Saturday 10 December 2016

September Bersamamu Part 13

Saat berada di dalam kantor tiba-tiba Dita datang ke ruangan sapta. Dia langsung marah-marah. Rupanya Dita masih tidak terima dengan kejadian semalam. Apalagi Sapta lebih memilih untuk pergi bersama Lian ketimbang dirinya.
“Sapta, aku nggak terima ya. Pokoknya aku nggak terima.” Dita marah-marah
“Nggak terima apa sih?:
“Soal kejadian semalam.”
“Oh, soal itu.”
“Iya, kenapa kamu ninggalin aku Sapta?”
“Lo itu udah keterlaluan sama Lian. Kata-kata lo juga kasar banget. Gue nggak suka kalau ada cewek yang ngomongnya kasar.”
“Dia itu emang perempuan murahan.”
“Dita cukup!!!.” Sapta membentak Dita.
“Oh, kamu mulai berani ya sama aku? Kamu mau aku pecat?” Dita mengancam Sapta.
“Dipecat? Silahkan. Karena sebelum lo pecat gue, gue yang akan mengundurkan diri. Besok gue akan kirim surat pengunduran diri gue.”
“Sapta aku cuma bercanda.”
“Buat gue itu serius.”Sapta membereskan barang-barangnya.
“Sapta aku bercanda doang. Tolong Sapta, kamu jangan resign dari kantor ini.’
“Udah terlanjur, mulai hari ini gue udah nggak kerja lagi di kantor ini. Permisi.” Sapta langsung pergi meninggalkan kantor majalah itu.
“Sapta tunggu, Sapta, Sapta.” Dita memanggil-manggil Sapta. Namun nyatanya Sapta tidak menghiraukannya.
“Sial!!!.” Dita menendang tong sampah yang berada didekatnya
            Keesokan harinya Sapta benar-benar mengirimkan surat resignnya. Mulai hari ini Sapta sudah tidak bekerja lagi di kantor majalah Dita. Memang sangat disayangkan sekali keputusan Sapta yang sangat mendadak ini, mengingat Sapta sudah memiliki jabatan di kantor majalah itu. Apalagi Sapta juga sudah bekerja selama 5 tahun lebih di kantor majalah itu. Sapta memang sudah muak dengan sikap Dita yang menurutnya tidak tahu sopan santun dan suka mengumpat. Sapta berusaha bersabar menghadapi sikap Dita. Namun kali ini Sapta benar-benar sudah habis kesabaran untuk menghadapi sikap Dita.
            Satu minggu sudah Sapta resign dari kantor majalah Dita. Dita benar-benar menyesal dengan ucapannya. Andai saja waktu itu Dita tidak berbicara seperti itu, mungkin saja sapta masih bekerja di kantor majalahnya. Kini Dita hanya bisa memandangi ruangan Sapta yang kini sudah kosong. Dan belum ada orang yang menggantikan posisi Sapta
***
“Lian, tolong kamu segera ke ruangan saya secepatnya.” Pak Surya menelpon Lian melalui telepon kantor
“Baik, Pak.” Lian segera pergi menuju ruangan Pak Surya.
Saat tiba di depan ruangan Pak Surya Lian langsung mengetuk pintunya “Permisi.”
“Masuk.”
“Ada apa ya bapak panggil saya?” Lian begitu penasaran, karena tiba-tiba saja Pak Surya memanggil Lian ke ruangannya. Apa Lian melakukan kesalahan yang membuat dirinya dipanggil langsung oleh pemilik perusahaan.
“Duduk dulu Lian.”
“Iya.” Lian duduk saling berhadapan dengan Pak Surya. Lian begitu deg-degan, karena dia takut akan dipecat.
“Begini, Lian. Saya mau kamu tidak bekerja lagi sebagai sekretaris Manager.”
“Bapak pecat saya?” spontan wajah Lian langsung berubah.
“Oh, tidak. Saya tidak pecat kamu Lian. Saya mau mulai hari ini kamu menjadi asisten pribadi seorang Direktur Utama.”
“Saya jadi asisten bapak gitu?”
“Bukan, tapi asisten anak saya. Dia yang akan menggantikan posisi saya. Karena dalam hitungan jam saja saya sudah tidak menjabat sebagai Dirut lagi. Semuanya sudah saya serahkan pada anak saya. Dan dia mau kalau kamu menjadi asisten pribadinya. Ini permintaan langsung dari anak saya. Nanti siang dia akan datang ke kantor ini.”
“Kenapa semuanya serba dadaka Pak?”
“Ini tidak dadakan. Hanya saja kamu baru tahu hari ini. Begitu Lian.”
“Oh, begitu.”
“Bagaimana, kamu siap menjadi asisten pribadi anak saya?”
“Saya siap, Pak?”
“Bagus, kalau begitu kamu boleh minggalkan ruangan ini.”
“Baik Pak, terima kasih.” Lian meninggalkan ruangan Pak Surya.
“Sama-sama.”
            Lian sudah selesai makan siang, dia harus segera kembali bekerja. Tapi Lian disuruh menunggu di ruangan Direktur Utama oleh Pak Surya. Karena sebentar lagi anak pemilik perusahaan akan datang. Sementara Pak surya sudah pulang terlebih dahulu.
“Ini gila. Masa gue disuruh kenalan langsung sama Dirut yang baru tanpa perantara siapapun.” ucap Lian dalam hatinya.
“Liana Maharani.” tiba-tiba sebuah suara mengagetkan Lian. Dan Lian yakin jika suara itu adalah suara Dirut yang baru.
Lian langsung bangkit dari tempat duduknya. “Iya, Pak Saya.”
“Balik badan.”
“Iya, Pak.” Lian berbalik badan, dan dia kaget ketika melihat sosok laki-laki yang sangat ia kenal. “Sapta, lo ngapain di sini?”
“Gue kerja di sini. Soalnya gue udah resign dari tempat kerja yang kemaren.”
“Kenapa Resign?”
“Nggak usah kepo deh.”
“Terus ngapain lo di sini?”
“Gue? Gue gantiin posisi bokap gue.”
“Jadi lo anaknya Pak Surya?”
“Iya.” Sapta menganggukan kepalanya.
“Pantesan aja waktu itu lo bilang kalau lo tahu soal PT. Suryatex. Iya, iyalah inikan perusahaan bokap lo.”
“Haha…” Sapta hanya tertawa.
“Terus kenapa lo kerja di tempatnya Dita. Kalau ternyata orang tua lo kaya raya.”
“Gue kerja di sana cuma buat bantuin perusahaan punya Om Ali. Soalnya dia itu teman baik orang tua gue. Dan gue juga pengen mandiri juga. Gue pengen ngerasain kerja di tempat orang itu kayak gimana. Dan inilah saatnya gue menggantikan posisi bokap gue. Kasian papa, udah saatnya dia itu pensium. Duduk manis di rumah. Biar gue aja yang kerja.”
“Anak berbakti.” Lian salut pada Sapta.
“Ok, Lian. Sekarang lo pijitin pundak gue. Pegel banget nih nyetir mobil terus dari kemaren.” Sapta langsung menyuruh Lian untuk memijit pundaknya sebagai tugas pertama sebagai seorang asisten pribadi Direktur Utama.
“Lo pikir gue tukang pijit apa?” Lian menolak permintaan Sapta.
“Ingat, Lian. Ini kantor. Jadi lo harus sopan sama gue. Panggil gue Bapak. Nggak ada istilahnya lo gue. Apalagi sekarang gue adalah atasan lo.” Sapta mulai memberi peraturan bahwa jika di dalam kantor Lian harus memanggilnya Pak Sapta.
“Iya, deh.”
“Bagus. Sekarang pijitin gue.” Sapta duduk di kursi.
            Perlahan-lahan Lian mulai memijit pundak Sapta. Sebenarnya Lian tidak mau melakukan ini, tapi mau bagaimana lagi, sekarang dia adalah asisten pribadinya Sapta. Rupanya Sapta mulai keenakan dipijat oleh Lian.
”Lo mahir juga ya pijitnya. Enak.”
“Katanya nggak boleh pake lo gue. Tadi ngomongnya pake lo gue jugakan?’ Lian protes.
”Gue kan bos di sini. Jadi terserah gue. Kalau lo harus sopan sama gue.”
“Iya.” Lian ingin sekali menjitak kepala Sapta.
“Agak ke atas Lian, leher gue juga dipijit. Nah itu baru enak banget.”
“Kalau bukan bos gue udah gue jedotin deh kepalanya ke tembok.” Lian ngomel dalam hatinya.
“Lian.” Sapta memanggil Lian.
“Apa?”
“Lo udah punya pacar nggak sih?”
“Kenapa bapak tanya-tanya masalah pribadi saya?” Lian masih memijit leher Sapta.
“Gue kan cuma nanya doang. Nggak boleh?”
“Boleh, Pak.”
“Punya pacar nggak?” Sapta bertanya sekali lagi.
“Nggak, Pak?”
“Serius?” Sapta tidak percaya.
“Serius, Pak.”
“Oh.” hanya kata itu yang keluar dari mulut Sapta.
            Sapta mulai merasa enak dipijat oleh Lian, sesekali matanya terpejam karena menikmati sentuhan dari tangan Lain. 
“Mulai besok lo harus bikinin gue sarapan. Setiap pagi titik nggak pake nawar.”
“Sarapan pagi? Setiap hari?”
“Yaps, setiap hari.”
“Tapikan…”
“Kenapa? Lo bisa masakkan?”
“Ya, bisa tapi…”
“Nggak ada tapi-tapian. Kan gue udah bilang nggak pake nawar.”
“Tapi, Pak.”
“Nggak bisa nawar.”
“Ini bos ngejengkelin banget sih.” lagi-lagi Lian ngomel dalam hatinya.
***
            Keesokan harinya Lian benar-benar membuatkan sarapan untuk Sapta. Lian membawa roti sandwitch dan susu. Lian datang lebih awal karena dia tidak mau kena omel oleh Sapta. Lian menaruh Sarapan yang sudah dibuatnya di meja Sapta. Tak lama kemudian Sapta datang.
“Hei, Lian kamu sudah datang.”
“Sudah, Pak.”
“Itu sarapan buat saya?”
“Iya.”
            Sapta duduk di kursinya, dia mengamati makanan yang dibawa oleh Lian. Sangat kebetulan sekali Lian membawakan susu untuknya. Sapta memang sangat menyukai susu.
“Ini semua lo yang bikin? Soalnya gue nggak mau makan kalau ini bukan buatan lo.” ucap Sapta pada Lian.
“Itu saya yang bikin, Pak.”
“Awas ya kalau lo bohong.”
“Nggak, Pak.” 
            Sapta mulai membuka misting yang berisi sandwitch. Ia mengambil dengan tangannya dan langsung menyantapnya. Perlahan-lahan Sapta mulai mengunyah roti sandwitch itu.
“Rasanya lumayan.”
“Bilang aja enak, Pak.”
“Ok, enak.”
            Sapta melahap semua sarapannya hingga tak ada yang tersisa. Sapta begitu menikmati makannan yang dibuat oleh Lian. Dia tidak menyangka jika Lian bisa membuat roti sandwitch seenak ini. Dengan perut yang terisi, Sapta jadi lebih berkonsentrasi untuk bekerja.
            Lian duduk di sofa yang berada di ruangan Sapta. Lian mencatat apa saja yang akan dia kerjakan hari ini di note kecil. Lian mengenakan kemeja putih berenda dan memadupadankan dengan rok mini berwarna merah menyala. Roknya sekitar 7 cm di atas lutut. Sangat kontras sekali dengan paha Lian yang mulus. Lian memang memiliki warna kulit yang tidak terlalu putih. Kulitnya sama seperti kebanyakan warga Negara Indonesia lainnya. Sedikit coklat. Namun kulit tubuhnya sangat terawat. Perawakan Lian tidak terlalu tinggi, hanya 160 cm. Lian memiliki tubuh agak berisi, sehingga tubuhnya terlihat sedikit montok bila dibandingkan dengan karyawan yang lainnya.apalagi ditambah dengan bokong dan dada yang agak lumayan besar. Terkadang membuat karyawan laki-laki betah berlama-lama menatap Lian.
            Sapta yang sedari tadi memperhatikan Lian dari ujung kaki sampai ujung rumbut tidak dapat berkonsentrasi sama sekali. Apalagi ketika Sapta melihat kaki, paha dan tangan Lian yang dipenuhi oleh bulu-bulu halus. Konsentrasinya benar-benar buyar.
“Lian.” Sapta menghampiri Lian.
“Iya, Pak?” Lian langsung berdiri
            Sapta semakin mendekat pada Lian, bahkan jaraknya kini hanya 5 cm saja dari tubuh Lian. Lian merasa aneh kenapa Sapta bisa sampai sedekat ini. Sapta terus mendekatkan wajahnya ke arah Lian. Dan dia membisikan sesuatu.
“Rok kamu kependekan, aku jadi nggak bisa konsentrasi kerja gara-gara melihat bulu-bulu halus di kaki kamu. Besok kamu bisa ganti dengan celana panjang.”
“Iya, Pak.” Lian merasa sangat malu sekali ketika Sapta berkata seperti itu.
            Hari demi hari Lian dan Sapta semakin dekat saja. Mereka sering menghabiskan waktu bersama. Mereka sering bercanda satu sama lain. Ketawa bersama, terkadang mereka terlibat percekcokan yang membuat mereka berantem dan musuhan. Namun mereka akur dengan sendirinya
Sudah sejak lama Sapta memang menaruh hati pada Lian. Namun dia belum berani mengungkapkannya. Sapta takut jika Lian akan menolaknya. Sapta tahu jika Lian menyukai laki-laki lain. Rasya namanya. Lian begitu mencintai Rasya. Walaupun dia tahu jika Rasya sudah memiliki calon istri.
“Lian, masih aja lo mikirin cowok itu?” Sapta bersandar di kursi yang diduduki oleh Lian. Mereka berdua baru saja pulang bekerja, dan mereka sering menghabiskan waktu bersama di Cafe Fortune.
“Gue juga nggak tahu.”
“Sekeras apapun lo berjuang buat dia, kalau di hatinya ada orang lain, percuma.”
            Lian hanya terdiam tanpa menjawab sepatah katapun.
“Sekarang mana cowok yang lo suka itu? Apa dia peduli sama lo? Enggakkan?”
“Sapta cukup. Ini urusan hati gue. Lo nggak usah ikut campur.”
“Gue cuma kasian sama lo. Lo berharap sesuatu, sementara lo sendiri nggak pernah berusaha untuk mendapatkan hal itu. Untuk mendapatkan cinta lo, kebahagian lo. Lupain Rasya.”
“Apa? Gue nggak bisa lupain dia.”
“Lo pasti bisa.”
“Nggak bisa.”
“Apa dia begitu berharga buat lo? Apa lo nggak bisa buka hati lo buat orang lain?”
“Buat siapa?”
“Buat gue.” Sapta mengucapkannya dengan sangat jelas.
“Maksud lo?” Lian tidak mengerti.
“Lo pikir selama ini gue baik sama lo itu kenapa, karena gue suka sama lo.”
“Baik dari mananya? Lo itu nyebelin, suka bikin gue kesel.”
“Karena itu gue nyari cara supaya gue bisa deket-deket sama lo. Bahkan gue minta sama bokap gue agar lo bisa jadi asisten pribadi gue. Itu semua gue lakuin biar gue bisa sama-sama terus sama lo.” akhirnya setelah sekian lama meunggu, Sapta mengungkapkan semua isi hatinya pada Lian.
“Lo, serius?” Lian Nampak tak percaya.
“Gue serius.”
“Gue nggak suka sama lo.”
“Gue nggak peduli.”
“Sekeras apapun lo berjuang buat gue, kalau di hati gue ada orang lain, percuma.” Lian mengutip kalimat Sapta yang tadi Sapta ucapkan pada Lian.
“Eh, itu kata-kata gue.”
“Lo mau apa kalau gue nggak suka sama lo?”
“Gue mau dapetin hati lo.” Sapta mulai menggombali Lian.
“Idih, ngarep lo.”
“Mulai sekarang lo jadi pacar gue.”
“Kapan gue terima lo jadi pacar gue?”
“Sekarang.”
“Lo, gila ya?” Lian memegang dahi Sapta.
“Iya, gila karena lo.”
“Ilfil gue sama lo.”
“Gue suka deh kalau liat lo marah-marah kayak gitu. Keliatan lebih cantik.” Sapta terus menggombali Lian.
“Gue benci sama lo, Sapta.”
“Tapi gue cinta sama lo. Gimana dong?”
“Terserah lo, gue mau pulang.” Lian meninggalkan Sapta.
“Mau gue antar pulang nggak?” sapta berteriak pada Lian.
“Enggak, makasih.”
            Sapta hanya tertawa melihat tingkah Lian. Meskipun Sapta mendapat penolakan dari Lian, namun Sapta lega karena dia sudah mengungkapkan sisi hatinya pada Lian dan dia menganggap jika Lian sudah resmi menjadi pacarnya.
“Lo nggak bisa kabur dari gue Lian.” Sapta begitu percaya diri.
Bersambung…

No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan sopan dan baik
Komentar yang mengandung link aktif akan dihapus secara otomatis