sakit." Azof melepaskan pelukannya.
"Zof." Lian mendekati tubuh Azof.
"Lian." Mereka berdua saling berpelukan.
"Gue pasti kangen banget sama Lo. Sering-sering hubungi gue ya." Lian mulai berkaca-kaca.
"Iya, pasti gue bakalan sering menghubungi lo. Sekarangkan zaman udah canggih." Azof melepaskan pelukannya dari Lian. "Kita bisa pake Line, WhatsApp, BBM, dan lain-lain deh. Jadi lo tenang aja."
"Gue sedih tahu. Kita nggak bisa maen bareng lagi."
"Udah, lo nggak usah nangis." Azof menghapus air mata Lian yang sudah tumpah membasahi pipinya. "Nanti gue balik lagi kok."
"Janji ya." Lian mengacungkan jari kelingkingnya.
"Iya gue janji." Azof menyatukan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Lian.
"Ya, sudah. Cepat kamu berangkat. Kalau di sini kelamaan, nanti Lian malah nangis terus lagi."  ucap Papa Azof.
"Ya, udah kalau gitu aku pergi ya." Azof hendak membawa kopernya yang dipegang oleh Lian. Namun Lian enggan melepaskan koper itu. "Lian."
"Azof..." nampaknya Lian masih belum merelakan kepergian sahabatnya itu.
"Nggak usah cengeng. Cuma ditinggal ke Papua doang, bukan ke dubay." Azof berhasil menarik kopernya dari tangan Lian.
"Kita doakan saja Lian semoga Azof selamat sampai tujuan."Papa Azof merangkul pundak Lian.
"Amin." kata Azof.
"Assalamualaikum." Akhirnya Azof pun pergi meninggalkan kota Jakarta, kota kelahirannya.
"Waalaikumsalam." Lian hanya bisa melihat punggung Azof yang semakin lama semakin menjauh dari pandangannya. Hingga akhirnya Lian benar-benar tak melihat sosok Azof lagi di depan matanya.
"Udah, Lian kamu jangan nangis. Cuma sementara kok." Papa Azof berusaha menenangkan Lian.
"Aku sedih om." Lian menyenderkan kepalanya di bahu Papa Azof.
"Om lebih sedih, Lian. Azof itu kan anak om. Tapi mau bagaimana lagi. Azof itu pergi untuk melaksanakan tugasnya sebagai seorang dokter. Bukan untuk liburan." Papa Azof mengelus kepala Lian.
"Iya, om."
"Sekarang kita pulang ya." mereka berdua pun segera pulang ke rumah masing-masing.
"Iya."
***
Jam sudah menunjukan pukul 09.00 pagi. Namun Lian masih saja tertidur pulas di ranjangnya. Semalaman Lian tidak bisa tidur. Dia terus menangisi kepergian Azof. Padahal Azof masih berada di Indonesia, bukan ke luar negeri. Hanya beda provinsi saja. 
Handphone Lian terus berbunyi dari tadi. Saking lelapnya sampai-sampai Lian tidak mendengar bunyi handphonenya. Beberapa menit kemudian handphone Lian berbunyi lagi. Lian mencari-cari handphonenya di sekitar ranjang dengan mata yang masih tertutup. Tangannya meraba-raba untuk menemukan handphonenya. Setelah berhasil mendapatkannya Lian langsung mengangkat telepon dari seseorang tanpa melihat terlebih dahulu siapa yang menelponnya.
"Hallo."
"Lian, artikel lo mana? Kenapa lo belum kirim artikel lo ke email kantor gue?" tiba-tiba sebuah suara memarahi Lian.
"Woy, lo siapa?" nampaknya Lian masih dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar. Rupanya Lian masih mengantuk.
"Sapta."
"Sapta?" Lian membuka sedikit matanya lalu melihat layar handphonenya dan benar memang Sapta yang menelponnya.
"Woy, lo baik-baik aja?" Sapta mulai khawatir karena tidak mendengar suara Lian lagi.
"Huaaaa..." Lian menguap.
"Lo baru bangun tidur?"
"Iya." Lian mengucek-ngucek matanya.
"Dasar kebo."
"Semalam gue nggak bisa tidur."
"Kenapa?"
"Kepo lo."
"Yey, ya udah, mana artikel lo. Kirim sekarang."
"Gue belum buat." Dengan polosnya Lian berkata seperti itu pada Sapta.
"Astaga Lian." Sapta mulai kesal pada Lian. "Itu artikel mau diterbitkan besok. Seharusnya lo udah kirim dari kemaren."
"Gue lupa. Nggak ada ide lagi soalnya."
"Gue paling sebel nih kalau udah kayak gini." Sapta benar-benar kesal pada Lian.
"Sorry." Lian bangkit dari tempat tidurnya.
"Terus gimana dong kalau lo belum bikin artikelnya?"
"Gue bikin sekarang."
"Sekarang?"
"Tenang aja gue bisa ngebut kok bikin artikelnya."
"Ya, udah gue tunggu sampai jam 3 sore ya."
"Iya." Lian menutup teleponnya.
"Hallo... Wah nggak sopan nih."
Lian melempar handphonenya ke ranjang, lalu dia bergegas ke kamar mandi untuk mencuci mukanya. Hari ini Lian sedang malas mandi. Jadi dia hanya menggosok gigi saja. Lian segera membuka laptopnya. Jari-jemarinya yang memang sudah sangat terbiasa mulai menekan-nekan tombol laptop. Dengan cekatan Lian menyusun kata demi kata di artikelnya supaya pembaca tertarik dengan tulisannya. Jam sudah menunjukan pukul 12.00 siang, namun Lian masih anteng di depan laptop kesayangannya. Lian belum menyelesaikan semuanya. Sesekali Lian berpikir, apalagi yang akan dia tulis.
"Duh udah siang nih. Tapi artikelnya belum kelar." Lian melirik jam dinding di kamarnya.
Lian terus mengetik, sampai akhirnya tidak terasa artikel Lian sudah hampir selesai. Lian hanya perlu mengeditnya sedikit saja. Tepat jam 14.30 sore Lian sudah menyelesaikan artikelnya.
"Akhirnya selesai juga. Tinggal kirim lewat email." Lian mengambil modem di laci, lalu mencolokannya ke laptop. Dan akhirnya Lian pun berhasil menyelesaikan pekerjaannya dengan tepat waktu.
Lian segera mengambil handphonya yang berada di sudut ranjang. Dia segera menelpon Sapta untuk memberitahu bahwa artikelnya sudah dia kirimkan.
"Hallo."
“Hallo Sapta, artikelnya udah gue kirim.”
"Ok, gue cek ya. Jangan ditutup dulu telponnya."
"Ok."
Sapta membuka email, lalu mendownload artikel Lian, dan membacanya sekilas.
"Artikel apaan nih, kok kata-katanya kayak gini sih? Banyak yang nggak nyambung nih."
"Ya maklumlah namanya juga dadakan."
"Makanya lo tuh harus perfesional. Biar nggak kayak gini hasilnya."
"Udah kali marahnya. Lain kali gue bakal bikin artikel yang lebih bagus lagi deh."
"Haduh, terlanjur juga nih, oklah gampang tinggal diedit doang."
"Nah, betul. Edit aja."
"Tapi ngeditnya kebanyakan."
"Woles bro. Kan yang ngedit bukan elo" ucap Lian.
"Emang bukan gue, tapi gue yang pusing."
"Hahahaha...." Lian tertawa.
"Ketawa lo."
"Biarin."
"Oh, ya. Nanti sore kita ketemu yuk."
"Ketemu?"
"Iya. Soalnya atasan gue mau ketemu sama lo."
"Ngapain dia mau ketemu sama gue?" Lian merasa heran.
"Mana gue tahu. Udahlah turutin aja. Siapa tahu ada hal yang penting. General Managernya langsung lho yang mau ketemu sama Lo.”
"Ah, masa sih?" Lian tidak percaya.
"Gue serius."
"Emangnya mau ketemu di mana?"
"Di kantor, jam 5 sore lo harus udah ada di kantor gue ya."
"Ok deh."
"Nanti lo langsung masuk aja ke ruangan gue. Tanya aja sama satpam."
"Ok."
Lian segera bersiap-siap, awalnya Lian malas mandi hari ini. Tapi karena ada pertemuan dengan seorang yang sangat penting, akhirnya Lian memutuskan untuk mandi. Apalagi orang penting itu adalah seorang General Manager di sebuah perusahaan majalah ternama.
***

Lian datang ke kantor Sapta dengan tepat waktu. Lian diantar oleh salah seorang satpam menuju ruangan Sapta. Meski Lian sudah lama tahu soal kantor majalah ini. Namun baru kali ini Lian masuk ke dalam kantor ini. Tak banyak orang di dalam kantor. Karena memang sudah jam pulang. Hanya ada segelintir orang saja. Palingan mereka yang kebagian lembur atau hanya sekedar bersantai di kantor.
"Ini ruangan Pak Sapta." ucap satpam.
"Terima kasih Pak."
"Sama-sama. Saya permisi." ucap Pak Satpam.
"Iya, Pak."
"Permisi." Lian mengetuk pintu ruangan Sapta.
"Masuk." suara yang tak asing lagi di telinga Lian mempersilahkannya masuk. "Lian, datang juga lo."
"Iyalah."
"Ayo duduk." Sapta menyuruh Lian duduk di kursi yang berada tepat di hadapannya.
"Iya, makasih." Lian menyeret kursinya."kenapa General Manager pengen ketemu sama gue?" Lian penasaran.
"Gue juga nggak tahu sih. Mungkin dia mau ngasih kabar baik."
"Amin."
Tak lama kemudian General Manager datang. Ternyata dia seorang perempuan. Rambutnya panjang dan berwarna pirang karena dicat. Kuku-kukunya dihiasi kutek berwarna merah menyala. Bulu mata yang lentik karena memakai bulu mata palsu, alisnya tebal karena disulam alis. Bibirnya menyala merah merona. Dia mengenakan jas hitam dan rok mini yang berwarna senada dengan jasnya.
"Dita." Lian seperti mengenal perempuan yang kini menjabat sebagai General Manager itu.
"Ternyata benar, Lian itu adalah elo." Wanita itu sinis melihat Lian.
"Kalian berdua sudah saling kenal?" Sapta heran.
"Kita dulu satu kampus." ucap Lian pada Sapta.
"Oh, pantesan." Sapta manggut-manggut.
"Gimana, nyokap lo masih suka ngerebut suami orang?"
"Jaga omongan lo ya." Lian mengangkat tangan kanannya, hampir menampar pipi Dita.
"Lian, hentikan." Sapta keburu memegang tangan Lian. "Tolong jaga sikap kamu di sini. Ini kantor."
"Tapi, dia..."
"Dia atasan gue. Lo nggak berhak nampar dia. Lo diajarin sopan santun nggak sama orang tua lo?" Sapta memotong ucapan Lian, dan dia malah membela Dita. 
Wajar saja jika Sapta membela Dita. Dia kan atasannya. perlahan-lahan Lian menurunkan tangannya dan melepaskannya dari genggaman Sapta. Lian ingin sekali menangis, namun ia menahannya. Lian tidak menyangka sama sekali jika General Manager kantor ini adalah Dita. Orang yang dikenal oleh Lian.
"Sapta, saya mau mulai hari ini dia tidak bekerja sebagai freelance lagi di kantor ini."
"Baik, Bu." Sapta mengangguk-angguk kepalanya.
"Ok, gue terima. Gue permisi." Lian meninggalkan kantor tanpa permisi sama sekali. Dia berlari secepat mungkin meninggalkan kantor majalah tersebut.
"Lo nggak boleh nangis Lian. Azof gue butuh lo." tapi nyatanya air mata Lian jatuh juga.
Lian segera menghapus air matanya. Lalu dia melangkahkan kakinya dengan cepat. Lian segera meluncur dengan motornya. Rasanya Lian ingin segera sampai di rumahnya. Tapi sialnya hari ini begitu macet. Jalanan di Ibukota sangat menjengkelkan untuk Lian.
Dua jam kemudian Lian baru sampai di rumahnya. Padahal jarak antara kantor majalah dan rumahnya tidak terlalu jauh. Ini semua gara-gara macet. Hingga akhirnya Lian pulang terlambat. Saat sampai di rumah, Lian langsung menuju kamarnya dan membaringkan tubuhnya di atas ranjang.
"Kenapa gue harus ketemu sama Dita lagi sih? Kenapa? Dan kenapa dia ngomong kayak gitu di depan Sapta. Itu kan masa lalu. Kenapa harus dibahas lagi?" Lian benar-benar kesal pada Dita. "Nggak apa-apa gue nggak jadi freelance di kantor majalah itu lagi. Gue masih punya blog yang menghasilkan uang. Terus royalty novel gue. Terus.... Apalagi ya sumber pendapatan gue? Kayaknya cuma itu doang sih." Lian bangkit dari ranjangnya. "Gue mau telepon Azof ah." Lian mengambil handphone di saku celananya dan dia mulai menelpon Azof.
"Hallo, Lian."
"Zof, gue mau cerita nih."
"Cerita apaan?" Azof penasaran.
"Tadi gue ketemu sama Dita."
"Serius?"
"Serius."
"Kok bisa sih?"
"Ternyata Dita itu adalah General Manager di kantor majalah yang biasa gue bikin artikel itu."
"Masa sih?"
"Iya bener, dan kantor itu yang punya Papanya."
"Wah, gila tuh si Dita. Tajir banget ya. Tapi kok gue nggak tahu ya kalau bokapnya dia punya kantor majalah."
"Gue juga baru tahu sekarang."
"Terus lo gimana pas ketemu sama dia? Dan kok bisa elo ketemu sama dia? Emang lo ketemu di mana?" Azof semakin penasaran.
"Satu-satu kali nanya nya. Nyerocos aja lu kayak petasan."
"Sorry, habisnya gue penasaran banget nih."
"Jadi gini ceritanya...." Bla bla bla Lian menceritakan semua awal pertemuannya kembali dengan Dita pada Azof.
"Ya, kayaknya si Dita nyari tahu informasi lo dari data yang ada di kantornya dia. Makanya dia ngotot pengen ketemu sama lo."
"Kayaknya sih gitu. Oh iya, Zof. Kayaknya gue mau cari kerja deh."
"Kerja? Emangnya penghasilan dari Ngeblog lo kurang ya? Perasaan lumayan gede tuh. Ngapain kerja. Bukannya waktu itu lo pernah bilang kalau lo nggak mau kerja."
"Gue berubah pikiran."
"Kenapa?"
"Di sini sepi banget. Gue nggak punya temen. Gue cari kerja biar gue bisa punya banyak temen. Apalagi sekarang lo nggak ada di sini. Sepi banget dunia gue."
"Makanya lo cari pacar sono biar nggak kesepian lagi."
"Heh, gue tuh butuh temen bukan pacar."
"Iyakan bisa pacaran sambil temenen. Kallau temenan sambil pacaran belum tentu temen lo mau juga jadi pacar lo." Azof tertawa sangat puas.
"Ujung-ujungnya pasti kayak gini deh. Kagak enak. Udah ah gue mau tidur. Nyesel gue telepon sama lo."
"Cie… Ngambek."
"Bye!!!." Lian menutup teleponnya.
Keesokan harinya Lian mulai sibuk mempersiapkan surat lamaran kerja. Lian mencari info lowongan pekerjaan melalui internet. Lian mengirimkan beberapa cv ke perusahaan-perusahaan yang berada di daerah Kota Jakarta. Mungkin ada sekitar 10 cv yang sudah ia kirimkan. 
Satu Minggu sudah Lian menunggu, namun tak ada satu perusahaanpun yang menelpon dirinya. Lian hampir saja putus asa. Namun dirinya tetap optimis jika memang akan ada perusahaan yang menerimanya bekerja. Mengingat pengalamannya sudah cukup lumayan banyak, dan usia Lian yang terbilang masih sangat muda, 23 tahun.
Saat Lian sedang melamun di dekat jendela kamarnya, tiba-tiba saja handphonya berdering. Lian mengambil handphonenya dan menatap layar handphone miliknya. Dari nomor yang tidak ia kenal, dan sepertinya nomor telepon itu nomor telepon kantor.
"Hallo selamat pagi." terdengar suara perempuan.
"Iya, selamat pagi."
"Apa benar ini dengan Liana Maharani?"
"Iya betul dengan saya sendiri."
"Saya dari PT. Suryatex. Besok jam 8 pagi ada interview. Jangan lupa membawa alat tulis."
"Interview?" Lian melompat-lompat karena kegirangan. Akhrinya ada juga perusahaan yang memanggilnya untuk interview.
"Iya, Bu saya bisa."
"Ok. Jangan sampai telat ya."
"Iya. Terima kasih."
"Sama-sama." Perempuan yang menelpon Lian pun menutup teleponnya.
"Yes, akhirnya besok gue interview. Mudah-mudahan gue diterima kerja di sana." Lian begitu senang.

 


Bersambung

No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan sopan dan baik
Komentar yang mengandung link aktif akan dihapus secara otomatis