Monday 28 November 2016

September Bersamamu Part 10

          Azof berkaca-kaca ketika dia membaca sebuah surat. Dia melihat surat itu dengan seksama. Hingga akhirnya Azof meneteskan air matanya. Ya, itu bukan surat biasa. Melainkan surat Undangan Pernikahan untuknya. Disitu tertulis nama Azka dan Yoga. Yang tak lain adalah nama kedua mempelai. Beberapa kali dia membaca surat undangan itu. Tampilannya tetap sama tidak berubah sedikitpun. Disurat undangan itu tertulis jelas nama Azka Zaskia , kekasihnya. Dulu memang kekasihnya. Tapi sekarang sudah lain ceritanya.

Gue nggak tahu apa gue harus bahagia atau harus bagaimana? Entahlah, gue sendiri pun bingung.” Azof mulai menghapus air mata yang berderai di pipinya.

            Azof menyimpan surat undangan itu di atas meja dekat ranjangnya. Lalu dia duduk di atas ranjang sambil melamun. Tak lama kemudian Azof mengambil sebuah photo yang dia simpan di bawah bantal. Terlihat seorang gadis cantik dengan kulit putih dan rambut panjang Nampak sedang tersenyum. Bukan hanya gadis itu saja yang berada dalam photo tersebut. Azof pun ada di sebelah gadis tersebut. Ya, itulah Azka. Wanita yang pernah mengisi hatinya.

            Azof sempat berfikir, kenapa bukan nama dirinya yang tertulis dalam surat undangan itu. Azka dan Azof. Kenapa harus orang lain?

“Kenapa Semua ini harus terjadi? Andai waktu bisa diputar kembali. Aku hanya ingin kita seperti dulu. Saling menyayangi dan tentunya saling mencintai satu sama lain.” Azof berkata sambil terus memandangi Photo dirinya bersama Azka.

            Kini lamunan Azof melambung tinggi. Sekarang dia membayangkan saat-saat dia masih bersama Azka.

“Azof aku mau besok pagi kamu nganterin aku ke toko sepatu. Aku mau beli sepatu baru.” Azka meminta Azof untuk menemaninya.
“Aduh, maaf ya. Besok pagi aku udah ada janji sama temen aku. Gimana dong?” ucap Azof menyesal.
“Oh, ya udah nggak apa-apa. Lain waktu aja.” Azka dapat memahami keadaan Azof.
“Makasih ya sayang kamu udah ngertiin aku.”
“Iya.” Azka tersenyum sambil menggandeng tangan Azof.


***


“Ahh, lagi-lagi dicuekin.” Azka duduk dikursi. Azof memang memiliki hobi otomotif. Dia sangat suka otak-atik mobilnya. Sekalipun kekasihnya datang ke rumahnya hanya ingin bertemu. Tapi Azof selalu mencuekinya.

            Tapi itu sudah menjadi hal yang sangat biasa bagi Azka. Kalau sudah berhubungan dengan mobil pasti sangat sulit sekali untuk diganggu. Padahal Azof menyadari kehadiran kekasihnya itu. Tapi Azof hanya tersenyum tanpa ada inisiatif untuk menghampiri kekasihnya walaupun hanya sebentar saja.

“Gini nih, kalau punya cowok yang hobi banget sama otomotif. Aku datang aja dicuekin. Nasib-nasib.” Azka hanya bisa geleng-geleng kepala sambil menyimpan rasa kekecewaannya. “Azof kamu nggak bosen apa dari pagi sampai siang bolong begini cuma mobil aja yang kamu urusin.” Azka menghapiri Azof yang sedang asyik dengan hobinya itu.
“Nggaklah namanya juga hobi.” Jawab Azof dengan enteng.
“Senin sampai jumat kamu kerja. Hari sabtu kamu futsal, kadang lembur kerja. Hari minggunya kamu malah otak-atik mobil kamu. Waktu buat aku kapan?”
“Sayang, dengerin aku. Meskipun aku lagi otak-atik mobil aku. Kan kita masih bisa ketemu. Buktinya aku sama kamu ada di tempat yang sama.”
“Ya, masa sih cuma di rumah doang. Di tempat lain kan bisa.” Wajah Azka mulai cemberut.
“Ngertiin aku ya.” Azof memohon pengertian Azka.
Azka menarik nafas dalam-dalam. “iya.” Azka memang tipikal perempuan yang sangat mengerti pasangannya.
 
            Satu minggu kemudian Azka mencoba mengajak Azof untuk menemaninya menghadiri pesta pernikahan temannya.

“Azof, besok kamu ikut yah ke acara pernikahan temen aku.” pinta Azka pada Azof.
“Besok kan aku kerja.”
“Bolos sekali nggak apa-apa kali. Demi aku.”
“Nggak bisa dong. Aku kan harus perfesional. Terus pasien aku gimana?”

            Azka tak menjawab pertanyaan Azof. Dia tahu betul jika Azof adalah orang yang super sibuk. Maklumlah kekasihnya itu berprofesi sebagai seorang dokter di sebuah rumah sakit di Ibu Kota. Belum lagi dia sangat tergila-gila pada hobi otomotifnya itu. Pantas saja jika dia benar-benar sibuk. Tapi tidak bisakah dia meluangkan waktu untuk wanita yang dicintainya? Azka berfikir keras. Dia tidak mungkin mengajak Azof, karena Azof harus kerja. Azka tidak mungkin tega melihat pasien-pasien Azof yang tidak tertangani dengan cepat karena dokternya sedang bersama dirinya. Azka tidak bisa mengegoiskan dirinya sendiri. Sementara di luar sana masih banyak orang lain yang membutuhkan pertolongannya.

“Kamu marah?” tanya Azof pada Azka.
“Nggak. Ya, udah kalau misalnya kamu nggak bisa juga nggak apa-apa. Aku ngerti kok. Karena masih banyak orang yang lebih membutuhkan kamu dibanding aku.”
“Gadis Pintar.” Azof Merengkuh tubuh Azka lalu memeluknya sambil membisikan kata “ I love you.”

            Hari demi hari keduanya jadi jarang sekali bertemu. Jangankan untuk bertemu. Sekedar menyapa lewat handphonepun sudah sangat jarang sekali dilakukan. Mengingat pekerjaan Azof yang semakin hari semakin sibuk. Apalagi sekarang Azof sering kebagian lembur di rumah sakit tempat ia bekerja. Intensitas pertemuan Azka dan Azof semakin jarang. Namun sebagai kekasih yang baik. Azka selalu berusaha mengerti pekerjaan Azof dalam kondisi apapun sebisa mungkin. Azka selalu mensuport apapun yang dilakukan oleh Azof. Termasuk hobi otomotifnya.

            Azof sering kali menolak ajakan Azka dengan berbagai alasan karena pekerjaannya yang sangat sibuk. Azof tidak pernah mau mengalami hal ini. Dia pun ingin seperti kebanyakan pasangan lain yang pergi jalan-jalan berdua, nonton di bioskop. Hanya untuk menghabiskan waktu bersama orang yang dia cintai. Tapi untuk saat ini dia benar-benar tidak bisa melakukan hal itu. Azof pun sangat merindukan saat-saat pertama kali mereka pacaran yang sering menghabiskan waktu bersama. Bahkan hampir setiap hari. Tapi sekarang keadaannya berbeda, Azof bekerja menjadi seorang dokter.
“Azof aku ingin ketemu kamu.” ucap Azka lewat telepon.
“Ok, kebetulan aku sebentar lagi pulang kerja. Di tempat biasa ya.”
“Iya.” Azka menutup teleponnya.

            Setengah jam kemudian Keduanya sudah berada di sebuah cafe tempat di mana mereka menghabiskan waktu di kala Azof tidak sibuk dengan urusan pekerjaannya maupun hobinya.

“Ada suatu hal yang ingin aku bicarakan. Tapi aku nggak tahu harus mulai dari mana.” Azka mulai merasa kebingungan dikala sosok kekasihnya sudah berada tepat dihadapannya.
“Dari awal aja biar nggak bingung.” Azof meminum kopi favoritnya.
“Aku, aku, aku…” bibir Azka menjadi gagap.
“Ngomong aja.” Azof memegang tangan Azka.
“Aku mau kita putus.” ucap Azka dengan lantang.
“Apa?” Azof kaget lalu melepaskan genggaman tangannya. “Salah aku apa? Tiba-tiba kamu minta putus.” Azof tidak tahu kenapa Azka tiba-tiba mengatakan kata-kata putus. Padahal di antara mereka berdua tidak terjadi masalah apa-apa. Semuanya baik-baik saja.
“Iya, aku ingin putus.”
“Kenapa?”
“Aku capek Azof harus ngalah terus sama kamu. Kamu selalu saja sibuk dengan pekerjaan kamu atau hobi kamu. Kamu nggak pernah meluangkan waktu buat aku. Buat kita jalan berdua. Nggak pernah sama sekali.”
“Tapi kamu selalu bilang kalau kamu ngertiin aku.”
“Iya, aku tahu. Tapi kalau lama-lama seperti ini aku nggak kuat. Yang aku butuhkan dari kamu cuma perhatian kamu. Komunikasi kita jadi kurang sekarang.”
“Aku mohon kamu pikirin lagi.”
“Aku udah pikirin hal ini dari jauh-jauh hari. Dan aku rasa ini adalah waktu yang tepat.”
“Ini gila Azka, benar-benar gila. Kita itu udah pacaran 5 tahun. Terus kamu ninggalin aku gitu aja?” Azof masih belum terima dengan keputusan Azka.
“Ini bukan masalah waktu. Tapi ini masalah perasaan aku, masalah hubungan kita. Aku perempuan. Aku juga ingin dimengerti. Bukan cuma kamu aja.”

            Seketika suasana menjadi hening Azka dan Azof sama-sama diam. Tak sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka berdua. Azof benar-benar tidak menyangka jika gadis yang sangat ia cintai tiba-tiba ingin mengakhiri hubungan yang telah mereka bina selama 5 tahun lamanya.

“Ok.” Azof memecah keheningan. “Kalau itu mau kamu, aku terima. Tapi satu hal yang harus kamu tahu kalau aku masih sayang sama kamu dan aku masih cinta sama kamu.”
“Maafin aku ya.” air mata Azka mulai bercucuran.


***


“Azof lo ada di rumah nggak sih?” sedari tadi Lian mengetuk-ngetuk pintu rumah Azof, namun tak ada orang yang membukakan pintu untuknya. “Pada ke mana sih nih  orang? Kosong kali ya rumahnya.” Lian menerawang kaca jendela rumah Azof. “Azof…” Lian berteriak sekali lagi.
“Apaan sih lo berisik banget.” Azof membuka pintu. Hampir saja Lian tersungkur, karena Lian bersandar tepat di pintu rumah Azof.
“Kaget gue. Hampir aja gue jatuh.”
“Di situkan ada bel. Ngapain lo mesti teriak-teriak sih. Kayak orang utan aja.”
“Lebih enak teriak. Sekalian melatih vocal gue.”
“Kayak suara lo bagus aja.”
“Bagus banget. Lo mau denger gue nyanyi?”
“Nggak usah makasih, denger suara lo teriak aja kuping gue udah sakit.”
“Sirik aja lo. Bilang aja kalau suara gue merdu. Gue nyanyi yah sekarang.”
Azof keburu menutup mulut Lian dengan tangannya. “Nggak usah nyanyi, nanti gue sakit perut. Ayo masuk.” Azof menyeret tubuh Lian masuk ke dalam rumahnya
Lian melepaskan tangan Azof dari mulutnya. “Tangan lo bau oli.”
“Eh, gue udah cuci tangan kali.”
“Gue dapat undangan dari Azka.” Lian memberikan undangan pernikahan Azka pada Azof.
“Gue udah tahu.”
“Terus?”
“Terus gimana?”
“Lo mau dateng ke pernikahan mereka?”
“Nggak tahu, gimana nanti aja.”
“Lo masih sayang sama dia ya?” kali ini Lian mulai serius.
Azof hanya menghela napasnya. “Gue…” Azof tidak melanjutkan ucapannya.
“Gue tahu lo masih cinta sama dia. Tapi apa mau buat Zof, lo sama Azka memang nggak ditakdirkan buat bersama mungkin.”
“Iya, gue tahu kok.”
“Kalau menurut gue hilangin harapan lo, biar lo nggak kecewa sama yang namanya kenyataan.”
“Terus apa kabar sama harapan lo ke Rasya.?”
“Ah, lo malah ngebahas soal itu lagi.”
“Lho, emang benerkan? Sampai sekarang lo masih suka sama Rasya. Dan yang lebih parahnya lagi lo nggak pernah bilang kalau sebenernya lo itu suka sama dia. Mana Rasya tahu soal perasaan lo.” Azof duduk di sofa.
“Karena gue perempuan. Masa gue harus menyatakan cinta lebih dulu sih.” Lian ikut duduk di samping Azof.
“Emangnya kenapa kalau lo perempuan? Nggak ada yang salah kok. Inget ini soal perasaan. Jangan sampe lo nyesel karena lo nggak pernah punya keberanian untuk kasih tahu dia soal perasaan lo itu.”
“Tapikan…”
“Jangan sampe lo cuma jadi pengagum rahasianya doang.” Azof memotong ucapan Lian.
“Semuanya udah terlambat Zof, dia udah mau nikah juga sama Arsy.”
“Dan sekarang lo nyeselkan? Dari dulu gue udah pernah bilang sama lo kalau lo harus bilang sama Rasya soal perasaan lo. Dan sekarang? Terlambat. Benar, semuanya udah terlambat Lian. Gue nggak mau kalau lo mengalami apa yang gue alami saat ini. Gue nyesel pernah sia-siain kesempatan gue waktu bersama Azka. Dulu gue sering nggak punya waktu buat dia, hingga akhirnya dia pergi dari gue.”
“Lo malah curhat.”
“Gue serius, Lian.”
“Nasib kita sama ya, Zof. Gini amat kisah percintaan kita.” Lian mengeluh.
“Mendingan lo cari cinta yang lain aja deh, dari pada lo mengharapkan Rasya yang udah jelas-jelas milik orang lain.”
“Move on itu susah kali. Lo aja masih belum bisa move on kan dari Azka.”
“Setidaknya gue pernah pacaran sama dia. Kalau lo? Cuma jadi pengaggum rahasianya doang.”
“Biarin aja.” Lian cemberut.
“Besok gue ada tugas ke Papua?”
“Papua?” Lian menghadapkan wajahnya pada Azof tanpa berkedip sama sekali.
“Iya, di desa terpencil. Di sana masih minim puskesmas dan rumah sakit. Jadi gue dan 2 orang temen gue ditugaskan di desa itu.”
“Berapa lama?”
“Gue juga nggak tahu berapa lama? Belum pasti.”
“Lo hati-hati di sana.” Lian sedikit khawatir pada sahabatnya itu.
“Iya, lo tenang aja. Gue kan dokter. Jadi gue bisa jaga diri gue baik-baik di sana.”
“Tetep aja gue khawatir. Apalagi lo dapet tugasnya jauh lagi, mana desanya terpencil”
“Udah, nggak usah lebay kayak gitu. Justru yang gue khawatirin itu elo.”
“Kenapa?”
“lo kan cengeng. Kalau lo nangis siapa yang bakal menghapus air mata lo? Kalau lo sedih siapa yang mau menghibur lo. Sedangkan gue kan gak ada di sini.”
“Gue jadi terharu kalau lo ngomong kayak begitu.” mata Lian mulai berkaca-kaca.
“Baru juga dibilangin, udah mau nangis aja.” Azof meyeka air mata Lian yang hampir jatuh.
“Lo itu bisa jadi apa aja buat gue. Lo bisa jadi sahabat, lo bisa jadi kakak buat gue, dan lo juga bisa berperan sebagai orang tua gue. Sejak mereka nggak ada, lo yang menggantikan posisi mereka untuk selalu jagain gue. Makasih ya, Zof.” Lian memeluk sahabatnya.
“Iya. Lagipula gue kan udah janji sama mendiang ibu lo kalau gue akan selalu jagain lo. Lo itu udah kayak saudara gue sndiri, udah kayak adik gue juga. Kita itu keluarga. Jadi udah pasti kalau gue selalu jagain lo. Ya… walaupun lo suka nyebelin sih.” Azof mengelus-ngelus kepala Lian dalam pelukannya.
“Ah, rese lo.” Lian melepaskan pelukaknnya dari Azof.
“Dih, nangis beneran lo? Tuhkan cengeng.”

            Lian menghapus air matanya yang sudah tumpah saat dirinya berada dalam pelukan Azof. Lian menggambil tissue untuk menghapus air mata dan ingusnya yang kini ikut keluar juga.

“Jorok.” Azof melempar bantal pada muka Lian.
“Biarin.” Lian membalas Azof dengan melempar 2 bantal sekaligus.


Bersambung...

Sunday 27 November 2016

September Bersamamu Part 9

Lian membaringkan badannya di sofa. Dia nampak sangat kelelahan sekali. Sesekali Lian menatap layar handphonenya. Tak ada pesan satupun. Lian membanting handphonenya ke sofa yang satu lagi. Lian menyalakan tv hanya untuk mencari hiburan. Tapi akhirnya Lian tertidur dengan sangat pulas di sofa. 2 jam sudah Lian tertidur. Dan selama Lian tertidur dia lupa tidak mematikan tv.

Lian bangun dari tidurnya. Dia mengucek-ngucek matanya. Lalu Lian pergi ke dapur untuk mengambil minuman.

"Seret banget nih tenggorokan" Lian menuangkan air putih dari teko ke dalam gelas.

Lian meminum airnya sampai habis hingga tak tersisa. Lian menuangkan kembali air putih ke dalam gelasnya, lalu membawanya ke ruang tengah. Sesekali Lian meminum kembali air yang berada di dalam gelas tersebut. Lian mengambil remote tv lalu memindahkan chanelnya. Berulang kali Lian memindahkan chanel tv nya. Tak ada satupun acara tv yang menarik. Akhirnya Lian mematikan tv. Lian melirik handphonenya, lalu dia mengecek handphonenya. Ada satu pesan yang dikirim satu jam yang lalu. Lian membaca pesan tersebut, ternyata pesan itu dari nomor yang tidak ia dikenal.

Besok gue tunggu di Cafe Fortune jam 4 sore. Jangan sampai telat. Kalau lo nggak tahu alamat cafenya telepon gue.

Begitulah isi pesan singkat dari No yang tidak dikenal oleh Lian.

"Siapa sih? Kok nyuruh gue ke Cafe Fortune?

Sorry, lo siapa ya?...

Lian membalas pesan itu. 20 penit sudah Lian menunggu jawaban dari nomor yang tidak dikenal itu. Namun tak ada balasan sama sekali.

"Eh, malah nggak dibalas lagi. Penasaran nih." akhirnya Lian memutuskan untuk menelpon nomor asing itu.

"Hallo." suara seorang laki-laki yang mengangkat telepon dari Lian.

"Lo siapa?"

"Lian."

"Iya, gue. Lo siapa?"

"Gue Sapta." ucap lelaki itu.

"Sapta? Lo kok bisa tahu nomor gue sih?" Lian penasaran.

"Tahulah. Lo kan freelance di kantor gue. Dan data lo ada di kantor gue. Jadi gue tahu nomor handphone lo."

"Oh, iya juga sih." Lian menggaruk kepalanya. "Terus lo ngapain ngajakin gue ketemuan di Cafe Fortune?"

"Masalah kerjaan."

"Kerjaan?" Lian kebingungan.

"Lo datang aja dulu besok. Pulang dari kantor gue langsung ke sana ok. Lo tahu nggak Cafe Fortune di mana? "

"Nggak tahu."

"Lo tuh orang Jakarta apa bukan sih? Masa nggak tahu Cafe Fortune di mana."

"Yeh, gue kan emang jarang nongkrong."

"Pasti lo nggak punya temenkan? Makanya jarang nongkrong. "

"So tahu lo."

"Ya udah deh kalau gitu lo tunggu gue aja di taman yang deket kantor gue. Nanti gue ke situ."

"Tapikan..."

"Jangan sampe telat." Sapta menutup teleponnya.

"Hallo, hallo. Nggak sopan banget sih langsung dimatiin gitu aja. Saraf kali nih orang. Kerjaan apaan coba? Gue kan nggak kerja di kantornya dia. Wah parah nih."


***


Keesokan harinya Lian benar-benar datang ke taman dekat kantor Sapta. Lian duduk di jok motornya. Suasana di taman tidak begitu ramai. Hanya terlihat beberapa orang saja yang sedang menghabiskan waktunya di taman.

"Ngapain gue ke sini ya? Kenapa gue jadi nurut sama dia? Penting banget gitu?" Lian berbicara sendiri.

15 menit sudah Lian menunggu kedatangan Sapta. Namun Sapta belum menunjukan batang hidungnya. Lian melihat sekeliling taman. Dia memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang di hadapannya. Sesekali Lian membetulkan kaca spion motor miliknya.

"Pasti gue dikerjain deh?" pikiran Lian sudah negatif.

Tak lama kemudian Sapta keluar dari dalam kantornya. Dia menghampiri Lian yang sedari tadi sudah menunggunya. Sapta tersenyum ketika melihat Lian yang sudah berada di taman. 

"Dateng juga tuh anak." Sapta menghampiri Lian. "Woy!!!..." Sapta mengagetkan Lian.

"Gue pikir lo cuma ngerjain gue doang." Lian menghadapkan badannya ke arah Sapta.

"Ya, enggaklah. Kita langsung berangkat ya." ajak Sapta. "Gue ngambil dulu motor gue di parkiran. Lo tunggu di sini ya."

"Ok."

"Tunggu gue." Sapta bergegas mengambil motor sport miliknya di parkiran. Sapta melakukannya dengan cepat.

"Berangkat sekarang nih?." tanya Lian pada sapta

"Iyalah."

"Ok deh kalau begitu."

Lian dan Sapta memakai helm mereka masing-masing. Tak butuh waktu lama mereka langsung meluncur ke Cafe Fortune. Lian mengikuti motor Sapta dari belakang. Sesekali Sapta melihat kaca spion motor miliknya. Dia takut kalau Lian akan tertinggal. Sapta mengurangi kecepatan motornya agar Lian bisa menyusulnya. Kini Lian sudah berada tepat di samping Sapta.

"Lo di depan aja?" ucap Sapta pada Lian.

"Apa?" Lian tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Sapta karena kebisingan di jalan raya.

"Lo di depan aja?" Sapta mengulangi ucapannya.

"Gue nggak tahu tempatnya."

"Sebentar lagi sampe, di depan tinggal belok kiri aja."

"Ok." kini Lian sudah berada di depan Sapta.

Akhirnya mereka berdua sudah sampai di depan Cafe Fortune. Lian dan Sapta turun dari motor mereka masing-masing. setelah turun dari motor Lian malah bengong, seperti memikirkan sesuatu.

"Ayo masuk. Malah bengong lo."

"Iya, ayo."

Saat masuk ke dalam Cafe Fortune mata Lian melirik ke kanan dan ke kiri. Dia mengamati setiap sudut Cafe Fortune. Lian sama sekali tidak tahu kalau di Jakarta ada Cafe seasyik ini. Dinding-dinding Cafe Fortune dihiasi oleh photo2 bangunan  jaman dahulu. Kursi dan meja terbuat dari bahan jati. Sebagian dindingnya terbuat dari kayu jati. Lampu-lampu berwarna kuning yang tidak terlalu terang menambah kesan teduh di Cafe Fortune.

"Hei, bro. Udah lama nih lo nggak nongkrong di sini." tiba-tiba seorang laki-laki menyambut kedatangan Sapta.

"Biasalah sibuk di kantor." jawab Sapta.

"Siapa dia?" Lian bertanya-tanya dalam hatinya.

"Wih, bawa cewek lo ke sini? Cewek baru lo?" Laki-laki itu bertanya pada Sapta sambil tersenyum.

"Bukan. Dia temen gue." jawab Sapta.

"Gue pikir."

"Nggaklah."

"Kalau gitu gue ke dalam dulu ya." Pria itu pamit pada Sapta.

"Ayo kita duduk." Sapta mengajak Lian. Mereka berdua duduk saling berhadapan.

"Tadi siapa? Temen lo ya?" Lian bertanya penasaran.

"Iya, dia temen gue. Dan dia yang punya cafe ini."

"Wih, diskon dong makan di sini."

"Kalau buat gue pasti didiskon, kalau buat Lo bayar 100℅."

"Kan sekarang gue temen lo juga. Seharusnya gue juga harus didiskon dong."

"Ngarep lo."

"Hahaha..." Lian hanya tertawa.

"Mau pesen apa?" Sapta menyodorkan menu pada Lian.

"Emh..." Lian berpikir sambil melihat menu.

"Di sini nggak ada sate kambing." ucap Sapta.

"Dih, siapa yang mau pesen sate kambing?"

"Ya kali aja."

"Gue mau steak aja deh."

"Minumnya?"

"Orange jus aja."

"Mbak." Sapta memanggil pelayan.

"Silahkan, mau pesan apa?"

"Steak 2 sama orange jus 2 ya." kata Sapta pada pelayan itu.

"Baik mas. Ada lagi?"

"Itu aja mbak."

"Eh, maksud lo kerjaan apa sih?" Lian bertanya pada Sapta soal maksudnya kemarin.

Sapta menghela nafasnya. "Jadi gini, lo kan suka nulis artikel traveling. Gimana kalau lo juga nulis soal makanan."

"makanan?"

"Iya, soal makanan. Kayak food blogger gitu."

"Emhhh..." Lian terlihat berfikir.

"Gimana, mau nggak?"

"Nulis artikel itu buat kantor lo juga?"

"Iyalah. Masa buat kantor orang lain."

"Ya, siapa tahu aja lo kerja dibeberapa kantor majalah mungkin."

"Heh, gue bukan robot kali."

"Mungkin lo emang bukan robot. Tapi mungkin manusia ajaib."

"Ada-ada aja lo." Sapta tersenyum.

"Ok deh gue setuju."

"Beneran setuju?"

"Beneran."

"Yakin?"

"Yakin gue."

"Ok, kita deal ya." Sapta mengulurkan tangannya pada Lian.

"Deal " Lian menjabat tangan Sapta.

"Nulis artikelnya yang bagus ya."

"Tenang, jam terbang gue udah banyak."

"Sombong."

"Terkadang sombong itu perlu." Lian memainkan alisnya.

"Dih, apaan sih."

"Eh, by the way lo sering ke sini ya?"

"Sering, kan yang punya temen gue."

"Pasti karena sering dikasih makan gratiskan? Makanya lo sering ke sini." Lian menunjuk wajah Sapta.

"Enak aja, gue bayar kali." Sapta tidak terima dengan tuduhan Lian.

"Bohong banget."

"Serius, gue bayar."

"Masa?"

"Beneran."

"Gue nggak percaya."

"Terserah lo."

"Ini makanannya. Silahkan dinikmati." tiba-tiba pelayan perempuan itu datang sambil membawakan pesanan mereka berdua.

"Makasih ya mbak." Lian berterima kasih.

"Sama-sama." 

Saat mereka sedang menyantap makanan mereka, tiba-tiba seseorang menyapa Lian. Dan suara itu sudah tidak asing lagi di telinga Lian. Mata Lian terbelalak ketika melihat seorang laki-laki memakai pakaian casual sedang berdiri tepat di sampingnya. Lian langsung berdiri dari tempat duduknya.

"Ganteng banget." Lian mengaguminya hanya dalam hati.

"Hai, Lian." Rasya menyapa Lian.

"Hai." Lian terlihat gugup.

"Eh, ada Lian." tiba-tiba Arsy datang dan langsung menggandeng tangan Rasya. Seketika itu Lian langsung cemberut. Sapta yang mencium gelagat aneh pada Lian merasa heran.

"Kalian lagi ngedate ya?" Rasya menyangka jika Lian dan Sapta sedang pedekate.

"Nggak kok, kita cuma..."

"Iya kita lagi ngedate." Sapta memotong ucapan Lian.

"Cieee, Lian." Rasya hanya tersenyum.

"Ayo sayang kita duduk." Arsy mengajak Rasya untuk segera duduk.

"Ayo. Selamat bersenang-senang ya Lian." ucap Rasya pada Lian.

Wajah Lian berubah menjadi cemberut, tak ada lagi senyum di wajahnya. Dia menekuk wajahnya, nampaknya Lian benar-benar cemburu. Bagaimana tidak, Arsy mengandeng tangan Rasya tepat di depan matanya. matanya mengamati Rasya dan Arsy yang sedang bermesraan. Lian bangkit dari tempat duduknya, lalu dia pergi keluar cafe tanpa permisi sedikitpun pada Rasya.

"Lian, mau ke mana?" Sapta memanggil Lian, namun Lian tidak menghiraukannya. Dia terus keluar menuju parkiran. Inisiatif Sapta mengejar Lian keluar.

"Gue bete..." Lian ngomel sendiri.

"Lian tunggu." Sapta berhasil meraih tangan kanan Lian dan menariknya. "Lo kenapa sih?"

"Gue nggak kenapa-napa?"

"Lo bohong?"

"Sapta gue mau ngambil tisue di motor gue. Gue mau ke toilet." Lian mencari-cari alasan.

"Di toilet banyak kali tisue."

"Gue mau pake tisue gue."

"Lo nggak usah banyak alasan. Bilang aja kalau lo cemburu sama mereka." Sapta masih memegang tangan Lian.

"So tahu lo."

"Udahlah ngaku aja."

"Sapta lepasin tangan gue." Lian berusaha menarik tangannya namun Sapta enggan untuk melepaskan tangan Lian.

"Nggak. Sebelum lo bilang kalau lo beneran cemburu sama mereka."

"Lo rese ya."

"Iyakan. Dugaan gue bener?"

"Apaan sih?" Lian masih mengelak.

"Dia mantan lo? Dan lo masih cinta sama dia?"

"Bukan."

"Lah, terus."

"Lo nggak usah ikut campur urusan gue."

"Gue nggak ikut campur kok, gue kan cuma nanya."

"Dia bukan mantan gue dan dia bukan siapa-siapa gue, ok." Akhirnya Lian berhasil menarik tangannya dari genggaman Sapta.

"Terus kenapa lo harus cemburu?"

"Gue, gue... Alah nggak penting jugakan."

"Lo suka sama dia." Sapta berhasil menebak perasaan Lian.

"So tahu." Lian melotot pada Sapta.

"Udah, nggak usah ngelak."

"Gue mau pulang."

"Tapikan makannya belum selesai."

"Nggak peduli."

"Lo tunggu dulu di sini. Gue mau bayar dulu makanannya." Sapta masuk ke dalam Cafe Fortune dan membayar semua makanannya. Lalu dia kembali menghampiri Lian.

"Gue nggak jadi pulang. Gue mau jalan-jalan aja."

"Lo mau ke mana?"

"Ke mana aja lah." Lian mengambil kunci motor dari dalam saku celananya.

"Lo mau ke mana sih?" lagi-lagi Sapta menarik tangan Lian, lalu melepaskannya kembali.

"Terserah gue mau ke mana." Lian menghampiri motornya lalu memutar kunci motornya. Dia segera pergi meninggalkan Cafe Fortune.

Sapta tidak tinggal diam, dia menghampiri motornya dan langsung mengikuti Lian dari belakang.

"Mau ke mana sih dia?" Sapta penasaran.

"Kenapa sih selalu aja kayak gini. Kenapa gue susah banget move on dari Rasya." Lian menyalahkan dirinya sendiri. Tanpa terasa air mata Lian terjatuh. Pandangannya menjadi kabur karena air mata yang terus keluar dari matanya. "Gue nggak boleh nangis, bahaya. Gue kan lagi bawa motor." Lian menghapus air matanya.

Lian berhenti di sebuah warung. Tenggorokannya terasa sangat kering. Karena pada saat di Cafe Fortune dia belum menyentuh minumannya. Dia menghampiri warung itu hanya untuk sekedar membeli air mineral. Sapta ikut berhenti di warung tersebut. Lalu membuka helmnya.

"Bu, air mineral satu. Ini uangnya." Lian memberikan uang itu pada pedagang warung.

"Iya, neng."

"Makasih ya, Bu."

"Sama-sama."

Lian langsung meminum air mineral yang telah dibelinya. Dia terus meminum air mineral itu hingga tersisa hanya setengahnya lagi. Lian duduk di bangku sambil mengelap keringat di dahinya.

"Lo hobi banget nangis." Sapta duduk di samping Lian.

"Nggak usah ikut campur urusan gue."

"Gue nggak ikut campur. sayang aja kalau air mata lo itu ditumpahin cuma buat menangisi orang yang sama sekali nggak suka sama Lo."

Lian melirik pada Sapta. "Iya." Lian kembali meminum air mineralnya.

"Iya apa?."

"Yang barusan." Lian mulai tersenyum.

"Lo aneh ya."

"Aneh kenapa?" Lian mengerutkan keningnya.

"Tadi lo nangis, sekarang malah senyam-senyum. Gila lo ya?"

"Siapa yang nangis?" Lian mengelak.

"Keliatan kali, tuh mata lo jadi agak sipit begitu. Kayak yang bintitan."

"Enak aja." Lian menyenggol pundak Sapta.

"Gue nggak suka liat lo nangis."

"Kenapa?" Lian memicingkan matanya

"Kalau gue liat lo itu orangnya ceria. Jadi aneh aja kalau liat lo nangis kayak gitu. Apalagi nangis kayak barusan. Nggak penting banget deh."
Lian hanya tertawa sambil melempar botol bekas air mineralnya ke dalam tong sampah. "Tapi menurut gue penting kok."

"Kenapa penting?" Sapta memandang ke arah Lian.

"Gue juga nggak tahu kenapa. Gue cuma asal ngomong aja."

"Dasar lo."

"Gue pulang dulu ya." Lian bangkit dari bangku.

"Katanya nggak mau pulang."

"Berubah pikiran." Lian segera menaiki motornya, dan memakai helmnya.

"Hati-hati lo."

"Iya."

"Jangan sambil nangis. Entar lo nabrak lagi."

"Iya, bawel." Lian segera meluncur dengan motornya.

"Jangan lupa artikelnya." Sapta berteriak pada Lian.

"Iya." 




Bersambung