Saturday 10 December 2016

September Bersamamu Part 14 (Last Part)

Lian sedang membereskan ruangan Sapta. Dia merapihkan beberap file-file penting lalu menyusunya satu persatu-satu ke dalam lemari arsip.
“Rajin banget.” tiba-tiba Sapta berada tepat di belakang Lian.
“Saya selalu membereskan ruangan bapak, jadi bukan kali ini saja saya rajin.”
“Oh, gitu.” Sapta duduk di kursinya. Lalu dia menatap Lian tanpa berkedip sama sekali. Sesekali Sapta tersenyum kecil karena melihat Lian.
“Maaf, ada yang salah dengan penampilan saya?” Lian melirik bajunya sendiri.
“Nggak ada yang salah kok. Cuma warna lipstick kamu diganti ya? Agak merah gimana gitu warnanya.” Sapta sangat memperhatikan hal sekecil apapun yang dipakai oleh Lian.
“Bapak nggak ada kerjaan ya sampai-sampai memperhatikan warna lipstick saya?” Lian mulai kesal pada Sapta.
Sapta bangkit dari tempat duduknya dan dia menghampiri Lian. “Kamu jangan galak-galak gitu sama aku, soalnya aku nggak mau galakin kamu balik. Aku kan sayang sama kamu.” kata-kata itu terdengar jelas oleh telinga Lian.
“Sejak kapan dia bilang aku kamu? Biasanya juga lo gue.” Lian berbicara dalam hatinya. Dan dia heran dengan sikap Sapta yang mendadak jadi manis seperti ini.
“Kok diem aja sih sayang?” Sapta mulai bersikap mesra pada Lian.
“Bapak panggil siapa?”
“Kamu. Kamu kan sekarang pacar aku.”
“Sejak kapan kita pacaran?”
“Semalam.” Sapta semakin mendekatkan wajahnya pada Lian, bahkan sekarang Sapta sudah memegang pinggang Lian dengan kedua tangannya.
“Gue nggak pernah terima lo.”
“Shut, jangan berisik. Ini kantor. Inget aku atasan kamu, jadi kamu harus melakukan apapun yang aku mau. Termasuk jadi pacar aku.”
“Lo sinting ya.”
“Nggak kok.” Sapta membelai pipi Lian. Sapta hampir saja mencubit pipi Lian yang agak chubby, namun Lian keburu menghindar karena handphonenya berbunyi.
Ternyata Lian mendapat pesan singkat dari Rasya yang mengingatkan bahwa Lian harus datang ke acara pernikahannya besok malam. Lian hanya mematung setelah membaca pesan singkat itu. Matanya mulai berkaca-kaca. Sapta yang melihat Lian seperti itu merasa khawatir.
“Kenapa Lian?”
Lian tidak menjawab pertanyaan Sapta, Lian hanya memandangi layar handphonenya terus-menerus. Lian ingin sekali berteriak kalau dialah satu-satunya orang yang tidak setuju dengan pernikah Rasya dan Azka. Sapta merebut handphone yang sedang dipegang oleh Lian, lalu dia membaca pesan singkat itu.
“Udah kamu jangan nangis.” Sapta memegang bahu Lian. “Masih ada aku.” Sapta mulai menghapus air mata Lian.
            Sapta menarik tubuh Lian ke dalam pelukannya, Sapta mengelus kepala Lian dengan lembut. Sapta dapat merasakan apa yang kini dirasakan oleh Lian. Pasti hatinya benar-benar hancur.
“Kamu mau datang ke acara pernikahan mereka?”
“Nggak mau.” Lian masih berada dalam pelukan Sapta.
“Kamu harus datang Lian, kamu nggak boleh lemah kayak gini. Kamu datang sama aku ya.” Sapta membujuk Lian agar dia hadir di resepsi pernikahan Rasya.
“Nggak.” Lian mulai terisak menangis.
“Pokoknya kamu harus datang, aku yang akan temenin kamu di sana. Biar kamu nggak sendiri. Mau ya?”
“Iya.” Lian menganggukan kepalanya.
“Nanti pulang kerja aku antar pulang ya.”
“Iya.”
***
            Malam yang tak ingin ditemui oleh Lian pun akhirnya datang juga. Sapta datang ke rumah Lian untuk menjemputnya. Lian sudah bersiap-siap sedari tadi. Lian menngenakan gaun merah marun selutut. Rambutnya ditata sedemikian rupa. Lian terlihat sangat cantik malam itu. Wangi tubuh Lian tercium oleh hidung Sapta. Aromanya seperti bau sabun. Begitu fres.
“Udah siap?” tanya Sapta pada Lian.
“Udah.”
“Ok, kita berangkat sekarang.”
            Sapta dan Lian langsung pergi menuju gedung tempat resepsi Rasya dan Azka. Sebenarnya Lian malas datang ke acara pernikahan mereka, karena Lian takut kalau dia akan menangis. Tapi untunglah ada Sapta yang menemaninya. Jadi jika terjadi sesuatu pada Lian, Sapta siap membantu Lian dengan tulus.
            Lian dan Sapta sudah sampai di depan gedung pernikahan Rasya dan Azka. Lian menarik nafasnya dalam-dalam sebelum masuk ke dalam.
“Kamu harus tenang ya. Jangan baper.” Sapta memegang tangan Lian.
“Enggak kok.”
“Ok, kita masuk sekarang.
            Perasaan Lian campur aduk, tak karuan sama sekali. Lian berusaha untuk bisa menerima kenyataan bahwa Rasya memang bukan untuknya. Lian yakin jika ini sudah menjadi takdir Tuhan. Lian hanya bisa pasrah dan berusaha ikhlas menerima semuanya.
            Sapta mulai memegang pinggang Lian dari belakang. Mereka berjalan menuju kursi pelaminan. Rasya dan Azka tersenyum bahagia di sana. Terlihat sekali raut kebahagian di wajah mereka.
“Akhirnya kamu datang  juga Lian. Azof mana?” Rasya menyadari jika Azof tak bersama Lian.
“Azof lagi tugas di Papua. Dia belum pulang. Harusnya sih dia pulang bulan ini. Tapi karena ada Kendala gitu dia nggak jadi pulang. Aku juga nggak tahu sih dia pulangnya kapan.” jawab Lian dengan santai.
“Oh  gitu, jauh juga ya di Papua..”
“Selamat ya.” Lian memberikan ucapan selamat pada pengantin baru.
“Iya, Lian makasih ya.” Azka tersenyum.
“Ini siapa?” Azka bertanya pada Lian.
“Pacar.” Lian mengakui Sapta sebagai pacarnya.
“Oh, pacarnya. Cepet nyusul ya kalian.” Azka mendoakan Sapta dan Lian.
“Amin.” ucap Sapta dan Lian bersamaan.
            Sapta dan Lian menikmati makanan yang dihidangkan, sesekali mereka tertawa bersama. Nampaknya Lian sudah tidak memperdulikan Rasya lagi. Kini Rasya sudah bahagia bersama keluarga barunya. Lian harus bisa move on. Lagipula sekarang sudah ada Sapta. Pria yang mencintainya. Untuk apalagi Lian memikirkan Rasya yang sudah jelas-jelas milik orang lain.
            Jam sudah menunjukakn pukul 22.00 malam. Sapta harus segera mengantar Lian pulang ke rumahnya. Lian turun dari dalam mobil, begitupun dengan Sapta.
“Lian, tunggu.” Sapta menghentikan langkah Lian.
“Ada apa?” Lian menoleh pada Sapta.
“Soal tadi yang kamu bilang kalau aku itu pacar kamu…”
“Oh, itu. Itu emang mau kamu kan? Kamu kan bos aku, jadi aku harus mau melakukan apapun yang diperintahkan oleh bosnya.” Lian memotong ucapan Sapta.
“Kamu serius, Lian?” Sapta masih tak percaya.
“iya, aku serius.”
“Jadi sekaramg kita jadian nih?”
“Bukannya dari kemaren ya kita udah pacaran. Kan kamu yang bilang sendiri.” Lian tersenyum.
“Yes!!!.” Sapta kegirangan.
“Makasih ya.” kata Lian pada Sapta.
“Buat apa?” Sapta kebingungan
“Buat semuanya.”
“Semuanya?” Sapta semakin kebingungan.
“Karena selama ini kamu udah selalu ada buat aku. Kamu melebihi dari seorang sahabat. Kamu itu sering bikin aku kesel, bikin aku jengkel, bikin aku marah dan…” Lian tidak melanjutkan ucapannya.
“Dan apa?”
“Dan bikin aku kangen.”
“Kamu kangen sama aku?”
“Emhh… Mungkin iya mungkin enggak.” Lian sedikt berpikir.
“Ih, kamu nyebelin.” Sapta menggelitik pinggang Lian.
“Sapta, geli.”
“Cinta itu lucu ya.”
“Kok lucu sih.”
“Ya, lucu aja. Semakin sering kita ketemu malah semakin kangen.”
“Kangen nggak sama aku?” Lian mendekati Sapta.
“Aku selalu kangen sama kamu.” Giliran Sapta yang semakin mendekatkan tubuhnya ke arah Lian.
“Masa?”
“Iya, serius.” Sapta mulai memeluk tubuh Lian. “Kamu nggak mau ngucapin apa gitu sama aku.”
“Emangnya aku harus ngucapin apa?”
“Aku ulang tahun hari ini.”
“Serius?” Lian melepaskan tubuhnya dari dekapan Sapta.
“Iya. Aku beneran ulang tahun hari ini. Tepat tanggal 24 September.”
“Yang ke berapa tahun?”
“25 tahun.”
“Dih, udah tua.” Lian malah meledek Sapta.
“Itu bukaan tua, tapi matang.”
“Kalau udah matang sebentar lagi busuk dong.”
“Lian!!!.” Sapta mencubit pipi Lian dengan gemas.
“Aw, sakit.” Lian memegang pipinya. “Aku belum siapin kado buat kamu. Soalnya aku nggak tahu kalau hari ini kamu ulang tahun.”
“Nggak apa-apa kok, kamu hadiah buat aku.” Sapta kembali memeluk tubuh Lian. “Selama bulan September kita selalu sama-sama. Kita kerja bareng, makan siang bareng, menghabiskan waktu bareng. Dan aku senang bisa melakukan semuanya sama kamu.”
“Asal jangan bobo bareng ya?”
“Jangan dong, kitakan belum nikah. Nanti tunggu waktu yang tepat, Lian.”
“Kapan?”
“Besok mau aku langsung ajak ke penghulu?”
“Nggak kecepetan itu.”
“Kan lebih baik begitu.”
            Lian hanya tertawa kecil dipelukan Sapta. Sapta menatap wajah Lian lumayan lama. Dia mengelus pipi Lian, mengusap wajahnya dan membelai hidung Lian. Sapta benar-benar mencintai gadis yang ada dihadapanya. Sapta tidak menyangka jika Lian kini sudah menjadi miliknya. Sapta semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Lian. Degup Jantung Lian berdetak tak beraturan. Semakin Sapta mendekatkan wajahnya, jantung Lian semakin berdetak dengan kencang. Dan entah bagaimana kejadiannya, kini bibir Sapta sudah menempel pada Bibir Lian. Sapta mengecupnya dengan sangat hati-hati. Cukup lama sapta mencium bibir Lian dan itu membuat lutut Lian menjadi lemas. Untung saja Sapta sambil memegang tubuh Lian. Jiak tidak, mungkin saja Lian sudah terjatuh lemas. Dan Sapta adalah laki-laki pertama yang berhasil mencium bibir Lian. Sekaligus pacar pertama Lian.
            Lian memang bukan yang pertama bagi Sapta. Tapi kali ini Sapta ingin menjadikan Lian sebagai wanita terakhirnya. Sapta berharap jika hubungannya dengan Lian bisa sampai ke jenjang pernikahan. Sapta sangat mendambakan sekali jika kelak nanti Lian akan menjadi ibu dari anak-anaknya.
Selesai

September Bersamamu Part 13

Saat berada di dalam kantor tiba-tiba Dita datang ke ruangan sapta. Dia langsung marah-marah. Rupanya Dita masih tidak terima dengan kejadian semalam. Apalagi Sapta lebih memilih untuk pergi bersama Lian ketimbang dirinya.
“Sapta, aku nggak terima ya. Pokoknya aku nggak terima.” Dita marah-marah
“Nggak terima apa sih?:
“Soal kejadian semalam.”
“Oh, soal itu.”
“Iya, kenapa kamu ninggalin aku Sapta?”
“Lo itu udah keterlaluan sama Lian. Kata-kata lo juga kasar banget. Gue nggak suka kalau ada cewek yang ngomongnya kasar.”
“Dia itu emang perempuan murahan.”
“Dita cukup!!!.” Sapta membentak Dita.
“Oh, kamu mulai berani ya sama aku? Kamu mau aku pecat?” Dita mengancam Sapta.
“Dipecat? Silahkan. Karena sebelum lo pecat gue, gue yang akan mengundurkan diri. Besok gue akan kirim surat pengunduran diri gue.”
“Sapta aku cuma bercanda.”
“Buat gue itu serius.”Sapta membereskan barang-barangnya.
“Sapta aku bercanda doang. Tolong Sapta, kamu jangan resign dari kantor ini.’
“Udah terlanjur, mulai hari ini gue udah nggak kerja lagi di kantor ini. Permisi.” Sapta langsung pergi meninggalkan kantor majalah itu.
“Sapta tunggu, Sapta, Sapta.” Dita memanggil-manggil Sapta. Namun nyatanya Sapta tidak menghiraukannya.
“Sial!!!.” Dita menendang tong sampah yang berada didekatnya
            Keesokan harinya Sapta benar-benar mengirimkan surat resignnya. Mulai hari ini Sapta sudah tidak bekerja lagi di kantor majalah Dita. Memang sangat disayangkan sekali keputusan Sapta yang sangat mendadak ini, mengingat Sapta sudah memiliki jabatan di kantor majalah itu. Apalagi Sapta juga sudah bekerja selama 5 tahun lebih di kantor majalah itu. Sapta memang sudah muak dengan sikap Dita yang menurutnya tidak tahu sopan santun dan suka mengumpat. Sapta berusaha bersabar menghadapi sikap Dita. Namun kali ini Sapta benar-benar sudah habis kesabaran untuk menghadapi sikap Dita.
            Satu minggu sudah Sapta resign dari kantor majalah Dita. Dita benar-benar menyesal dengan ucapannya. Andai saja waktu itu Dita tidak berbicara seperti itu, mungkin saja sapta masih bekerja di kantor majalahnya. Kini Dita hanya bisa memandangi ruangan Sapta yang kini sudah kosong. Dan belum ada orang yang menggantikan posisi Sapta
***
“Lian, tolong kamu segera ke ruangan saya secepatnya.” Pak Surya menelpon Lian melalui telepon kantor
“Baik, Pak.” Lian segera pergi menuju ruangan Pak Surya.
Saat tiba di depan ruangan Pak Surya Lian langsung mengetuk pintunya “Permisi.”
“Masuk.”
“Ada apa ya bapak panggil saya?” Lian begitu penasaran, karena tiba-tiba saja Pak Surya memanggil Lian ke ruangannya. Apa Lian melakukan kesalahan yang membuat dirinya dipanggil langsung oleh pemilik perusahaan.
“Duduk dulu Lian.”
“Iya.” Lian duduk saling berhadapan dengan Pak Surya. Lian begitu deg-degan, karena dia takut akan dipecat.
“Begini, Lian. Saya mau kamu tidak bekerja lagi sebagai sekretaris Manager.”
“Bapak pecat saya?” spontan wajah Lian langsung berubah.
“Oh, tidak. Saya tidak pecat kamu Lian. Saya mau mulai hari ini kamu menjadi asisten pribadi seorang Direktur Utama.”
“Saya jadi asisten bapak gitu?”
“Bukan, tapi asisten anak saya. Dia yang akan menggantikan posisi saya. Karena dalam hitungan jam saja saya sudah tidak menjabat sebagai Dirut lagi. Semuanya sudah saya serahkan pada anak saya. Dan dia mau kalau kamu menjadi asisten pribadinya. Ini permintaan langsung dari anak saya. Nanti siang dia akan datang ke kantor ini.”
“Kenapa semuanya serba dadaka Pak?”
“Ini tidak dadakan. Hanya saja kamu baru tahu hari ini. Begitu Lian.”
“Oh, begitu.”
“Bagaimana, kamu siap menjadi asisten pribadi anak saya?”
“Saya siap, Pak?”
“Bagus, kalau begitu kamu boleh minggalkan ruangan ini.”
“Baik Pak, terima kasih.” Lian meninggalkan ruangan Pak Surya.
“Sama-sama.”
            Lian sudah selesai makan siang, dia harus segera kembali bekerja. Tapi Lian disuruh menunggu di ruangan Direktur Utama oleh Pak Surya. Karena sebentar lagi anak pemilik perusahaan akan datang. Sementara Pak surya sudah pulang terlebih dahulu.
“Ini gila. Masa gue disuruh kenalan langsung sama Dirut yang baru tanpa perantara siapapun.” ucap Lian dalam hatinya.
“Liana Maharani.” tiba-tiba sebuah suara mengagetkan Lian. Dan Lian yakin jika suara itu adalah suara Dirut yang baru.
Lian langsung bangkit dari tempat duduknya. “Iya, Pak Saya.”
“Balik badan.”
“Iya, Pak.” Lian berbalik badan, dan dia kaget ketika melihat sosok laki-laki yang sangat ia kenal. “Sapta, lo ngapain di sini?”
“Gue kerja di sini. Soalnya gue udah resign dari tempat kerja yang kemaren.”
“Kenapa Resign?”
“Nggak usah kepo deh.”
“Terus ngapain lo di sini?”
“Gue? Gue gantiin posisi bokap gue.”
“Jadi lo anaknya Pak Surya?”
“Iya.” Sapta menganggukan kepalanya.
“Pantesan aja waktu itu lo bilang kalau lo tahu soal PT. Suryatex. Iya, iyalah inikan perusahaan bokap lo.”
“Haha…” Sapta hanya tertawa.
“Terus kenapa lo kerja di tempatnya Dita. Kalau ternyata orang tua lo kaya raya.”
“Gue kerja di sana cuma buat bantuin perusahaan punya Om Ali. Soalnya dia itu teman baik orang tua gue. Dan gue juga pengen mandiri juga. Gue pengen ngerasain kerja di tempat orang itu kayak gimana. Dan inilah saatnya gue menggantikan posisi bokap gue. Kasian papa, udah saatnya dia itu pensium. Duduk manis di rumah. Biar gue aja yang kerja.”
“Anak berbakti.” Lian salut pada Sapta.
“Ok, Lian. Sekarang lo pijitin pundak gue. Pegel banget nih nyetir mobil terus dari kemaren.” Sapta langsung menyuruh Lian untuk memijit pundaknya sebagai tugas pertama sebagai seorang asisten pribadi Direktur Utama.
“Lo pikir gue tukang pijit apa?” Lian menolak permintaan Sapta.
“Ingat, Lian. Ini kantor. Jadi lo harus sopan sama gue. Panggil gue Bapak. Nggak ada istilahnya lo gue. Apalagi sekarang gue adalah atasan lo.” Sapta mulai memberi peraturan bahwa jika di dalam kantor Lian harus memanggilnya Pak Sapta.
“Iya, deh.”
“Bagus. Sekarang pijitin gue.” Sapta duduk di kursi.
            Perlahan-lahan Lian mulai memijit pundak Sapta. Sebenarnya Lian tidak mau melakukan ini, tapi mau bagaimana lagi, sekarang dia adalah asisten pribadinya Sapta. Rupanya Sapta mulai keenakan dipijat oleh Lian.
”Lo mahir juga ya pijitnya. Enak.”
“Katanya nggak boleh pake lo gue. Tadi ngomongnya pake lo gue jugakan?’ Lian protes.
”Gue kan bos di sini. Jadi terserah gue. Kalau lo harus sopan sama gue.”
“Iya.” Lian ingin sekali menjitak kepala Sapta.
“Agak ke atas Lian, leher gue juga dipijit. Nah itu baru enak banget.”
“Kalau bukan bos gue udah gue jedotin deh kepalanya ke tembok.” Lian ngomel dalam hatinya.
“Lian.” Sapta memanggil Lian.
“Apa?”
“Lo udah punya pacar nggak sih?”
“Kenapa bapak tanya-tanya masalah pribadi saya?” Lian masih memijit leher Sapta.
“Gue kan cuma nanya doang. Nggak boleh?”
“Boleh, Pak.”
“Punya pacar nggak?” Sapta bertanya sekali lagi.
“Nggak, Pak?”
“Serius?” Sapta tidak percaya.
“Serius, Pak.”
“Oh.” hanya kata itu yang keluar dari mulut Sapta.
            Sapta mulai merasa enak dipijat oleh Lian, sesekali matanya terpejam karena menikmati sentuhan dari tangan Lain. 
“Mulai besok lo harus bikinin gue sarapan. Setiap pagi titik nggak pake nawar.”
“Sarapan pagi? Setiap hari?”
“Yaps, setiap hari.”
“Tapikan…”
“Kenapa? Lo bisa masakkan?”
“Ya, bisa tapi…”
“Nggak ada tapi-tapian. Kan gue udah bilang nggak pake nawar.”
“Tapi, Pak.”
“Nggak bisa nawar.”
“Ini bos ngejengkelin banget sih.” lagi-lagi Lian ngomel dalam hatinya.
***
            Keesokan harinya Lian benar-benar membuatkan sarapan untuk Sapta. Lian membawa roti sandwitch dan susu. Lian datang lebih awal karena dia tidak mau kena omel oleh Sapta. Lian menaruh Sarapan yang sudah dibuatnya di meja Sapta. Tak lama kemudian Sapta datang.
“Hei, Lian kamu sudah datang.”
“Sudah, Pak.”
“Itu sarapan buat saya?”
“Iya.”
            Sapta duduk di kursinya, dia mengamati makanan yang dibawa oleh Lian. Sangat kebetulan sekali Lian membawakan susu untuknya. Sapta memang sangat menyukai susu.
“Ini semua lo yang bikin? Soalnya gue nggak mau makan kalau ini bukan buatan lo.” ucap Sapta pada Lian.
“Itu saya yang bikin, Pak.”
“Awas ya kalau lo bohong.”
“Nggak, Pak.” 
            Sapta mulai membuka misting yang berisi sandwitch. Ia mengambil dengan tangannya dan langsung menyantapnya. Perlahan-lahan Sapta mulai mengunyah roti sandwitch itu.
“Rasanya lumayan.”
“Bilang aja enak, Pak.”
“Ok, enak.”
            Sapta melahap semua sarapannya hingga tak ada yang tersisa. Sapta begitu menikmati makannan yang dibuat oleh Lian. Dia tidak menyangka jika Lian bisa membuat roti sandwitch seenak ini. Dengan perut yang terisi, Sapta jadi lebih berkonsentrasi untuk bekerja.
            Lian duduk di sofa yang berada di ruangan Sapta. Lian mencatat apa saja yang akan dia kerjakan hari ini di note kecil. Lian mengenakan kemeja putih berenda dan memadupadankan dengan rok mini berwarna merah menyala. Roknya sekitar 7 cm di atas lutut. Sangat kontras sekali dengan paha Lian yang mulus. Lian memang memiliki warna kulit yang tidak terlalu putih. Kulitnya sama seperti kebanyakan warga Negara Indonesia lainnya. Sedikit coklat. Namun kulit tubuhnya sangat terawat. Perawakan Lian tidak terlalu tinggi, hanya 160 cm. Lian memiliki tubuh agak berisi, sehingga tubuhnya terlihat sedikit montok bila dibandingkan dengan karyawan yang lainnya.apalagi ditambah dengan bokong dan dada yang agak lumayan besar. Terkadang membuat karyawan laki-laki betah berlama-lama menatap Lian.
            Sapta yang sedari tadi memperhatikan Lian dari ujung kaki sampai ujung rumbut tidak dapat berkonsentrasi sama sekali. Apalagi ketika Sapta melihat kaki, paha dan tangan Lian yang dipenuhi oleh bulu-bulu halus. Konsentrasinya benar-benar buyar.
“Lian.” Sapta menghampiri Lian.
“Iya, Pak?” Lian langsung berdiri
            Sapta semakin mendekat pada Lian, bahkan jaraknya kini hanya 5 cm saja dari tubuh Lian. Lian merasa aneh kenapa Sapta bisa sampai sedekat ini. Sapta terus mendekatkan wajahnya ke arah Lian. Dan dia membisikan sesuatu.
“Rok kamu kependekan, aku jadi nggak bisa konsentrasi kerja gara-gara melihat bulu-bulu halus di kaki kamu. Besok kamu bisa ganti dengan celana panjang.”
“Iya, Pak.” Lian merasa sangat malu sekali ketika Sapta berkata seperti itu.
            Hari demi hari Lian dan Sapta semakin dekat saja. Mereka sering menghabiskan waktu bersama. Mereka sering bercanda satu sama lain. Ketawa bersama, terkadang mereka terlibat percekcokan yang membuat mereka berantem dan musuhan. Namun mereka akur dengan sendirinya
Sudah sejak lama Sapta memang menaruh hati pada Lian. Namun dia belum berani mengungkapkannya. Sapta takut jika Lian akan menolaknya. Sapta tahu jika Lian menyukai laki-laki lain. Rasya namanya. Lian begitu mencintai Rasya. Walaupun dia tahu jika Rasya sudah memiliki calon istri.
“Lian, masih aja lo mikirin cowok itu?” Sapta bersandar di kursi yang diduduki oleh Lian. Mereka berdua baru saja pulang bekerja, dan mereka sering menghabiskan waktu bersama di Cafe Fortune.
“Gue juga nggak tahu.”
“Sekeras apapun lo berjuang buat dia, kalau di hatinya ada orang lain, percuma.”
            Lian hanya terdiam tanpa menjawab sepatah katapun.
“Sekarang mana cowok yang lo suka itu? Apa dia peduli sama lo? Enggakkan?”
“Sapta cukup. Ini urusan hati gue. Lo nggak usah ikut campur.”
“Gue cuma kasian sama lo. Lo berharap sesuatu, sementara lo sendiri nggak pernah berusaha untuk mendapatkan hal itu. Untuk mendapatkan cinta lo, kebahagian lo. Lupain Rasya.”
“Apa? Gue nggak bisa lupain dia.”
“Lo pasti bisa.”
“Nggak bisa.”
“Apa dia begitu berharga buat lo? Apa lo nggak bisa buka hati lo buat orang lain?”
“Buat siapa?”
“Buat gue.” Sapta mengucapkannya dengan sangat jelas.
“Maksud lo?” Lian tidak mengerti.
“Lo pikir selama ini gue baik sama lo itu kenapa, karena gue suka sama lo.”
“Baik dari mananya? Lo itu nyebelin, suka bikin gue kesel.”
“Karena itu gue nyari cara supaya gue bisa deket-deket sama lo. Bahkan gue minta sama bokap gue agar lo bisa jadi asisten pribadi gue. Itu semua gue lakuin biar gue bisa sama-sama terus sama lo.” akhirnya setelah sekian lama meunggu, Sapta mengungkapkan semua isi hatinya pada Lian.
“Lo, serius?” Lian Nampak tak percaya.
“Gue serius.”
“Gue nggak suka sama lo.”
“Gue nggak peduli.”
“Sekeras apapun lo berjuang buat gue, kalau di hati gue ada orang lain, percuma.” Lian mengutip kalimat Sapta yang tadi Sapta ucapkan pada Lian.
“Eh, itu kata-kata gue.”
“Lo mau apa kalau gue nggak suka sama lo?”
“Gue mau dapetin hati lo.” Sapta mulai menggombali Lian.
“Idih, ngarep lo.”
“Mulai sekarang lo jadi pacar gue.”
“Kapan gue terima lo jadi pacar gue?”
“Sekarang.”
“Lo, gila ya?” Lian memegang dahi Sapta.
“Iya, gila karena lo.”
“Ilfil gue sama lo.”
“Gue suka deh kalau liat lo marah-marah kayak gitu. Keliatan lebih cantik.” Sapta terus menggombali Lian.
“Gue benci sama lo, Sapta.”
“Tapi gue cinta sama lo. Gimana dong?”
“Terserah lo, gue mau pulang.” Lian meninggalkan Sapta.
“Mau gue antar pulang nggak?” sapta berteriak pada Lian.
“Enggak, makasih.”
            Sapta hanya tertawa melihat tingkah Lian. Meskipun Sapta mendapat penolakan dari Lian, namun Sapta lega karena dia sudah mengungkapkan sisi hatinya pada Lian dan dia menganggap jika Lian sudah resmi menjadi pacarnya.
“Lo nggak bisa kabur dari gue Lian.” Sapta begitu percaya diri.
Bersambung…

Friday 9 December 2016

September Bersamamu Part 12

Tanpa terasa Lian sudah selesai diinterview. Lian hanya menunggu hasilnya saja. Dalam hati Lian selalu berdoa kalau dia akan di terima kerja di perusahaan garmen itu Sebagai sekretaris.
"Semoga gue diterima di perusahaan ini."
3 hari kemudian Lian mendapat telepon dari dari PT. Suryatex yang menyatakan bahwa dirinya diterima bekerja di sana sebagai seorang sekretaris. Lian begitu bersyukur, karena selain akan mendapatkan teman baru, tentunya hal ini akan menambah pundi-pundi rupiahnya.
Hari demi hari Lian jalani tanpa ada sosok Azof, sahabatnya. Mereka hanya berkomunikasi lewat telepon atau dunia Maya. Komunikasi antara mereka sangat terjaga walaupun terkadang mereka berantem hanya gara-gara hal sepele. Tapi mereka tetap menjadi sahabat sampai saat ini.
Tanpa terasa 3 bulan sudah Lian bekerja di PT. Suryatex. Dia begitu menikmati pekerjaan barunya itu. Kini Lian sudah tidak menjadi penulis lepas lagi di kantor majalah. Lian fokus pada pekerjaannya dan masih tetap bisa ngeblog disela-sela waktu senggangnya. Dan terkadang Lian masih menyempatkan waktu untuk menulis novel. Kini Lian sudah mengurangi kebiasaan cengengnya. Lian mulai mengurangi air matanya yang sering keluar. Itu semua berkat Azof. Azof selalu menasehati Lian agar dia menjadi wanita yang tegar. Tidak mudah menyerah. Walaupun sekarang Azof tidak berada di sisi Lian. Tapi Azof selalu berusaha menjadi sahabat yang baik bagi Lian. Azof selalu setia mendengar keluh kesah Lian. Begitupun sebaliknya.
"Enaknya pulang kerja ke mana ya?" Lian berpikir sejenak. "Ah gue mau jalan-jalan ke mal. Sekalian gue mau beli sepatu."
Setelah pulang kerja Lian langsung pergi ke salah satu mal yang sangat sering sekali ia kunjungi dulu bersama Azof. Hari ini Lian sengaja tidak membawa sepeda motornya, karena tangan kiri Lian diperban akibat jatuh dari motor 2 hari yang lalu.
Lian menghampiri salah satu toko sepatu di mal tersebut. Lian melihat-lihat sepatu sport, matanya melirik ke sana dan ke sini mengamati semua sepatu di dalam toko.
"Pilih yang mana ya?" Lian kebingungan.
Saat Lian sedang mencoba sepasang sepatu sport berwarna putih tiba-tiba saja ada yang menyapanya dari belakang.
"Lian."
Lian melirik ke arah belakang untuk melihat siapa yang menyapanya. "Sapta."
"Wah, gue nggak nyangka kita bisa ketemu di sini ya."
Lian tersenyum "iya."
Sapta memperhatikan pakaian yang dipakai oleh Lian, Lian mengenakan kemeja berwarna biru tua, dan memakai rok selutut. Persis seperti orang kantoran.
"Baju kamu kok kayak orang kantoran gitu sih?"
"Iya, sekarang gue kerja."
"Lo kerja di mana?"
"Di perusahaan garmen."
"Perusahaan garmen kan banyak."
"PT. Suryatex."
"PT. Suryatex?"
"Iya." Lian menganggukan kepalanya. "Kenapa?"
"Nggak, gue kayaknya tahu aja soal perusahaan itu."
"Oh, iya?"
"Iya, ya udahlah lupain aja. Lo di sana kerja bagian apa?"
"Sekretaris."
"Oh, pantesan aja lo keliatan cantik." Sapta memuji Lian.
"Haha..." Lian tertawa karena Lian merasa jika baru kali ini ada laki-laki yang bilang bahwa dia cantik. Sahabatnya sendiripun tidak pernah mengatakan hal seperti itu. "Gue mau bayar dulu sepatunya ya."
"Ok."
Setelah membayar sepatunya di kasir Lian langsung pamit pada Sapta karena Lian ingin segera pulang.
"Nanti dulu Lian, kita ngobrol-ngobrol aja dulu." ucap Sapta pada Lian.
"Lain waktu aja ya, gue capek mau pulang."
"Oh, gitu. Eh, tangan lo kenapa?" Sapta baru menyadari tangan kiri Lian yang diperban.
"2 hari yang lalu gue jatuh dari motor. Makanya sekarang gue nggak bawa motor. Gue buru-buru pulang karena takut udah nggak ada kendaraan umum."
"Makanya lo tuh hati-hati kalau bawa motor. Ya udah gue anterin lo pulang. Gue bawa mobil kok."
"Nggak usahlah."
"Udahlah, ayo." Sapta menarik tangan kanan Lian.
"Ok." akhirnya Lian mau diantar pulang oleh Sapta.
Lian dan Sapta masuk ke dalam mobil. Saat berada di dalam mobil mereka tak banyak bicara. Lian jadi lebih pendiam dari biasanya. Sapta yang sesekali melirik Lian merasa kebingungan dengan sikap Lian hari ini. Lian yang biasanya selalu mengajaknya berdebat, kini tak mengeluarkan sepatah katapun dari bibirnya.
Tak butuh waktu lama untuk sampai di rumah Lian. Kurang dari 30 menit saja mereka sudah sampai di depan rumah Lian. Mereka turun dari mobil.
"Ayo kita masuk dulu." Lian mengajak Sapta masuk ke dalam rumahnya.
"Iya." Sapta mengikuti Lian dari belakang.
"Rumah lo sepi amat, yang lain pada ke mana?" Sapta melihat-lihat isi rumah Lian.
"Gue tinggal sendiri di sini."
"Orang tua lo pada ke mana?"
"Mereka udah meninggal. Dan waktu itu lo bilang kalau gue nggak pernah diajarin sopan santun oleh orang tua gue itu emang benar. Karena gue udah nggak punya orang tua lagi."
"Sorry, Lian. Gue nggak tahu." Sapta merasa menyesal pernah mengucapkan hal itu pada Lian.
"Terus itu photo siapa? Cowok lo?" Sapta menunjuk photo Lian yang sedang bersama seorang laki-laki.
"Itu sahabat gue, Azof namanya. Dia juga tinggal di daerah sini. Tapi dia lagi tugas ke Papua."
"Kayaknya gue kenal sama sahabat lo. Tunggu dulu, dia dokter?" Sapta mulai menebak-nebak.
"Iya, dia seorang dokter. Lo kenal?"
"Ya, nggak terlalu kenal juga sih. Cuma waktu itu ibu gue pernah keserempet motor. Terus gue bawa ibu gue ke rumah sakit. Dan dia uang menangani ibu gue."
"Oh, jadi lo udah pernah ketemu dong sama dia?"
"Iya, waktu di rumah sakit."
"Lo nggak takut tinggal sendirian di sini?"
"Nggak, gue udah biasa kok."
Sapta menatap wajah Lian, dia tidak menyangka sama sekali jika gadis ini hidup seorang diri di rumahnya. Seketika itu Sapta merasa iba pada Lian. Sapta tak banyak menyinggung soal keluarga Lian. Karena dia takut kalau Lian akan tersinggung.
"Oh, iya. Lo mau minum apa?"
"Nggak usah Lian, gue nggak haus kok."
"Oh."
"Azof udah berapa lama di Papua?"
"Ya, udah beberapa bulan sih dia di sana. Katanya bulan depan dia udah bisa pulang ke Jakarta. Kasian dia."
"Kenapa kasian?"
"Dia diputusin sama pacarnya lalu ditinggal nikah. Padahal dia sayang banget loh sama ceweknya. Dan dia nggak datang ke acara pernikahan mantannya karena dia lagi tugas di Papua. Mending kayak gitu deh, dari pada dia harus datang dan menyaksikan pernikahan itu, pasti sakit banget rasanya."
"Namanya juga nggak jodoh."
"Iya."
"Eh, waktu itu lo beli sate kambing banyak banget. Lo kemanain? Gue pikir buat keluarga lo." Sapta mengingat-ngingat kejadian beberapa bulan yang lalu saat Lian membeli sate kambing 50 tusuk.
"Buat gue sendiri."
"Buset, rakus amat lo."
"Bukan rakus. Tapi doyan."
"Sama aja."
"Hehe..." Lian cengar-cengir.
"Gue pulang dulu ya, nggak enak soalnya udah malem. Ntar disangka yang aneh-aneh lagi."
"Iya, lo hati-hati ya di jalan."
"Pasti, kalau ada apa-apa lo jangan ragu-ragu telepon gue ya. Soalnya gue jadi agak khawatir kalau lo tinggal sendirian."
"Iya."
"Pokoknya kalau lo butuh apa-apa lo harus hubungi gue."
"Iya, bawel banget sih lo."
"Gue pulang ya, lo hati-hati di rumah."
"Iya." Lian mengantarkan Sapta sampai ke depan pintu rumahnya.
Sapta masuk ke dalam mobilnya, saat berada di dalam mobil Sapta membuka kaca jendela mobilnya hanya untuk melihat Lian. Sapta jadi tak tega meninggalkan Lian sendirian. Tapi harus bagaimana lagi, Sapta tetap harus meninggalkan Lian.
"Hati-hati ya." Lian melambaikan tangannya pada Sapta sambil tersenyum. Sapta pun membalas lambaian tangan Lian sambil tersenyum juga.
***
Ini adalah jam istirahat tapi Sapta masih sibuk dengan pekerjaannya. Dia belum selesai. Nampaknya Sapta memang sengaja tidak istirahat. Entah kenapa hari ini Sapta tidak nafsu makan. Tadi pagi saja dia tidak sarapan.
"Sapta. Kok kamu nggak istirahat. Inikan udah jam istirahat." tiba-tiba Dita datang ke ruangan Sapta tanpa mengetuk pintu.
"Pekerjaan saya belum selesai, Bu." Sapta masih mengetik di laptopnya.
"Sapta, aku kan udah sering bilang sama kamu. Kalau kita lagi berdua kayak gini nggak usah panggil aku Ibu. Jangan pakai bahasa formal."
"Inikan masih di kantor. Nggak enak kalau didengar orang. Disangkanya saya nggak sopan sama Ibu."
"Udahlah Sapta, toh nggak ada yang dengar jugakan. Lagipula orang tua kamu dan orang tua aku itu berteman baik."
"Ok, Dita." kali ini Sapta menyebut nama Dita tanpa diembel-embeli kata Ibu.
"Ayo kita makan."
"Gue lagi nggak nafsu makan nih."
"Lho, kamu sakit?" Dita langsung memegang dahi Sapta.
"Nggak usah lebay, gue nggak apa-apa kok. Cuma nggak nafsu makan aja." Sapta melepaskan tangan Dita dari dahinya.
"Atau kamu mau aku beliin makanan aja. Nanti kita makan di sini aja."
"Gue kan udah bilang kalau gue nggak nafsu makan."
"Emhh, nanti malam kita jalan-jalan yuk." Dita mengajak Sapta.
"Gue lagi nggak mau kemana-mana."
“Ayolah Sapta. Please.” Dita memohon pada Sapta.
“Emangnya mau jalan-jalan ke mana sih?”
“Ya ke mana aja pokoknya. Happy-happy gitu.”
“Ok deh.” akhirnya Sapta mau juga diajak oleh Dita.
“Yey.” Dita kegirangan. “Nanti malam kamu jemput aku ya.”
“Iya, iya.”
            Malam yang ditunggu-tunggu oleh Dita pun akhirnya datang juga. Dita berulang kali bercermin hanya sekedar untuk touch up. Dia ingin tampil cantik di depan Sapta. Dita memang sudah menyukai Sapta sejak lama. Namun Sapta selalu saja cuek pada dirinya. Sapta memang tipe laki-laki yang sangat susah sekali didekati.
            Klakson mobil Sapta berbunyi. Itu menandakan kalau Sapta sudah berada di depan rumah Dita. Dita langsung melongo dari jendela kamarnya. Dita meloncat kegirangan ketika Sapta sudah tiba di rumahnya. Sapta langsung mengetuk pintu rumah Dita. Dan yang membukakan pintu untuknya adalah Pak Ali, ayahnya Dita.
“Selamat malam, om.” ucap Sapta dengan sopan.
“Malam juga, Sapta. Dita sudah nunggu kamu lho dari tadi.” kata Pak Ali.
 “Maaf om, tadi sedikit macet.”
“Oh, ya sudah nggak apa-apa. Ayo masuk Sapta.”
“Iya, om.” Sapta masuk ke dalam rumah Dita.
“Ayo, duduk.” Pak Ali mempersilahkan Sapta untuk duduk.
“Terima kasih, om.”
“Dita, Dita… Sapta sudah datang.” Pak Ali memanggil anaknya.
“Iya, Pah.” Dita keluar dari kamarnya.
“Anak Papa cantik sekali malam ini. Pasti kalian berdua mau ngedate ya?”
“Nggak kok, om. Kita Cuma jalan-jalan biasa aja.” Sapta menyanggah tuduhan Pak Ali.
“Kamu jangan malu-malu seperti itu Sapta.”
“Pah, udah deh. tuh lihat Sapta jadi malu begitu.”
“Ya, sudah kalian cepat berangkat. Nanti keburu malam lagi.”
“Pamit ya om.” Sapta mencium tangan Pak Ali.
“Aku juga pamit ya, Pah.” Dita mencium tangan Papanya.
“Iya, kalian hati-hati ya.”
“Siap, Pah.”
            Sapta dan Dita masuk ke dalam mobil, tak butuh waktu lama mobil itu kini sudah melaju dengan kecepatan sedang.
“Kita mau ke mana?” tanya Sapta pada Dita.
“ Terserah kamu aja” jawab Dita.
“Kok gue, kan lo yang ngajak.”
“Sapta kamu bisa nggak sih kalau ngomong sama aku itu nggak pake lo gue. Kayak ke temen aja.”
“Kita emang temenankan.”
Dita lupa jika dirinya dan Sapta memang belum jadian. “Ya, aku maunya pake aku kamu aja.”
“Sorry, gue udah kebiasaan kayak gini.”
“Ya, udah deh nggak apa-apa.” Dita agak cemberut.
“Kita  mampir dulu ya ke toko komputer, gue mau beli flashdisk dulu.”
“Iya.”
            Tak lama kemudian mobil Sapta telah sampai di depan toko komputer. Sapta dan Dita turun dari mobil. Saat berada di dalam toko komputer Sapta seperti melihat seseorang yang sangat ia kenal.
“Lian, lo lagi beli apa?” Sapta menyapa Lian.
“Gue lagi beli flashdisk.”
“Lo lagi lo lagi.” Dita tidak suka ketika tahu bahwa Lian berada di sini juga.
“Lo apa-apaan sih, Dita?” ucap Sapta pada Dita.
“Aku nggak suka lihat dia.”
“Tapi kita bertemu di sini itu secara tidak sengaja.”
“Tetap aja aku nggak suka sama dia. Dia itu perempuan murahan, sama kayak mamanya.”
“Kamu ikut aku sini.” Sapta menyeret tubuh Dita keluar dari dalam toko.
“Sapta, lepasin aku.”
“Jaga ucapan kamu Dita, ini tempat umum. Malu dilihat orang.”
            Lian keluar dari dalam toko sambil membawa flashdisk yang telah dia beli. Lian menghampiri Sapta dan juga Dita yang sedang adu mulut.
“Aku nggak peduli. Aku benci sama dia.”
“Dita pelanin suara lo.” perintah Sapta.
“Eh, dasar lo perempuan nggak bener. Anak sama ibu sama aja.” Dita terus memaki-maki Lian.
“Dita cukup.” rasanya Lian ingin sekali membekam mulut Dita.
“Alah, diem lo. Plakkk!!!.” Dita menampar pipi Lian cukup keras. Lian memegang pipinya yang terkena tamparan.
“Lo keterlaluan.” Sapta naik pitam.
“Dia pantas dapetin itu. Dasar pelacur.”
“Dita stop!!!.” kali ini Sapta benar-benar marah pada Dita.
“Sapta, inget ya. Aku ini atasan kamu. Kamu nggak berhak bentak aku kayak gitu.”
“Di kantor lo emang atasan gue. Tapi di luar kantor lo bukan siapa-siapa gue. Ayo Lian.” Sapta menarik tangan Lian dan menyuruh Lian untuk naik ke dalam mobilnya.
“Sapta tunggu, Sapta. Aku pulang gimana?”
“Lo pulang sendiri aja.” Sapta langsung tancap gas meninggalkan Dita.
            Saat berada dalam mobil Sapta sedikit cemas dengan keadaan Lian. Sapta memutuskan untuk menghentikan mobilnya di pinggir jalan.
“Lo nggak apa-apa?” Sapta melihat wajah Lian.
“Enggak kok.” Lian menggelengkan kepalanya.
“Kok nggak nangis?”
“Gue udah nggak nangis lagi. Kan sekarang udah jadi wanita tegar.” ucap Lian sambil tersenyum.
“Jadi udah nggak cengeng lagi nih ceritanya?”
“Nggak dong. Sekarang air matanya udah dikurangin.”
“Bagus deh kalau gitu.” Sapta Mengusap kepala Lian. “Yang ini nggak sakit?” Sapta mengelus pipi Lian yang tadi ditampar oleh Dita.
“Lumayan sih.”
“Kenapa sih, Dita layaknya benci banget sama lo?”
Lian menarik napasnya dalam-dalam. “Gue harus cerita gitu sama lo?”
“Nggak apa-apa. Anggap aja kalau gue itu Azof. Jadi lo bisa cerita apapun sama gue. Gue janji nggak bakalan cerita sama siapapun.”
“Janji ya?”
“Iya.”
“Dulu gue itu memiliki keluarga yang harmonis, kita semua hidup bahagia. Tapi semua itu berubah ketika ayah sama ade gue meninggal secara bersamaan. Mereka meninggal karena kecelakaan motor di jalan raya. Gue inget banget waktu itu gue masih duduk di bangku SMP. Semenjak kepergian mereka, ibu gue harus berjuang seorang diri menggantikan ayah mencari nafkah. Semua itu dia lakukan cuma buat gue. Dia bekerja apapun yang dia bisa. Mulai jualan baju online, jadi penerjemah buku, dan kerja di salah satu restoran. Hingga suatu ketika, ibu gue ketemu sama Om Ali. Papanya Dita. Om Ali suka sama ibu gue, dan bahkan dia menikahi ibu gue. Demi kebahagian ibu gue, gue rela punya ayah tiri. Setelah beberapa bulan menikah, ternyata ibu gue baru tahu kalau selama ini Om Ali bohong. Dulu dia bilang kalau dia itu adalah seorang duda. Ternyata dia masih memiliki istri. Istrinya tidak terima, dia datang ke rumah bersama Dita lalu melabrak ibu gue. Mereka Memaki-maki ibu gue di depan mata gue sendiri. Padahal ibu gue sama sekali nggak tahu kalau laki-laki yang sudah menikah dengannya masih memiliki istri. Hingga pada akhirnya ibu gue memutuskan untuk mengalah. Dia bercerai dari Om Ali. Pernikahan mereka tidak bertahan lama. Hanya berumur beberapa bulan saja. Dan gue sama sekali nggak tahu kalau Om Ali itu yang punya kantor majalah itu. Saat awal masuk kuliah ternyata gue satu kampus dengan Dita. Dia senior gue. Umur Dita diatas gue 2 tahun. Sejak saat itu Dita benci banget sama gue dan ibu. Dia selalu mengecap kalau ibu gue adalah perebut suami orang. Bahkan gue juga sering dikata-katain kayak barusan. Padahal gue bukan wanita murahan, pelacu…”
“Stop, gue nggak mau denger kata itu.” Sapta memotong ucapan Lian. “Gue yakin lo cewek baik-baik. Gue emang belum lama kenal sama lo. Tapi gue bisa lihat dari wajah lo kalau lo itu cewek baik-baik, apa yang dikatakan sama Dita itu nggak bener.”
“Makasih karena lo udah mau percaya sama gue.”
“Iya.”
“Kasihan Lian. Gue jadi nggak tega.” Sapta berbicara dalam hatinya
“Sapta, kenapa bengong?” Lian menepuk pundak Sapta.
“Nggak, nggak apa-apa kok. Eh, gimana tangan lo, udah baikan?” Sapta memegang tangan Lian yang masih diperban.
“Udah mendingan kok.”
“Gue antar pulang ya.”
“Iya.” Lian menganggukan kepalanya